Dalam Mengarang Itu Gampang, Arswendo Atmowiloto membagi cara pengarang menutup ceritanya menjadi tiga plot: ledakan, lembut, dan lembut-meledak.
Plot ledakan mengacu pada cerita yang berakhir secara mengejutkan. Plot lembut untuk cerita yang berakhir layaknya bisikan, menyisakan gema yang serasa tak habis-habis. Adapun plot lembut-meledak memadukan keduanya: “Akhir cerita yang ditulis dengan lembut, lirih, tapi kenyataannya begitu mengenyakkan pembaca.”
Film Turah menutup diri secara lembut-meledak. Seperti mimpi buruk yang mendadak terpenggal, tetapi menyisakan helaan napas panjang. Membuat terdiam sekaligus meninggalkan keresahan yang lama berkecamuk di kepala. Masih bergaung panjang setelah kita beranjak dari kursi bioskop.
Film dibuka dengan pengumuman kematian Slamet, seorang bocah sembilan tahun. Dengan penerangan lampu petromaks, kita diantarkan melongok tanah makam yang masih segar dan keluarga yang menekur dalam duka.
Kemudian, kita diajak menyimak adegan ranjang yang amat mesra sekaligus memilukan. Dua orang tetangga Slamet, istri suami Kanti dan Turah, berangkat tidur sambil memperbincangkan kenangan akan si bocah.
Sembari jemari Kanti mengelus-elus dada kerempeng Turah, si suami bercerita. Suatu hari Slamet mendatanginya, meminta dibuatkan layang-layang. Setelah jadi, bukannya diterbangkan, Slamet berkeliling memamerkan layang-layang itu kepada teman-temannya.
Perbincangan lantas bergulir ke kondisi mereka sendiri. “Ti, apa kamu masih belum kepengin punya anak?” tanya Turah penuh harap.
Jawaban Kantilah yang membikin adegan mesra ini jadi pilu. Kanti enggan punya anak karena tidak mau membesarkannya dalam kondisi hidup yang memprihatinkan. Kondisi yang tidak menjanjikan pengharapan akan masa depan yang lebih baik.
Lalu, film pun menjadi pembenaran panjang atas keengganan Kanti tersebut. Suara Kanti ini bukan suara seorang feminis yang membela hak perempuan atas tubuhnya, melainkan suara perempuan desa yang sadar dan peka membaca tanda-tanda alam dan zaman yang melingkupinya.
Kanti dan Turah adalah warga Kampung Tirang, perkampungan miskin yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir pantai utara dekat Pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. Melalui sinematografi yang efektif, kita diajak menelusuri dan meresapi kekumuhan dan keterisolasian kampung itu. Siang hari, air tambak yang kelabu mengepung mereka. Rumah mereka berdinding papan kayu, beralas tanah, dan tanpa pagar sehingga pertikaian sebuah keluarga segera menjadi tontonan warga sekampung. Malamnya kampung gelita, sebagian rumah masih diterangi lampu teplok, dan lampu-lampu Kota Tegal sesekali terlihat nun di latar belakang sana. Pembangkit listrik tenaga diesel yang diandalkan warga tampaknya lebih sering merepotkan daripada berguna. Adegan lampu neon yang mbleret terasa mencekam dan mengenaskan.
Kampung itu dikendalikan oleh Juragan Dargo, yang berkeliling diiringi tangan kanannya, Pakel, seorang sarjana licik. Warga tunduk patuh, bahkan penuh syukur, atas peran sang juragan. Dialah sang pemberi kehidupan, menyediakan tempat tinggal dan pekerjaan bagi mereka. Mereka pasrah, nrima ing pandum, tidak berani mengeluh atas penghasilan pas-pasan dari hasil kerja mereka, penghasilan yang tak memungkinkan untuk sekadar mengajak anak jalan-jalan dan piknik.
Realitas pahit ini menemukan puncaknya dalam adegan yang menyayat hati sekaligus lucu karena saking absurdnya. Suatu siang Turah mendapati mayat seorang bayi. Dibantu Jadag, seorang tetangga, Turah menguburkannya di sepetak tanah lapang yang telah dipenuhi nisan-nisan lain. Rupanya kematian bayi sudah merupakan rutinitas di kampung itu.
Datanglah Juragan Darso dan Pakel dengan diiringi dua polisi dan serombongan wartawan. Turah sempat ditegur karena lalai melapor. Lalu, seorang wartawan melontarkan pertanyaan konyol yang sering kita lihat di televisi tolol Ibu Kota: “Bagaimana upaya warga untuk mengatasinya?”
Jadag menyambar pertanyaan ini secara telak. Upaya bagaimana? Ini sudah upaya terbaik: langsung menguburkan mayat-mayat bayi yang sudah berbau bacin ini. Melapor dan menunggu campur tangan polisi tidak ada gunanya, tidak mengubah keadaan.
Di sini kita jadi paham betul keengganan Kanti di adegan awal. Jika bayi yang sudah telanjur lahir saja segera diserahkan kembali kepada alam, siapa masih tega untuk menambah bayi lagi? Kampung Tirang tak menjanjikan masa depan.
Dalam kondisi yang suram ini, warga terintimidasi dan bungkam. Mereka merasa diberi penghidupan oleh Juragan Darso, padahal sebenarnya dijadikan sapi perah. Mereka tak punya daya dan kuasa untuk melawan. Mereka adalah orang-orang yang tersingkir di kampungnya sendiri.
Sampai Jadag, laki-laki pemabuk dan tukang main togel yang tengah menunggu anak kedua, mengungkit ketimpangan ini. Ia mencoba memengaruhi Turah, yang sebelumnya juga pasrah-pasrah saja dengan keadaan itu, dan warga lain untuk melawan. Namun, mungkinkah keduanya menjadi pahlawan bagi kampung mereka?
Turah merupakan debut menawan sutradara Wicaksono Wisnu Legowo. Ia terlihat menguasai betul medan cerita dan kejiwaan warga, seakan-akan bocah Kampung Tirang sendiri yang menuturkan nasib mereka.
Seluruh dialog dibawakan dalam bahasa Jawa dialek Tegal. Segar, sejenak membebaskan kita dari dialek Jakarta yang mendominasi film dan sinetron Indonesia. Dan amat efektif menggarisbawahi pesan yang diusung—di sana-sini dilumuri umpatan lokal yang tajam dan menandaskan kepahitan hidup; dialog terdengar begitu akrab, seperti yang terbayang saat membaca cerpen-cerpen Kuntowijoyo.
Akting para pemain pun mencapai taraf kewajaran yang sangat jarang ditemukan dalam film Indonesia. Salut untuk Ubaidillah sebagai Turah dan Narti Diono sebagai Kanti yang sukses menampilkan suami istri yang tabah, saling mendukung, dengan kemesraan yang teredam namun hangat. Jempol khusus bagi Slamet sebagai Jadag. Dengan lancar ia melontarkan kalimat-kalimat pedas dan menggugat secara beruntun, dilengkapi dengan sosok tubuh dan raut wajah yang mewakili kegetiran hidup.
Sebagaimana Negeri di Bawah Kabut (Shalahuddin Siregar, 2011—selanjutnya disebut Kabut), Turah menawarkan potret Indonesia yang menyayat hati, tetapi dalam warna lain. Kabut film dokumenter tentang Desa Genikan di Kabupaten Magelang, yang juga terisolasi dari dunia luar dan harus berjuang sendiri menghadapi kepelikan hidup. Negara hanya lewat saat pemilu. Selebihnya, warga mesti berjibaku menghadapi tantangan perubahan iklim dan kesulitan perekonomian tanpa kehadiran negara.
Kabut masih menyisakan ruang untuk gojek kere sebagai perlawanan atas kesulitan hidup. Di Turah, penonton juga sesekali tergelak—bukan oleh kelucuan, melainkan karena keabsurdan hidup, yang ditandaskan dengan umpatan yang tajam dan telak. Kabut menutup diri dengan optimisme, sekalipun hanya setipis kabut. Sedangkan Turah memilih jalan yang lembut meledak tadi: penyelesaian konflik secara mendadak dan tak terduga, membikin perut memilin dingin dan meninggalkan kengiluan panjang yang sulit ditepiskan. Sungguh kado yang sempurna untuk NKRI di ulang tahunnya yang ke-72. Pengingat bahwa di alam kemerdekaan ini, menjadi miskin bukan kemewahan pilihan hidup buah dari renungan filsafati. Orang tidak memilih menjadi miskin, melainkan miskin dan kemudian membuat pilihan-pilihan. Pilihan yang semuanya menyakitkan.