Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Ulasan Film

Review Film ‘Turah’, Miskin Itu Menyakitkan

Arie Saptaji oleh Arie Saptaji
20 Agustus 2017
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dalam Mengarang Itu Gampang, Arswendo Atmowiloto membagi cara pengarang menutup ceritanya menjadi tiga plot: ledakan, lembut, dan lembut-meledak.

Plot ledakan mengacu pada cerita yang berakhir secara mengejutkan. Plot lembut untuk cerita yang berakhir layaknya bisikan, menyisakan gema yang serasa tak habis-habis. Adapun plot lembut-meledak memadukan keduanya: “Akhir cerita yang ditulis dengan lembut, lirih, tapi kenyataannya begitu mengenyakkan pembaca.”

Film Turah menutup diri secara lembut-meledak. Seperti mimpi buruk yang mendadak terpenggal, tetapi menyisakan helaan napas panjang. Membuat terdiam sekaligus meninggalkan keresahan yang lama berkecamuk di kepala. Masih bergaung panjang setelah kita beranjak dari kursi bioskop.

Film dibuka dengan pengumuman kematian Slamet, seorang bocah sembilan tahun. Dengan penerangan lampu petromaks, kita diantarkan melongok tanah makam yang masih segar dan keluarga yang menekur dalam duka.

Kemudian, kita diajak menyimak adegan ranjang yang amat mesra sekaligus memilukan. Dua orang tetangga Slamet, istri suami Kanti dan Turah, berangkat tidur sambil memperbincangkan kenangan akan si bocah.

Sembari jemari Kanti mengelus-elus dada kerempeng Turah, si suami bercerita. Suatu hari Slamet mendatanginya, meminta dibuatkan layang-layang. Setelah jadi, bukannya diterbangkan, Slamet berkeliling memamerkan layang-layang itu kepada teman-temannya.

Perbincangan lantas bergulir ke kondisi mereka sendiri. “Ti, apa kamu masih belum kepengin punya anak?” tanya Turah penuh harap.

Jawaban Kantilah yang membikin adegan mesra ini jadi pilu. Kanti enggan punya anak karena tidak mau membesarkannya dalam kondisi hidup yang memprihatinkan. Kondisi yang tidak menjanjikan pengharapan akan masa depan yang lebih baik.

Lalu, film pun menjadi pembenaran panjang atas keengganan Kanti tersebut. Suara Kanti ini bukan suara seorang feminis yang membela hak perempuan atas tubuhnya, melainkan suara perempuan desa yang sadar dan peka membaca tanda-tanda alam dan zaman yang melingkupinya.

Kanti dan Turah adalah warga Kampung Tirang, perkampungan miskin yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir pantai utara dekat Pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. Melalui sinematografi yang efektif, kita diajak menelusuri dan meresapi kekumuhan dan keterisolasian kampung itu. Siang hari, air tambak yang kelabu mengepung mereka. Rumah mereka berdinding papan kayu, beralas tanah, dan tanpa pagar sehingga pertikaian sebuah keluarga segera menjadi tontonan warga sekampung. Malamnya kampung gelita, sebagian rumah masih diterangi lampu teplok, dan lampu-lampu Kota Tegal sesekali terlihat nun di latar belakang sana. Pembangkit listrik tenaga diesel yang diandalkan warga tampaknya lebih sering merepotkan daripada berguna. Adegan lampu neon yang mbleret terasa mencekam dan mengenaskan.

Kampung itu dikendalikan oleh Juragan Dargo, yang berkeliling diiringi tangan kanannya, Pakel, seorang sarjana licik. Warga tunduk patuh, bahkan penuh syukur, atas peran sang juragan. Dialah sang pemberi kehidupan, menyediakan tempat tinggal dan pekerjaan bagi mereka. Mereka pasrah, nrima ing pandum, tidak berani mengeluh atas penghasilan pas-pasan dari hasil kerja mereka, penghasilan yang tak memungkinkan untuk sekadar mengajak anak jalan-jalan dan piknik.

Realitas pahit ini menemukan puncaknya dalam adegan yang menyayat hati sekaligus lucu karena saking absurdnya. Suatu siang Turah mendapati mayat seorang bayi. Dibantu Jadag, seorang tetangga, Turah menguburkannya di sepetak tanah lapang yang telah dipenuhi nisan-nisan lain. Rupanya kematian bayi sudah merupakan rutinitas di kampung itu.

Datanglah Juragan Darso dan Pakel dengan diiringi dua polisi dan serombongan wartawan. Turah sempat ditegur karena lalai melapor. Lalu, seorang wartawan melontarkan pertanyaan konyol yang sering kita lihat di televisi tolol Ibu Kota: “Bagaimana upaya warga untuk mengatasinya?”

Jadag menyambar pertanyaan ini secara telak. Upaya bagaimana? Ini sudah upaya terbaik: langsung menguburkan mayat-mayat bayi yang sudah berbau bacin ini. Melapor dan menunggu campur tangan polisi tidak ada gunanya, tidak mengubah keadaan.

Di sini kita jadi paham betul keengganan Kanti di adegan awal. Jika bayi yang sudah telanjur lahir saja segera diserahkan kembali kepada alam, siapa masih tega untuk menambah bayi lagi? Kampung Tirang tak menjanjikan masa depan.

Dalam kondisi yang suram ini, warga terintimidasi dan bungkam. Mereka merasa diberi penghidupan oleh Juragan Darso, padahal sebenarnya dijadikan sapi perah. Mereka tak punya daya dan kuasa untuk melawan. Mereka adalah orang-orang yang tersingkir di kampungnya sendiri.

Sampai Jadag, laki-laki pemabuk dan tukang main togel yang tengah menunggu anak kedua, mengungkit ketimpangan ini. Ia mencoba memengaruhi Turah, yang sebelumnya juga pasrah-pasrah saja dengan keadaan itu, dan warga lain untuk melawan. Namun, mungkinkah keduanya menjadi pahlawan bagi kampung mereka?

Turah merupakan debut menawan sutradara Wicaksono Wisnu Legowo. Ia terlihat menguasai betul medan cerita dan kejiwaan warga, seakan-akan bocah Kampung Tirang sendiri yang menuturkan nasib mereka.

Seluruh dialog dibawakan dalam bahasa Jawa dialek Tegal. Segar, sejenak membebaskan kita dari dialek Jakarta yang mendominasi film dan sinetron Indonesia. Dan amat efektif menggarisbawahi pesan yang diusung—di sana-sini dilumuri umpatan lokal yang tajam dan menandaskan kepahitan hidup; dialog terdengar begitu akrab, seperti yang terbayang saat membaca cerpen-cerpen Kuntowijoyo.

Akting para pemain pun mencapai taraf kewajaran yang sangat jarang ditemukan dalam film Indonesia. Salut untuk Ubaidillah sebagai Turah dan Narti Diono sebagai Kanti yang sukses menampilkan suami istri yang tabah, saling mendukung, dengan kemesraan yang teredam namun hangat. Jempol khusus bagi Slamet sebagai Jadag. Dengan lancar ia melontarkan kalimat-kalimat pedas dan menggugat secara beruntun, dilengkapi dengan sosok tubuh dan raut wajah yang mewakili kegetiran hidup.

Sebagaimana Negeri di Bawah Kabut (Shalahuddin Siregar, 2011—selanjutnya disebut Kabut), Turah menawarkan potret Indonesia yang menyayat hati, tetapi dalam warna lain. Kabut film dokumenter tentang Desa Genikan di Kabupaten Magelang, yang juga terisolasi dari dunia luar dan harus berjuang sendiri menghadapi kepelikan hidup. Negara hanya lewat saat pemilu. Selebihnya, warga mesti berjibaku menghadapi tantangan perubahan iklim dan kesulitan perekonomian tanpa kehadiran negara.

Kabut masih menyisakan ruang untuk gojek kere sebagai perlawanan atas kesulitan hidup. Di Turah, penonton juga sesekali tergelak—bukan oleh kelucuan, melainkan karena keabsurdan hidup, yang ditandaskan dengan umpatan yang tajam dan telak. Kabut menutup diri dengan optimisme, sekalipun hanya setipis kabut. Sedangkan Turah memilih jalan yang lembut meledak tadi: penyelesaian konflik secara mendadak dan tak terduga, membikin perut memilin dingin dan meninggalkan kengiluan panjang yang sulit ditepiskan. Sungguh kado yang sempurna untuk NKRI di ulang tahunnya yang ke-72. Pengingat bahwa di alam kemerdekaan ini, menjadi miskin bukan kemewahan pilihan hidup buah dari renungan filsafati. Orang tidak memilih menjadi miskin, melainkan miskin dan kemudian membuat pilihan-pilihan. Pilihan yang semuanya menyakitkan.

Terakhir diperbarui pada 27 Mei 2021 oleh

Tags: 2017Filmfilm indonesianegeri di bawah kabutreviewturahwicaksono wisnu legowo
Iklan
Arie Saptaji

Arie Saptaji

Artikel Terkait

Film Safe Haven.MOJOK.CO
Seni

Tutorial Masuk Surga ala “Kang Mus” dalam Safe Haven, Film Pendek Berdurasi Singkat tapi Ngilunya Melekat

29 April 2025
Pabrik Gula lempeng. MOJOK.CO
Ragam

Mengulik Kejadian Nyata dari Pabrik Gula, Film Horor yang Alur Ceritanya “Lempeng-lempeng” Saja

7 April 2025
Film Qodrat 2: Ketika Perempuan Buruh Pabrik Dieksploitasi Kapital sekaligus Jadi Tumbal.MOJOK.CO
Seni

Film Qodrat 2: Ketika Perempuan Buruh Pabrik Dieksploitasi Kapital sekaligus Jadi Tumbal

23 Maret 2025
Review film Indonesia terbaru, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu garapan Hanung Bramantyo adaptasi novel laris Puthut EA (MOJOK.CO)
Catatan

Membedah Isi Kepala Laki-laki yang Selalu Bilang “Belum Siap” kalau Diajak Nikah

15 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pemuda Jogja bisa kerja dengan gaji senilai perusahaan Amerika Serikat. MOJOK.COA

Pertama Kali Dapat Kerja di Jogja sambil Kuliah, Kaget Bisa Dapat Cuan Senilai Perusahaan Besar di Amerika Serikat

20 Juni 2025
mahasiswa kkn.MOJOK.CO

Dapat Kelompok KKN “AFK” dan “Nggak Napak Tanah” Itu Seburuk-buruknya Nasib: Merepotkan Teman dan Warga Cuma Demi Nilai A

17 Juni 2025
mengurus ktp hilang.MOJOK.

Rasanya Jadi Perantau Mengurus KTP Hilang di Dukcapil Sleman: “Sat-Set”, Lima Menit Selesai, Tidak Ribet Seperti di Tangerang

16 Juni 2025
Pertandingan sepak bola putri di Jogja dalam laga MLSC. MOJOK.CO

Sepatu Rusak: Saksi Bisu dari Atlet Sepak Bola Putri di Jogja yang Penuh Nyali dan Nilai Mahal yang Mereka Pelajari

19 Juni 2025
Lapangan Stadion Tridadi Sleman jadi saksi tubuh kecil bisa tumbangkan tubuh besar di ajang MLSC Jogja edisi ketiga MOJOK.CO

Haru dan Dramatis Sepak Bola Putri di Lapangan Tridadi: Tubuh-tubuh Mungil Tumbangkan Lawan Lebih Besar

21 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.