Kalau dihitung-hitung, saya ini berjilbab sudah puluhan tahun. Lha gimana, sejak saya rajin berangkat ke TPA usia tiga tahun, saya sudah pakai jilbab. Plis, nggak perlu bilang Subhanallah, biasa aja.
TPA saya itu juga biasa kok, ya langgar mushala biasa itu lho—bukan sekolah Islam zaman sekarang yang guru-gurunya Masya Allah saleh-saleha, tapi bayarnya mahal naudzubillah. Guru ngaji saya itu dulu kalau di desa ya koloran, wong pekerjaannya cuma tani dan nyambi tukang becak.
Tidak butuh waktu lama, saya pun sudah jago baca Quran lengkap dengan tajwidnya dan sudah bisa menghafal surat-surat pendek. Tapi ketika kemudian datang musim penghujan, saya tidak ragu untuk main hujan-hujanan di perempatan jalan hanya dengan sempak dan kaos dalam. Saya berjoget massal sambil melarung kapal kertas di parit hingga bermuara ke kali.
Jadi, kalau dipikir-pikir, masa kecil saya itu ya syar’i sekaligus porno. Ternyata sejak kecil saya sudah memupuk dosa pornoaksi, tidak seperti anaknya Ustadzah Oki Setiana Dewi junjungan para ukhti yang baru lahir sudah dijilbabi.
Saya sekolah di SMP dan SMA negeri. Walau tak wajib berjilbab, saya berjilbab lho. Alasannya, disuruh Bapak sih. Ya nurut aja. Toh walaupun berjilbab, saya tetep terpilih jadi Ketua OSIS sampai Ketua Pramuka. Saya juga juara pidato, MTQ, dan lomba yang berbau kearifan lokal: Mendongeng bahasa Jawa.
Saya yakin, anaknya Al-Mukarrom Ustadz Felix Siauw nggak akan boleh ikut-ikutan kegiatan yang begitu itu, karena bakal rawan bercampur dengan lawan jenis. Dan, perempuan kok ndongeng dan nembang basa Jawa di atas panggung? Masya Allah, haram! Menyeramkan! Laki-laki mana yang mau menikahi perempuan yang suka ikhtilat begitu?
Dan pas SMP-SMA dulu, temen cowok saya ganteng-ganteng. Sayang ah kalau nggak dilirik dikit-dikit. Ngelirik thok masa nggak boleh? Lagian, ngelirik lawan jenis itu kan sunnatullah. Siswa-siswa Ma’arif, yang kelas laki-laki dan perempuannya dipisah itu, kalau ketemu sepekan sekali di lapangan upacara juga boleh deg-degan dan lirik-lirikan kok.
Setelah bacaan Quran saya tuntas hingga usia remaja, setiap hari saya nyantri kalong di Pondok Pesantren yang sanad kiainya merupakan santri langsung dari Mbah Asnawi Kudus dan Mbah Maimoen Rembang. Setiap malam pulang mengaji, ketika melewati rumah salah seorang beretnis Tionghoa, saya diteriaki, “Pocong lewat! Pocong lewat!” Kadang-kadang, anjing peliharaannya sengaja dilepas agar mengejar saya yang saat itu naik sepeda. Perasaan saya gimana saat itu? Ya, biasa saja. Wong ndak mudheng.
Baru setelah gede dan ngefans Zen Rs, saya jadi paham bahwa jilbab, selembar kain ringan yang ada di kepala saya ini, bisa bermakna banyak hal. Saya dikejar-kejar anjing itu selepas trauma orde reformasi, setelah rumah para etnis Tionghoa dijarah dan dibakari—padahal tidak semua dari mereka paham apa yang terjadi. Semua orang Tionghoa harus ikut menanggung dosa Republik yang hingga hari ini masih belajar berdemokrasi.
Setelah tahu alasannya begitu, perasaan saya gimana? Ya, tetep biasa aja. Kenyataannya memang begitu, simbol memang dipersepsikan mewakili sesuatu, jilbab dianggap mewakili muslimah, seperti all cops dianggap selamanya bastards sebab dipersenjatai negara, seperti sekumpulan redaktur Mojok dianggap sentimental karena memproduksi air mata.
Ketika kuliah di kampus negeri mentereng di Kota Surakarta, pengalaman saya dengan jilbab makin menarik. Di kampus ini, berisik sekali “jilbab syar’i” didengung-dengungkan. Heran saya. Dan pada akhirnya, ya terpaksalah saya terseret pusaran arus dikotomi: yang syar’i dan yang tidak syar’i.
Dalam periode empat belas semester tapi masih berharap bisa sarjana ini, jilbab saya pernah hampir menyentuh mata kaki, kemudian susut ke bokong, kemudian susut lagi sampai sepunggung, kalau sekarang ya suka-suka saya aja. Tergantung model dan bahan jilbabnya (You guys nggak tahu susahnya jadi perempuan di era hijab fashionistas. Rasanya pengen dicobain semuaaa bahan dan model jilbabnya. No need to protest, saya cuma cewek biasa yang peka sama mode dan estetika—yah, menyesuaikan isi dompet dan waktunya mepet nggak sebelum ke acara, fleksibel ajalah!
Nah, jilbab saya yang muler-mungkret itu, sejarahnya tergantung saya lagi pengen belajar mengaji sama siapa. Nggak tahu kenapa, pas kuliah ini saya justru lupa ajaran kitab yang pernah saya kaji di masa kecil: Ta’limul Muta’alim yang mengajarkan untuk berhati-hati dalam memilih guru, termasuk yang harus jelas sanad keilmuannya hingga ke Rasulullah SAW. Saya malah sering ngaji di emperan-emperan masjid kampus, sambil menyesuaikan panjang jilbab dengan mbak-mbak akhwat. Lha kalau mereka brukutan sebadan gitu, masa saya berjilboobs? Lak saru tho!
Ujungnya, ya tetep aja saya bingung. Saya yang udah syar’i dari kecil merasa tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Pake jilbab ya pakai jilbab aja. Nggak perlu tiap hari kampanye di semua akun media sosial. Saya bahkan pernah sangat sedih ketika mendapati meme yang tulisannya begini:
“Jilbab kami syar’i dibilang Islam garis keras. Lha situ ndak berjilbab, Islam bukan?”
Yaa Rabb… Segitunya lho! 2015, ketika bahkan pohon belimbing depan rumah bisa terdeteksi dengan jelas lewat Google Maps cuma dengan satu klik—yang artinya kapanpun Amerika mau, kita bisa aja dimusnahkan sekarang juga. Lha ini generasi-generasi tanggung malah tiap hari sibuk mengecilkan hati sesama saudaranya. Lha wong simbah sama ibu saya juga ndak berjilbab, wah, mereka Islam atau bukan? Sedih saya. Sesedih ketika di Universitas Indonesia ada Kuliah Umum Om Benedict Anderson (Radhiyallahu Anhu), dan di kampus saya seminarnya “Menjadi Perempuan Kembang Surga”.
Kembang Surga yang dimaksud itu ya yang begitu tuh, yang nggak perlu baca buku, sebab kalau baca buku nanti jadi terbuka pikirannya dan nanti jadi kurang waktu untuk bersolek di rumah. Heran saya, sebenernya kampus saya ini mau mencetak para pemikir atau versi lain dari aplikasi Tinder Syariah?
Ada lagi sebuah cerita, tentang seorang teman memutuskan untuk melepas jilbabnya. Baru lepas jilbab lho ini, nggak murtad. Dia bilang kalau ingin belajar mengenal dirinya dari awal. Katanya kan, barangsiapa mengenal dirinya, maka Ia mengenal Tuhannya. EEEEH! Dicaci-maki teman saya itu oleh para aktivis jilbab syar’i. Teman saya yang ingin menata ulang diri malah terpikir untuk bunuh diri.
Usut punya usut, setelah saya selidiki, semua keradikalan para girlband hijab syar’i itu pangkalnya adalah Laudya Chintya Bella dan iklan Wardah yang dibintangi oleh Dewi Sandra. Lha kok?
Islamisasi iklan perabot perempuan inilah yang membuat peyorasi kata “hijrah”. Bella berhijab dibilang hijrah. Dewi Sandra berhijab dibilang hijrah. Bahkan di Twitter, Peggy Melati Sukma resmi membranding dirinya jadi Motivator Hijrah. Kata hijrah difestivalisasi melalui talkshow atau siaran infotainmen yang memuat wajah mereka, hingga terkesan bahwa jilbab adalah satu-satunya simbol hijrah. Eh, tunggu, muslimah kaffah tidak cukup hanya berjilbab, tapi juga harus pakai bedak, sampo, dan entah apa lagi itu yang iklannya artifisial itu. Semi tragis betul.
Pada tataran ini, akal sehat dan qalb (hati nurani) yang benar-benar berserah menjadi tak penting lagi.
Nah, kalau sudah lengkap pakai sabun dan sampo syariah itu, bikinlah Moslem Clothing Line, dan peradaban dunia akan jaya tanpa perlu penerus-penerus pemikir Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina—eh,  lupa saya, bliyo berdua itu kan sudah dikafirkan sodara saya yang salafi karena mereka belajar filsafat.
Modyar.
Susahnya jadi perawan.