Lebaran bukan sekadar momen religi. Lebih dari itu, ia juga momen kultural yang sudah begitu lekat dengan masyarakat Indonesia, terutama kaum muslim. Lebaran menjadi momentum untuk bersilaturahmi dengan keluarga, tetangga, teman, hingga rekan kerja. Dalam agama Islam, silaturahmi merupakan salah satu elemen penting untuk menciptakan hubungan antarmanusia yang lebih baik.
Sebenarnya tradisi silaturahmi tidak hanya dikenal di kalangan muslim saja. Umat beragama lain juga punya momen-momen khusus yang biasa mereka gunakan untuk bersilaturahmi dengan keluarga maupun teman dekat. Thanksgiving, misalnya, merupakan perayaan keagamaan yang kemudian berkembang menjadi tradisi di Kanada, Amerika Serikat, Liberia, dan beberapa negara Karibia. Layaknya Lebaran, Thanksgiving menjadi ajang kumpul keluarga dalam nuansa penuh suka cita.
Ada beberapa film yang mengangkat latar Thanksgiving, salah satunya yang menurut saya cukup mengesankan adalah Pieces of April (sutradara Peter Hedges, 2003). Melihat tampilan visualnya saja, kita bisa langsung menyimpulkan ini bukan film yang digarap dengan dana besar. Terlepas dari aspek biaya produksi yang sangat kecil, Pieces of April berhasil menampilkan konflik berlatar Thanksgiving dengan sangat memukau.
Bintang utamanya adalah Katie Holmes yang memerankan karakter eksentrik bernama April Burns. Lupakan sejenak citra Holmes yang biasa memerankan perempuan “biasa-biasa saja”. Di film ini, Holmes tampil total dengan karakter yang mungkin tidak akan pernah Anda temukan di film-filmnya yang lain.
April Burns seorang perempuan muda dengan gaya hidup yang boleh dibilang “liar”. Dia dan kekasihnya, seorang Afro-Amerika bernama Bobby, tinggal bersama di kawasan miskin New York. Meski hidup awut-awutan, April dan Bobby berusaha sekuat tenaga mempersiapkan makan malam spesial untuk keluarga April yang rencananya akan merayakan Thanksgiving di apartemen murah yang didiami mereka berdua.
Di bagian lain, digambarkan kesibukan keluarga April yang akan berangkat ke New York dari Pennsylvania. Pada bagian ini, penonton untuk pertama kali akan berkenalan dengan karakter Joy Burns, ibu April. Berbeda dengan April yang bebas dan memberontak, Joy dingin dan penggerutu. Di bagian ini jugalah penonton bisa melihat penyebab rapuhnya hubungan antara April dengan keluarganya.
Sebagai semacam usaha rekonsiliasi, keluarga April memutuskan mengunjungi April di New York dan merayakan Thanksgiving bersama-sama. Keputusan ini cukup krusial dan terlihat jelas bila Joy sangat menentangnya. Namun, toh dia tetap ikut pergi ke New York untuk bertemu anak gadisnya. Apakah semua berjalan lancar? Tentu saja tidak. Apa menariknya jika semua rencana berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan?
Keluarga April bukan keluarga yang sempurna. Keluarga April adalah apa yang biasa kita kenal dengan istilah dysfunctional family. Sepanjang perjalanan dari Pennsylvania menuju New York, penonton akan disuguhkan kepingan demi kepingan yang mungkin bisa membantu memahami masalah apa yang sedang dihadapi oleh April dan keluarganya.
April dianggap sebagai anak yang mengecewakan. Di lain pihak, April juga merasa bahwa keluarganya tidak pernah memberikan apa yang paling dia butuhkan selama ini. Gesekan dalam relasi antara anak dan orang tua digambarkan dengan sangat baik dalam film ini, terasa sangat dekat dengan kehidupan nyata dan tidak terlalu berlebihan.
Usaha April untuk menyenangkan serta membuat orang tuanya merasa dihargai meskipun mungkin dalam hati dia tetap memiliki amarah yang membara pada keluarganya sedikit banyak pernah dialami oleh satu dua orang di antara kita. Setiap keluarga pasti memiliki satu orang anak yang dijadikan kambing hitam: selalu disalahkan dan dianggap tak berguna, hanya merepotkan dan tidak bisa dibanggakan.
Kebanyakan anak seperti ini berkembang menjadi individu yang memberontak dan temperamental. Tak jarang beberapa dari mereka kemudian terjerumus dalam gelapnya kehidupan. Namun, ada beberapa dari mereka yang kemudian menemukan jalan hidupnya sendiri. Di satu titik, mereka mungkin akan berusaha untuk berdamai dengan keluarganya meskipun mereka sendiri sadar bahwa itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.
Ada begitu banyak hal menarik yang film ini coba sampaikan. Hal pertama tentu saja hubungan antara anak dan keluarga yang kadang kala jauh dari kata harmonis. April yang berusaha keras membuka kembali hubungan baik dengan keluarganya mungkin akan terasa sangat mirip dengan kehidupan pribadi sebagian dari kita. Di sisi lain, keluarga April yang telanjur menganggapnya gagal mungkin juga terasa dekat dengan kehidupan personal beberapa penonton.
Hal menarik lain adalah interaksi antara April dengan tetangganya yang terjadi pada salah satu bagian film ini. Bagian ini menunjukkan bahwa hal-hal baik memiliki nilai universal yang mampu menembus segala perbedaan karakter, ras, bahkan agama. Bahwa semua orang bisa bekerja sama untuk mewujudkan satu tujuan bila mereka mau mengesampingkan segala perbedaan yang ada.
Silaturahmi dibutuhkan manusia, terlepas dari aspek religius yang membobotinya. Kita sebagai manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain dan selalu mendamba hubungan yang lebih baik dengan siapa pun, baik itu keluarga kita sendiri, teman-teman kita, tetangga-tetangga kita, atau bahkan orang terdekat kita yang kemudian berubah menjadi orang asing. Jika perempuan seperti April bisa mewujudkan silaturahmi yang dia idamkan, apa yang menghalangi kita untuk berbuat hal yang sama? Ego? Perspektif? Asumsi? Perbedaan? Mengapa kita tidak bisa atau bahkan tidak mau memperjuangkan apa yang berarti bagi kita layaknya apa yang dilakukan oleh April?
Selamat Lebaran, selamat bersilaturahmi.