Sudah lama sekali saya ingin mengeluarkan uneg-uneg ini. Namun, saya tidak tahu caranya mengekrepresikan apa yang saya rasakan atau menyampaikan sesuatu. Dengan menulis ini saya mencoba menyampaikan kegelisahan dan uneg-uneg yang selama ini saya pendam sebagai anak pertama. Mungkin melalui tulisan ini saya bisa sedikit merasa lega.
Saya adalah anak perempuan pertama yang tumbuh di keluarga yang lengkap. Yang terdiri atas ayah, ibu, dan satu adik laki-laki. Saat ini saya berusia 18 tahun dan adik saya berusia 13 tahun jarak umur saya dan adik saya hanya 5 tahun.
Saya akan bercerita tentang saya sebagai anak pertama yang tidak pandai mengekspresikan diri dan berbagai lukanya.
Saya iri teman-teman bisa bercerita ke ibunya
Teman-teman saya melihat bahwa saya adalah anak yang beruntung karena bisa memiliki keluarga cemara dan ekonomi yang bercukupan. Tetapi di sisi lain saya merasa iri dengan teman teman saya yang bisa bercerita dan bercanda dengan ibunya.
Dari kecil hingga saya beranjak SMP saya tidak dekat dengan ibu. Bahkan untuk bercerita dan bercanda itu saja saya merasa sedikit kaku untuk bercerita kepadanya.
Terkadang saya merasa iri dengan adik saya yang bisa bercerita dan bercanda dengan bebas dengan ibu. Bolehkan saya merasa iri akan hal itu? Di saat saya tidak pernah ditanyakan tentang keadaan saya. Bahkan bila duduk berdua dengan ibu, saya kaku dengan situasi itu.
Pernah ada di moment ibu marah kepada saya lalu beliau berucap “menyesal membesarkan saya” dan ada di beberapa moment saat saya berkumpul drngan para tante, ibu saya selalu membanggakan anak laki lakinya.
Beliau juga pernah berbicara, ingin di hari tua nanti yang mengurusnya adalah anak laki-lakinya. Untuk warisan rumah ibu berencana akan memberikan kepada anak laki-lakinya itu. Tetapi para tante saya membela saya.
Entah kenapa saat saya mekukan kesalahan walaupun hanya kesalahan kecil, ibu akan mengungkit kesalahan sebelum-sebelumnya. Terkadang mengeluarkan kata-kata yang membuat saya sakit hati. Misalnya, kalimat, “menyesal membesarkan saya”.
Terkadang saya merasa kenapa saya hidup bila ibu saya saja menyesal membesarkan saya. Bila adik saya melakukan kesalahan ibu tidak pernah memarahinya seperti ibu memarahinya.
Bahkan bila saya berantem dengan adik, ibu memilih membela adik saya walaupun tidak tau penyebabnya. Meski adik saya yang salah, tetap saja kesalahan ada di saya sebagai kakak. Apakah semua anak pertama selalu disalahkan walaupun yang berbuat salah bukan kita?
Ingin diajak ngobrol
Pernah di situasi kami berkumpul dengan para tante-tante saya yang saat itu sedang membicarakan saya, salah satu tante saya berkata “katanya anak pendiam itu karena saat kecil jarang diajak ngobrol’ lalu ibu membalas “engga sempet ngajak ngobrol kan dia kerjaannya nangis”.
Mungkin itu alasan yang logis kenapa ibu jarang mengajak saya ngobrol. Namun, saat saya duduk di bangku SD, ibu juga jarang mengajak ngobrol walaupun sekadar menanyakan bagaimana sekolah tadi.
Bahkan sampai saat SMP saya tidak pernah mendapatkan pertanyaan seperti itu. Apakah alasan tidak memiliki waktu menjadi alasan juga di saat saya sudah besar. Tetapi mengapa untuk mengobrol dengan anak laki-lakinya luang sekali walaupun hanya mengobrol random.
Bolehkah saya menangis saat melihat ibu dan anak lelakinya mengobrol dan tertawa. Saya juga ingin merasakan hal itu.
Saat saya ingin tamat SMA ibu mulai berubah,dengan mencoba mendekatkan diri kepada saya.
Saya juga mencoba bercerita hal hal random kepadanya walaupun situasi ini tidak sehanggat saat dia mengobrol dengan anak lelakinya. Saya mencoba menikmati moment-moment itu sebelum saya melanjutkan kuliah di provinsi lain. Terkadang saya berpikir kalau perubahan sikapnya itu karena saya pergi jauh, bila saya tidak pergi apakah sikapnya akan berubah?
Saya bersyukur hidup di keluarga yang lengkap dan ekonomi yang cukup tetapi bolehkan kita mengeluh?
Rachel, Medan
BACA JUGA Keluh Kesah dari Anak Tengah Perempuan yang Tak Pernah Disayang Ayah dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini