Kalau boleh saya ibaratkan, dan harusnya boleh karena ini tulisan saya sendiri, musik dan fashion itu ibarat pasangan yang hamil di luar nikah: saling mengikat.
(Maaf kalau saya kurang pintar bab analogi.)
Pertama, jelas karena musik butuh pakaian. Ke apotek telanjang saja sudah jadi perbincangan, apalagi ke atas panggung.
Kedua, karena gaya berpakaian seorang musisi sedikit banyak merepresentasikan musik yang dimainkan. Sebagai contoh, akan menjadi bahan berita yang cukup menggemparkan forum gosip artis online Indonesia (ini forum saya buat-buat sendiri) andai Opick memutuskan manggung dengan celana tiga perempat, kaos oblong, dan snapback warna terang (ini Opick napa jadi pop-punk?). Bisa dibayangka betapa banyaknya umpatan-umpatan kurang piknik terhadap beliau dari netizen sang maha tahu karena perubahan dresscode-nya ini.
(Kalau dipikir-pikir lagi sih, seru kali ya melihat reaksi netizen seandainya Opick mengambil keputusan sesuai imajinasi ini [ingat, kolom komentar netizen di media sosial adalah wahana hiburan paling seru setelah Dufan dan grup WhatsApp keluarga]. Padahal kalau saya jadi Opick dan dihujat seperti itu sih, saya tinggal bilang, “Aurat saya cuman dari udel sampe lutut kok,” kemudian lanjut nyanyi “Dealova”.)
Terlepas dari kasus Opick yang malah jadi dua paragraf sendiri, kaitan antara cara berpakaian dengan musik bisa kita lihat di sini. Bahwasanya musik tertentu lekat kaitannya dengan kode busana spesifik.
Lalu, muncul pertanyaan dalam benak saya tentang bagaimana saya sebaiknya berpakaian ketika saya bergabung ke dalam sebuah band indie. Apa yang harus saya pakai? Apakah ada dresscode untuk saya si anak indie ini? Apakah saya indie apabila celana jins saya robek-robek? Apakah saya indie apabila memakai ikat kepala Konoha? Untuk menjawab tanya ini, saya kemudian memutuskan untuk stalking Instagram Tatan. Tidak menjawab kebingungan saya sih, namun setidaknya saya menjadi tahu contoh halus bagaimana menjadikan anak-anak komoditas yang menguntungkan.
Setelah mengulang dua ratus lima puluh kali memutar video Tatan bernyanyi “Naik Kereta Api” (sungguh, menurut saya ini video terbaik Tatan setelah video “Tatan Jadi Pelayan”), saya memutuskan untuk menganalisis kode busana band indie dari band-band indie yang saya tahu.
Oh ya, sebelum membicarakan lebih jauh soal kode busana band indie, mari kita samakan persepsi dahulu perihal definisi indie yang akan saya gunakan. Menurut sumber tepercaya saya (yaitu halaman pertama artikel pertama Google Search ketika saya mengetik frase “indie adalah”), indie bukanlah suatu genre musik, melainkan sebuah gerakan musik yang bebas, mandiri, dan tidak bergantung pada sebuah label musik, apa pun genrenya.*
Melalui wawancara saya kepada teman saya yang pintar, indie sendiri boleh mempunyai label, namun label ini biasanya label bikinan sendiri atau label orang lain tapi tidak memberi batasan dalam karya dan, tentunya, cara berpakaian kepada si band indie ini. Mari tidak usah debatkan keabsahan sumber saya pada dua pernyataan di atas, saya mempercayai halaman pertama Google dan teman saya sepenuh hati.
Oke, setelah sepaham dengan definisi indie yang saya imani, saya coba jabarkan konsep berpakaian band-band yang termasuk indie menurut definisi saya di atas, dengan harapan saya bisa terinspirasi soal kode busana indie secara umum.
Barasuara
Barasuara adalah band dengan konsep berpakaian yang cukup kuat karena masing-masing personelnya sudah punya busana sendiri-sendiri yang selalu dipakai saat manggung. Iga Massardi selalu menggunakan batik, mungkin karena dia cinta budaya Jawa.
Selain Iga, ada Marco Steffiano yang selalu menggunakan hoodie berwarna biru gelap/hitam. Karena beliau memakai hoodie-lah saya segan sekali dengan beliau ini. Sepengetahuan saya, menggebuk drum adalah kegiatan yang paling mengundang keringat, apalagi dengan musik seperti Barasuara, tapi beliau pede saja pakai hoodie walaupun pasti gerah. Meskipun biasanya juga dilepas pada lagu-lagu akhir, tapi beliau selalu coba lagi-coba lagi dan tetep keukeuh menjadikan hoodie dresscode-nya. Sayang banget sama beliau. Luvyu Marco.
Stars and Rabbit
Bukan kerlap-kerlip anting-anting Mbak Elda atau topi pancing Mas Adi yang akan saya bahas di sini, karena memang Anda semua pasti sudah tahu. Yang ingin saya bahas adalah gaya nyeker yang dibawa Mbak Elda setiap kali manggung. Apa? Anda juga sudah tahu? Ya tidak apa-apalah, Anda kan netizen serbatahu juga.
Konsep nyeker tentu menjadi jalan pintas terbaik buat Anda yang tidak ingin ribet memikirkan mau pakai sepatu apa kalau manggung. Selain itu, hal terbaik dari nyeker saat manggung adalah Anda bisa langsung menggaruk bagian kaki yang gatal secara cepat.
Coba bayangkan kalau Anda manggung kemudian kaki Anda gatal, kemudian Anda harus copot sepatu dulu, copot kaos kaki, lalu menggaruk kaki, kemudian memasang kaos kaki kembali, memakai sepatu, dan mengikat tali nya? Begitu Anda selesai, lagu yang band Anda mainkan juga sudah tamat (bersama dengan karier Anda).
Fourtwnty
Secara pribadi saya memilih busana Fourtwnty sebagai busana terbaik band indie untuk sepuluh tahun ke depan. Fourtwnty memadukan kaos bohemian longgar dengan celana longgar pula yang apabila celana longgar Anda basah sebelum manggung, bisa Anda subtitusi dengan kain bohemian yang disarungin. Saya merekomendasikan kode busana ini untuk anak-anak kos yang juga anak band, pakaian serbalonggarmu yang kau pakai untuk tidur itu bisa dipakai manggung, Bos! Ditambah lagi, Fourtwnty juga nyeker. Sempurna.
Saya juga merekomendasikan kode busana ini kepada anak band yang tidak mendapat restu orang tua. Pakaian serbalonggar dan bohemian tidak akan dicurigai oleh para orang tua sebagai kostum panggung, kecuali orang tua Anda adalah vokalis Fourtwnty.
Dari ketiga band tersebut, bisa saya tarik kesimpulan bahwa kode busana band indie adalah: suka-suka aja. Namanya juga indie.
*“Mengenal Band Indie dan Sejarah Band Perkembangannya”. Beneran saya dapat ini di halaman pertama Google Search.