Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Ulasan Smokol

Dari Kaki Lima hingga Ikon Kuliner Surabaya

Shellya Febriana A. oleh Shellya Febriana A.
28 Maret 2015
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“Bikin restoran di Surabaya ini gambling banget, soalnya mesti saingan ama street food yang kuat,” kurang lebih begitulah sabda yang disampaikan teman saya yang kemluthek di dunia perbisnisan.

Jika menyusuri jalanan Surabaya yang jarang macet biadab seperti Ibu Kota, kita bisa melihat berapa banyak Pecel Lele khas Madiun, Ayam & Bebek Goreng, dan Aneka Chinese Food keleleran, seakan-akan mengamini sabda di atas. Belum lagi ditambah pilihan Bakso, Mie Ayam, dan Soto sebagai selingan. Tidak cuma makanan lokal saja, bahkan steak sampai dimsum juga ikut bersaing sebagai pilihan street food!

Selain pilihan yang beragam serta letaknya yang selalu ada di setiap jalan, street food di Surabaya juga tidak sedikit yang buka hingga pagi. Malah di antaranya memang baru buka tengah malam. Penjualnya seakan tidak mengindahkan adegan memorable almarhum Ratu Bombsex Horor Indonesia, Suzanna, yang “menggoda” tukang sate di dini hari.

Justru mereka menganggap kuliner tengah malam sebagai suatu kesempatan bisnis baru yang menguntungkan. Dan benar saja, meski baru buka jam 12 malam, ada saja makhluk nokturnal yang sudah menanti kehadiran mereka dan mengantre dari jam 11 malam.

Sebagai contoh, sebut saja Nasi Cumi Pasar Atom, Bubur Ayam Mang Dudung Kedungdoro, atau Sego Sambel Mak Yeye Wonokromo di era pra-booming liputan kuliner kekinian. Para pedagang makanan di Surabaya ini pun menerapkan prinsip ekonomi yang paling dasar dalam trik menjual dagangannya. Yaitu, dengan modal yang sedikit tapi mendapat nilai timbal balik yang besar, dengan mengeluarkan uang separuh harga menu restoran tapi bisa dapet porsi kuli bancakan dan rasa yang cukup enak.

Hal inilah yang membuat banyak street food di Surabaya selalu ramai pengunjung. Selain itu, para penjual ini sendiri tidak lantas merugi, justru mereka untung besar. Bayangkan saja, pemilik depot prasmanan di kawasan ITS yang mengedepankan 10 ribu rupiah sudah dapat makan enak dan banyak saja bisa punya fortuner di garasinya.

Selain prinsip ekonomi diatas, para penjual ini juga memperhitungkan sisi “cepat saji”. Bagaimana caranya agar tidak perlu susah payah meracik bumbu khusus (malah ada yang cukup tabur beberapa sendok MSG) tapi rasanya bisa diterima semua lidah. Itulah mengapa, jika dicermati lebih lanjut, kuliner-kuliner yang menjamur bukanlah yang benar-benar khas Surabaya.

Wieteke Van Dort, atau yang lebih akrab disebut sebagai Tante Lien pernah mengalunkan kerinduannya terhadap masakan Indonesia lewat lagu “Geef Mij Maar Nasi Goreng”. Lahir di Surabaya, tentunya membuat Tante Lien akrab dengan cita rasa dan kebiasaan makan nusantara, bahkan Surabaya.Tidak heran, di lagunya tersebut, disebutkan dua elemen yang selalu bisa ditemukan di masakan khas Surabaya: krupuk & petis.

Memang banyak makanan khas Surabaya yang membutuhkan petis sebagai elemen utamanya, dan krupuk sebagai pelengkap. Contohnya, Tahu Campur, Tahu Tek, Lontong Balap, Rujak Cingur, dan tentunya. Semanggi Suroboyo. Sayangnya, keberadaan makanan khas ini tadi tidak semenjamur Pecel Lele beserta aneka penyetannya yang varian penjualnya tersedia di setiap jalanan Surabaya. Malah, yang sangat khas seperti Semanggi Suroboyo ini baru bisa saya jumpai di Pekan Kuliner tertentu.

Jika Bebek Goreng di Surabaya banyak pilihannya, mulai dari yang enak ala Bebek Kayu Tangan hingga yang berukuran jumbo ala Bebek Depan Tugu Pahlawan, sayangnya tidak demikian dengan perputaran makanan khas. Selain karena memang keberadaan penjualnya tidak sebanyak warkop yang bisa ada sampai tiga di satu jalan, juga karena peran media kuliner kekinian yang meliput mereka dan menjadikannya seakan-akan memonopoli penjualan.

Sebut saja Rawon Setan sebagai contohnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau setiap orang yang ke Surabaya dan ingin mencicipi rawon, pasti yang mereka ingat adalah Rawon Setan. Brand awareness Rawon Setan ini mungkin hanya satu level dibawah Odol yang berhasil membuat orang menjadikan brandnya sebagai kata ganti dari benda itu sendiri.

Tapi memang perlu diakui Rawon Setan memiliki kisah dan umur brand sendiri sampai akhirnya bisa seperti itu. Berdasarkan cerita Mama saya, Rawon Setan sudah ada sedari lama dan dulu memang hanya buka dini hari. Disajikan dalam keadaan panas bersama dengan nasi yang mengepulkan asap menggoda perut dan ditambah sambal yang maknyus sensasi pedasnya.

Tak heran, orang-orang yang menyantap nasi rawon itu bersumpah-serapah memanggil penghuni dunia lain, “Setan! Pedese ngguatheli, Cuk!” Terlepas dari urban-legend tentang asal mula namanya itu, dulu memang banyak yang mengakui betapa nikmatnya rasa Rawon Setan. Hingga akhirnya berkat kekuatan bisik-bisik tetangga yang semakin meluas, akhirnya Rawon Setan menjadi salah satu ikon kuliner di Surabaya.

Kesuksesan Rawon Setan inilah yang mungkin akhirnya mengilhami pengusaha kuliner lainnya untuk membuka lapak dini hari atau bahkan memberi nama-nama seram seperti Mi Akhirat atau Mi Setan, dengan harapan bisa mengikuti kesuksesan Rawon Setan. Namun sayangnya, riuh ramainya Mi Akhirat ataupun Mi Setan sampai sekarang tidak bisa menyaingi sepak terjang Rawon Setan yang masih tetap menjadi jujugan wisatawan. Terkadang hal-hal seperti itu yang membuat saya heran.

Iklan

Kenapa industri rawon di mata orang lain harus ke sana?

Pernah saya menawarkan ke tempat lain yang tak kalah nendang citarasa kluwek rawonnya, tapi para wisatawan ini tetap ngotot harus ke Rawon Setan. Hal yang sama pun terjadi di industri makanan khas lainnya.

Yang saya khawatirkan, lambat laun produsen makanan lainnya bisa merasa kalah saing lalu berhenti menjajakan makanan khas dan akhirnya benar-benar hanya para ikon kuliner itu saja yang menguasai pasar. Ya kalo mereka bisa menjaga atau malah meningkatkan kualitas sih bagus.

Lah kalo malah degradasi rasa? Kan kasian anak-cucu kita gak ngincip citarasa asli nusantara yang ciamik soro itu.

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: #PekanKulinerRawonRawon SetanSurabaya
Shellya Febriana A.

Shellya Febriana A.

Artikel Terkait

Job fair untuk penyandang disabilitas di Surabaya buka ratusan lowongan kerja, dikawal sampai tanda tangan kontrak MOJOK.CO
Aktual

Menutup Bayangan Nganggur bagi Disabilitas Surabaya: Diberi Pelatihan, Dikawal hingga Tanda Tangan Kontrak Kerja

26 November 2025
Belikan ibu elektronik termahal di Hartono Surabaya dengan tabungan gaji Jakarta. MOJOK.CO
Liputan

Pertama Kali Dapat Gaji dari Perusahaan di Jakarta, Langsung Belikan Ibu Elektronik Termahal di Hartono agar Warung Kopinya Laris

11 November 2025
Rela Patungan demi Ikut Kompetisi Futsal di Jogja, UBAYA Berikan Penampilan Terbaik meski Harus Menerima Kenyataan Pahit MOJOK.CO
Ragam

Rela Patungan demi Ikut Kompetisi Futsal di Jogja, UBAYA Berikan Penampilan Terbaik meski Harus Menerima Kenyataan Pahit

10 November 2025
Wisudawati jual harta berharga untuk kuliah di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), sempat ditolak di PTN. MOJOK.CO
Kampus

Uang Habis untuk Biaya Pengobatan Ibu sampai Jual Harta Berharga agar Bisa Kuliah, Kini Jadi Wisudawati dengan Segudang Prestasi

27 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.