Sejak kecil rasanya semua yang ingin aku lakukan selalu terhalang dengan yang namanya uang. Sepertinya itu juga yang membuatku tumbuh menjadi seseorang yang tidak suka uang, hahaha.
Usaha orang tua bangkrut
Singkat cerita, saat kecil hidupku serba berkecukupan, lalu usaha Ayahku bangkrut. Kehilangan masa kejayaan orang tua sejak masih kelas 5 SD membuatku tidak mengerti harus berbuat apa.
Saat itu aku sekolah di sekolah swasta, kabarnya Ibuku sudah berbicara dengan kepala sekolah mengenai aku yang harus pindah karena orang tuaku tak lagi sanggup membayar SPP. Namun, dengan lima piala yang sudah aku berikan kepala sekolah, tentu kepala sekolah tidak memperbolehkan aku untuk pindah. Berakhir dengan Ayahku harus menjual satu mobil untuk membayar lunas semua biaya sekolahku hingga lulus.
Masa sekolahku agak sedikit berbeda dari kebanyakan orang. Setelah lulus SMP dulu, aku sempat masuk pondok pesantren yang biaya untuk masuk pondok pesantrenku yang ini itu tidak murah. Setiap awal bulan rasanya semua biaya mengejarku, biaya makan, biaya sekolah, biaya buku, dan biaya-biaya lainnya.
Uang saku juga tidak banyak, membuatku mengalami penurunan berat badan yang cukup lumayan karena mendadak jarang makan. Hingga akhirnya di bulan ketiga aku memilih untuk berhenti. Aku katakan pada orang tuaku kalau aku tidak betah, walau alasan sebenarnya adalah karena aku tidak enak dengan orang tuaku yang harus mengeluarkan banyak uang untuk tiga tahun kedepan. Setidaknya aku berhasil menjadi salah satu dari dua murid yang mendapat nilai A+ di kelas pegon dalam waktu 3 bulan itu, hahaha..
Pandangan orang itu menakutkan
Setelah keluar dari pondok, aku tidak memiliki pilihan selain berhenti setahun, lagi-lagi karena uang yang tidak cukup banyak untuk menyekolahkan aku di sekolah swasta. Setahun tidak sekolah membuatku takut keluar rumah, takut orang bertanya sekarang sekolah di mana, bagaimana respon mereka kalau aku jawab aku sedang tidak sekolah? Pandangan orang lain adalah salah satu hal yang paling menakutkan, setidaknya itu berlaku untukku.
Setahun berlalu, aku mulai mengurus berkas pendaftaran, tapi karena sistem zonasi yang mulai berlaku, aku terlempar jauh dari sekolah impianku, terlempar entah kemana sampai tidak terlihat. Aku rasanya ingin menangis habis-habisan, membayangkan diriku hanya memiliki ijazah SMP dan tidak lanjut sekolah.
Sungguh mimpi buruk yang untungnya tidak benar-benar terjadi. Seseorang memberitahu tentang SKB kepada Ayahku, SKB adalah Sanggar Kegiatan Belajar, sebuah sekolah nonformal yang sering dikenal dengan nama kejar paket. Maka di situlah aku berakhir.
Karena uang, aku ikut kejar paket
Semuanya benar-benar berubah total. Aku yang dulu saat SD di sekolah swasta Islam, lalu ke SMP Negeri favorit, tiba-tiba seperti tersesat di kejar paket. Sangat sulit menerima takdir yang Allah berikan saat itu. Berkali-kali aku memikirkan seandainya orang tuaku memiliki cukup banyak uang, aku pasti bisa sekolah di sekolah swasta, tidak harus berhenti setahun dan berujung di kejar paket.
Aku masih menyembunyikan diriku dari teman-teman SMP, mereka cukup tau kalau aku pernah berhenti setahun dan sekarang menjadi adik kelas mereka. Tidak perlu tau aku sekolah di mana dan mengambil jurusan apa. Masa sekolah itu sekali seumur hidup, dan aku harus menghabiskan masa SMA untuk menerima takdir yang aku dapatkan.
Tiga tahun sekolah di situ sungguh melelahkan. Tidak bisa dimungkiri, lingkungan sangat memengaruhi. Aku berusaha mati-matian untuk tidak mengikuti teman-temanku yang jarang mengerjakan tugas. Aku selalu rajin menjawab pertanyaan guru dan selalu berhasil mendapat peringkat satu.
Meski beberapa guru jarang masuk, aku masih berusaha mencari materi melalui platform sosmed manapun, meminta kisi-kisi ujian kepada temanku dari sekolah lain, rasanya seperti aku harus berjuang sendiri demi diriku sendiri.
Semuanya terasa membaik sampai aku menginjak kelas 12. Sekolahku ini sekolah nonformal, jadi tentu tidak mendapat kuota SNMPTN, atau yang sekarang sudah berubah nama menjadi SNBP. Aku menangis berkali-kali mengingat perjuanganku untuk mempertahankan nilai bagus, yang pada akhirnya seperti tidak berguna selain untuk nilai rapor.
Beberapa kali aku bertanya pada diriku sendiri, sebenarnya untuk apa aku berusaha terlalu keras seperti itu? Toh akhirnya cuma menjadi angka yang tercetak di rapor. Tidak mendapat SNMPTN, aku mencoba SBMPTN, dan ini jauh lebih melelahkan.
Lelah otak, mental, dan fisik
Aku mulai belajar untuk SBMPTN sejak awal kelas 12, sejak itu pula keningku tidak pernah bersih dari jerawat stres seharipun, hingga saat ini. Menjaga semangat belajar tetap stabil di tengah teman-teman yang menyepelekan nilai itu bukan hal yang mudah. Mati-matian mengejar nilai tugas dan tryout tanpa les apapun, lagi-lagi aku memang harus berjuang sendiri.
Menjelang akhir kelas 12, saat aku mulai merasa lega karena persiapan yang sudah cukup kuat, kabar buruk datang lagi. Jadwal ujian sekolah bertepatan dengan jadwal dilaksanakannya SBMPTN, tidak ada yang lebih buruk daripada mendapat kabar itu setelah aku belajar keras sendirian. Ada lagi yang namanya uji kesetaraan, ujian yang baru terjadi mulai angkatanku karena orang dinas yang melihat teman-teman dan adik kelasku sekolah seenaknya.
Lalu bagaimana denganku yang selalu berusaha menjadi murid baik dan taat tata tertib? Kenapa aku juga ikut imbasnya? Kenapa aku yang paling dirugikan di sini? Aku tidak melakukan apa-apa tapi aku tetap harus ikut uji kesetaraan demi bisa lanjut ke sekolah formal?
Teman-temanku tidak lanjut kuliah, tentu uji kesetaraan ini tidak begitu penting untuk mereka, tapi aku? Rasanya aku ingin menyerah, beribu-ribu kali lebih lelah dari hari biasanya.
Aku tetap berjuang, pasti. Aku mendapat jadwal SBMPTN pada tanggal 14 Mei, sedangkan ujian sekolah dilaksanakan tanggal 8 sampai 12 Mei, dan terakhir uji kesetaraan pada tanggal 13 Mei. Minggu itu aku nobatkan sebagai pekan terkutuk yang tidak pernah mau aku alami lagi.
Belajar untuk SBMPTN bersamaan dengan belajar untuk ujian sekolah tanpa mendapatkan kisi-kisi dari guru. Otak, mental, dan fisikku lelah, semuanya sangat melelahkan. Tanggal 13 Mei tepat setelah selesai ujian, aku harus cepat-cepat mengejar kereta ke Jogja, lalu besoknya langsung mengikuti SBMPTN, tanpa jeda, tanpa istirahat.
Daripada uang, yang aku miliki amat cukup
Aku berusaha untuk tetap waras melewati satu minggu itu, dan dengan bukti aku masih bisa menulis semua pengalamanku ini, berarti aku masih waras hingga sekarang.
Hal yang paling melelahkan adalah saat aku tidak bisa mengeluh pada orang lain karena mereka tidak mengerti kalau aku kejar paket. Aku justru takut mereka akan menjauh dariku. Jadi aku harus memendam semuanya sendiri. Tidak ada yang lebih buruk daripada tidak bisa mengekspresikan seberapa capeknya dirimu.
Ingin mengeluh pada orang tua, tapi aku mengerti kalau lelah belajar tidak ada apa-apanya dibandingkan lelah bekerja. Pernah satu hari saat lagi-lagi aku menyalahkan uang atas apa yang terjadi. Aku mendadak terpikirkan, bagaimana respon Ayahku kalau beliau melihat semua keluh kesahku? Ayahku sudah bekerja keras tapi aku tetap mengeluh dan menyalahkan semuanya pada ekonomi keluargaku?
Pada akhirnya aku sadar, Allah memberikan kecukupan. Allah tidak memberikan harta yang berlimpah atau kekayaan yang begitu banyak, tapi Allah memberikan kecukupan.
Sekarang aku mengerti kalau semua yang aku miliki ini memang cukup, amat sangat cukup. Meski aku akui kerap kali masih sering mengeluh, tapi setidaknya aku sudah mulai menerima bahwa semua yang takdirku adalah apapun yang terbaik untukku.
Seperti yang ada dalam surah Ad-Duha ayat 8; “Dan dia mendapatimu sebagai seseorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
Aisyah Balqis Tembok Kidul,Adiwerna, Kabupaten Tegal [email protected]