Gara-gara postingan Agus Mulyadi soal jengkol saya jadi baper kepingin nulis soal pengalaman saya dengan bahan makanan eksotis itu. O ya, di kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada segenap kru Mojok yang telah memuat tulisan pertama saya beberapa purnama lalu. Tenan, Mas, saya terharu sampai ceguken.
Tenang, di tulisan kali ini saya tidak akan menyinggung soal selingkuhan. Saya sudah kapok nulis yang begituan. Takut dilabrak emak-emak yang kebakaran bulu ketiak. Plis, deh, nggak enak banget. Dua hari saya demam gara-gara disemprot kiri-kanan.
Nah, kembali ke isu utama. Sebagai seorang Puja Kesuma, Putri Jawa Kelahiran Sumatera, dan besar di Jambi, saya akrab sekali dengan jengkol. Saya ingat, waktu kecil, saya sering ikut teman depan rumah yang ikut Emak-nya mburuh kupas jengkol. Di desa saya lahir, desa Purwasari, Kuamang Kuning I, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Jambi, kalau kalian mau tahu, sangatlah heterogen kayak sop. Penduduknya campur-campur. Ada Jawa, Sunda, Madura, mereka ini adalah para transmigran dari pulau jawa, kebanyakan bekerja sebagai petani sawit. Ada suku Minang dan Melayu Jambi, juga suku Batak. Mereka berpenghasilan sebagai pedagang, dari pedagang kecil sampai sekelas saudagar makmur sentosa.
Pedagang-pedagang besar ini lah yang mendatangkan berkarung-karung jengkol dan mempekerjakan ibu-ibu kampung yang kelebihan waktu namun kekurangan uang untuk memisahkan jengkol dari kulitnya. Ibu-ibu dan mbak-mbak ini datang membawa palu dan arit pisau dan batu sebagai alat pemecah rindu pengupas jengkol. Kami, anak-anak, tak kalah bungah, dong. Bermain di antara gunungan kulit jengkol yang kami bayangkan sebagai gunungan uang koin Paman Gober. Seru sekali. Apalagi jika tiba saat membakar gunungan kulit jengkol. Alamaaak, aromanyaaa… Nggak kuwwaatt!
Kulit jengkol yang dibakar menimbulkan aroma surgawi yang membuat kami, anak-anak, melayang tinggi. Aduh, saya jadi kangen nih sama aroma kulit jengkol yang terbakar. Eits, jangan samakan aroma kulit jengkol yang terbakar dengan bau abab-mu yang habis makan sambal jengkol lho ya. Jelas beda lah!
Daging-daging jengkol yang sudah terenggut keperawanannya dari cangkangnya itu siap di-drop ke pedagang-pedagang sayur di pasar. Dari mereka lah ibu-ibu, termasuk ibu saya membeli sekresek dua kresek daging jengkol tua nan menggoda. Eh, kenapa kok ibu-ibu tidak beli saja dari saudagar yang mempekerjakan mereka ya? Kan sekalian terima upah gitu sambil beli jengkol. Itu yang masih jadi misteri hingga sekarang…
Ah, tidak penting dari mana ibu-ibu kami beli jengkol nan sedap itu. Toh, ibu kami beli, bukan mencuri. Lha wong dari mana dana demo 411 lalu saja tidak penting untuk kalian tahu kok. Ya, tho? Tho… Jangankan funding demo 411, funding Mojok kita yang tercinta ini saja kalian tidak perlu tahu kok. Hehehe. Hehehe. Hwehehehe.
Yang penting untuk kalian tahu adalah masakan atau penganan apa saja yang bisa tercipta dari keping-keping jengkol yang semakin hari harganya semakin meroket ini. Nah ini yang kepingin saya ulas sedikit sebagai kado bagi warga Mojok, khususnya buat Kangmas Agus Mulyadi yang sudah tidak jomblo lagi itu. Ehm..
Emping Jengkol
Sebagai pemuja toket gede Dewi Djengkol, Agus Mulyadi (aduh Mas, kok kamu tampak menarik di mataku justru ketika kamu sudah tidak jomblo lagi ya…) harus tahu penganan yang satu ini. Pilih jengkol yang sudah mature jangan yang masih berondong untuk mendapatkan emping yang sempurna.
Rebus daging jengkol tua nan matang itu tanpa mengupas kulit arinya. Kenapa? Ya ngapain susah-susah ngupas orang ntar kulitnya terlepas sendiri kalau airnya sudah cukup panas. Setelah yakin jengkolnya matang sempurna, matikan kompor dan biarkan jengkolnya sedikit mendingin. Siapkan selembar plastik bening dan ulekan atau botol beling bekas. Lipat plastik bening jadi dua dan selipkan sekeping jengkol lalu pukul-pukul dengan menggunakan ulekan atau pantat botol. Memukulnya jangan brutal, tapi hati-hati dengan penuh cinta, sampai keping jengkolnya melebar rata. Ingat, jangan sampai pecah atau robek.
Oya, beberapa produsen emping jengkol memilih menggoreng daripada merebus daging jengkol tua agar lebih ulet dan tidak gampang pecah ketika dipukul-pukul. Hanya saja ilmu menggoreng agar tidak gosong itu yang belum saya pelajari, sehingga saya tidak bisa berbagi kepada kalian. Setelah semua keping jengkol menipis, merata, dan melebar, jemur mereka di bawah terik matahari hingga kering. Perlu seharian penuh kalau cuacanya terang. Jadi sembari nunggu empingnya kering lebih baik kalian ngapa-ngapain dulu kek. Kalau dulu sewaktu saya kecil, untuk membunuh waktu bisasanya saya dan teman-teman petan dulu, cari kutu. Maklum, anak kampung, suka mandi di rawa.
Setelah yakin empingnya kering, gorenglah mereka dalam minyak panas, minyak goreng lho ya, bukan minyak telon, apalagi minyak lintah. Kalau beruntung, bentuk empingnya tidak berubah, tetap lebar cantik ketika dicemplungkan ke dalam minyak panas. Tapi kalau proses bikinnya salah atau tidak hati-hati, bentuk emping bisa saja melungker atau mengkerut ketika digoreng. Siap-siap saja kecewa, yah, namanya juga hidup, penuh dengan kekecewaan.
Sajian emping jengkol siap disajikan, dan akan lebih nikmat jika ditambah dengan sambal bawang. Emping yang satu ini memang selalu hadir bersama pasangannya di kantin-kantin sekolah atau di gerobak sayur keliling. Gampang kok bikin sambal bawang; cabai merah keriting, bawang putih dan garam digilig hingga halus lalu masukkan dalam sedikit minyak goreng panas lalu aduk merata hingga bau harum menguar menusuk penciuman. Saya yakin, begitu Agus Mulyadi mencicip penganan satu ini, seketika ia lupa sama pacar dan berpaling ke saya. Eh…
Kerupuk Jengkol
Kerupuk jengkol berbeda jauh dengan emping jengkol. Bahan yang diperlukan untuk membuat camilan ini bukan cuma jengkol thok dan proses pembuatannya juga jauh lebih rumit. Diperlukan tepung kanji, bawang putih dan garam serta penyedap rasa untuk membuat kerupuk jengkol ini. Bahan utamanya, yakni jengkol, haruslah digiling dulu. Ribet kan? Entah kalau di pasar sudah ada yang jual ekstrak jengkol, sehingga kita tidak perlu repot lagi kalau mau bikin kerupuk jengkol.
Saya sendiri tidak terlalu suka kerupuk jengkol ini. Menurut saya penganan ini sangatlah munafik dan penuh kepura-puraan. Pake dicampur-campur segala biar rasa jengkolnya tidak pekat. Mungkin camilan ini diciptakan untuk mereka kaum priyayi yang penasaran dengan cita rasa jelata ala jengkol tapi tetap tidak ingin ternajisi dengan image jengkol yang bau dan proletar. Apapun lah ya, saya nggak begitu sreg dengan kerupuk jengkol, keontetikan rasa dan dampak yang ditimbulkannya tidak sedahsyat kalau kita makan emping jengkol.
Rendang Jengkol
Bagi kalian yang suka masakan Padang tentu sudah tak asing dengan yang namanya rendang. Tapi, bagaimana kalau kalian memutuskan pindah aliran jadi vegetarian karena alasan-alasan tertentu, misalnya..ya, pengin aja, tapi masih suka kemecer pengin makan rendang? Solusinya gampang, ganti dagingnya dengan gedebog pisang kentang atau tentu saja, jengkol. Kalau kentang, bagi saya kurang mantap karena teksturnya empuk dan lembut. Beda dengan jengkol, sedikit keras dan alot. Mirip-mirip daging lah.
Tapi kalau kalian mau tahu bagaimana cara masak rendang jengkol, lebih baik tanya ke uda-uda RM Sederhana saja ya. Jangan ke saya. Bukan apa-apa, saya hanya takut menyesatkan. Masak rendang terlalu berat buat saya.
Sambel Jengkol
Untuk menu sajian menu yang satu ini, jengkol yang digunakan adalah jengkol yang belum terlalu tua, tapi juga jangan yang berondong. Namanya juga Sambel jengkol, jadi ya jangan kaget kalau bahan utamanya adalah jengkol, namun ada kalanya, sajian ini juga nikmat jika dicampur dengan teri ataupun terong.
Cara masaknya gampang. Sama kayak masak kentang balado atau sambalado-nya Ayu Ting Ting. Jengkol diiris-iris tipis, kemudian digoreng setengah kering, setelah itu, campurkan dengan adonan sambal dan aduk rata.
Di keluarga saya, menu ini jadi andalan kalau orang-orang lagi pada nggak nafsu makan. Siapa yang bisa menolak nasi putih hangat dengan lauk sambal jengkol gurih pedas menggoda. Tidak ada sejarahnya kita bosan sama sambal jengkol. Kalau bosan dan mblenger sama daging waktu Idul Adha sih sering.
Nah, akhirnya, dari empat penganan dan masakan jengkol itu emping jengkol lah yang paling saya rekomendasikan untuk Mas Agus. Tapi, jangan banyak-banyak makannya ya, Mas. Nanti nggak bisa pipis. Dan, plis, setelah makan segera gosok gigi dan ngemut permen mint kesukaanmu, biar abab-mu nggak njengkol-njengkoli.