Beberapa tahun belakangan, wilayah Jaksel alias Jakarta Selatan menjadi trend di Indonesia. Tentu saja yang menjadi terkenal adalah sisi elit dari Jaksel, seperti orang-orangnya yang gaul, bahasanya yang sulit dipahami karena bercampur dengan bahasa Inggris, gaya hidupnya. Konten satire terkait Jaksel kemudian bertebaran di media sosial.
Sebelum jauh, saya jelaskan dulu nih maksud konten-konten yang tersebar di medsos terkait Jaksel. Sejauh pengamatan, saya melihat Jaksel ini dipandangan orang lain adalah daerah dengan suka ‘flexing’, hubungan keluarganya kurang harmonis, mental isu selalu menjadi topik hangat. Kalau ingin melihat secara lengkap bisa mengunjungi Podcast Kesel Aje milik Oza Rangkuti.
Lalu timbul dalam benak saya, apakah valid anak Jaksel seperti itu atau kebanyakan seperti itu? Sebagai warga Jaksel tulen, saya tertarik membongkar konten-konten itu agar lebih jelas seperti apa kehidupan anak Jaksel sesungguhnya.
Saya asli Pela Mampang lebih tepatnya di Jalan Bangka Raya alias tetangga Kemang. Saya masih tinggal di tanah sendiri warisan dari kakek buyut yang memang asli Betawi. Melihat konten Jaksel yang beredar di medsos, saya merasa mereka bukan cerminan warga jaksel. Kemungkinan mereka bukan orang asli Jaksel, hanya tinggal sementara atau nongkrong di kawasan Jaksel.
Sejarah wilayah Jaksel
Dilihat dari segi wilayahnya, Jaksel merupakan daerah di Jakarta yang paling enak ditinggali karena sesuai dengan perencanaan tata kota zaman Soeharto. Dahulu wilayah ini merupakan pemukiman untuk komplek instansi negara, orang-orang elit, hingga orang-orang kampung.
Semakin berkembangnya Jakarta, kawasan Jaksel banyak berubah. Bermunculan banyak sekali usaha restoran, kafe, dan kantor. Seperti cerita lama, perkembangan suatu wilayah mustahil tidak mengorbankan sesuatu. Banyak kampung di Jaksel akhirnya dijual dan warga aslinya pun pindah semakin ke pinggir. Oleh karenanya, fenomena Jaksel yang merebak di medsos ini membuat warga Jaksel seperti saya terkaget-kaget. Kondisinya berbanding terbalik dengan pengalaman warga Jaksel tulen.
Mengenai bahasa, anak Jaksel umumnya berbahasa Betawi atau Indonesia pada umumnya. Gaya hidupnya juga kabanyakan sederhana, walau juragan tanah atau kontrakan sekalipun. Jarang ada pamer sesuatu yang berharga mahal.
Hubungan dengan keluarga, sejauh pengamatan saya terhadap warga Jaksel sekitar, baik dan harmonis. Tidak seperti konten-konten yang beredar. Apalagi untuk urusan mental health, boro-boro menilai dirinya memiliki anxiety dan segala macamnya. Kata-kata itu saja terdengar tidak akrab di telinga.
Anak Jaksel tulen jauh dari penggambaran yang ada di media sosial. Hidupnya sangat asyik seperti Betawi pada umumnya, sehari-hari tetap bergaul, tidak mencari musuh, rukun, dan sopan. Kegiatannya juga positif seperti ngaji dari masjid ke masjid. Separah-parahnya warga Jaksel, paling sebatas tidak berambisi dengan dunia saja. Mereka jadi menganggur. Kegiatannya sehari-hari jadi cuma memancing, pergi ke gantangan, hidup seadanya banget.
Adi Hidayat
Jalan Bangka Raya, Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
[email protected]