Jika ia datang mendobrak pintu, dan penghuni rumah kaget sambil bertanya siapa, ia akan memperkenalkan diri dengan cara mengeluarkan kartu domino “biji dua belas” alias balak enam. Terbuat dari sepuhan emas 22 karat. Itu cukup untuk bikin orang mengkeret, dengan lutut gemetar. Sebab, itu artinya ia tengah menghadapi agen legendaris dari markas besar polisi di Kebon Kacang. Six Balax.
Ia digambarkan sebagai “super spy pribumi”. Ia agen yang tak bisa disogok (setidaknya secara terang-terangan), bermata juling, pitak di sisi kiri keningnya, pemilik revolver Magnum 44 yang merupakan kenang-kenangan dari Dirty Harry ketika mereka bertemu di rumah geisha di Tokyo. Ia juga menguasai ilmu bela diri, sebab pernah belajar hingga ke Cina dan Jepang.
Jadi jangan bayangkan ia seperti agen necis pujaan banyak perempuan macam agen 007, James Bond. Juga jauh dari kesan agen polisi di novel-novel bubur kertas Amerika macam Philip Marlowe karangan Raymond Chandler, yang peminum tapi pemikir dan filosofis dan penikmat catur dan puisi. Six Balax merupakan sejenis keajaiban: norak, tak rupawan, tak meyakinkan, tapi mampu membuat ngeri para penjahat Jakarta di tahun 70an.
Hino Minggo, penulis novel Six Balax: The Man with Golden Golok ini, bahkan sering menempatkannya dalam situasi tak termaafkan: misalnya menerobos markas penjahat dengan brutal dan penuh keberanian, tapi kemudian jumpalitan setelah tak sengaja menginjak kulit pisang.
Menemukan novel yang terbit ketika saya bahkan masih balita ini, tahun 1977, merupakan anugerah. Ia tak hanya menjadi sejenis mesin waktu, tapi juga kemewahan bagi manusia di sebuah negeri di mana buku dengan mudah dilupakan.
Anugerah karena saya bisa menemukan kalimat-kalimat asoy yang merupakan pencampuran biadab dari berbagai penggunaan bahasa. Lihat ini: “Yang membuatnya penasaran, gadis jelita sweet seventeen yang baru dinikahinya secara gelap itu belum sempat dikutik-kutiknya.” Atau yang ini: “Tak ketinggalan kasur tempat Abdulgani tidur di-odol-odol.” Terakhir ini: “Dan moncong sedan itu nancap kecebur dalam kubangan babi.” Jangan senewen, gaya bahasa Hino Minggo aseli bisa bikin orgasme para kritikus sastra kapiran!
Seperti agen polisi lainnya, tentu saja Six Balax harus menghadapi berbagai kasus kriminal. Dan sebagaimana agen polisi, ia juga memiliki musuh bebuyutannya sendiri. Dalam kasus ini, musuh bebuyutannya dikenal dengan julukan The Man with Golden Golok. Musuh yang pernah membunuh kekasih si agen polisi dan satu-satunya kriminil yang masih bebas berkeliaran tak tersentuh oleh si agen.
Hal terbaik dari kisah-kisahnya adalah, kita tak perlu bertemu penjahat dengan obsesi keterlaluan ingin menguasai dunia. Tidak. Biarlah urusan begitu kita serahkan kepada Hollywood. Untuk Six Balax, cukup kasus-kasus kriminil lokal, yang meskipun skalanya kecil, tapi cukup pula membuatnya geleng-geleng kepala sampai pening.
Katakanlah segerombolan penjahat kambuhan yang menculik isteri muda seorang pengusaha kaya. Tak ada yang istimewa dari kasus ini, baik korban maupun pelakunya. Bisa terjadi di sudut ibukota yang mana pun, kapan pun. Yang membuat Six Balax jengkel dan ingin mengungkapkan kasus ini, karena penghinaan yang ditujukan kepada kepolisian, utamanya kepada dirinya sendiri. Si penculik meminta uang tebusan, dimasukkan ke dalam karung, dan diletakkan di atap rumah. Bajingan, bukan? Di atap rumah!
Dalam kisah yang lain, kejahatannya bercampur dengan ilmu hitam. Hal ini dilakukan segerombolan anak-anak jebolan SMA yang gagal masuk kuliah, karena tak sanggup membayar uang gedung. Mereka dendam, dan melakukan serangkaian pembunuhan berantai atas dekan-dekan di universitas-universitas yang meminta uang gedung. Bangke. Uang gedung, katanya! Kalau tak diselesaikan oleh Six Balax, kejahatan ini bisa terus terjadi sampai zaman milenial sekarang.
Memecahkan kasus ini membuat sang agen harus bekerjasama dengan seorang dukun dari pedalaman Banten. Dukun yang hampir berumur seratus tahun, tapi tampang masih segar bagaikan anggota Deep Purple, lengkap dengan celana jins penuh dengan hiasan paku payung, bersepatu tinggi, berselera rokok 234. Dukun yang tak menerima amplop, tapi mau dikasih kado Levi’s cutbray nomor 28 (cungkring!).
Membaca Six Balax, adalah membaca kesegaran, humor yang kasar dan brutal. Keringanan bahasanya bahkan masih terasa, empat puluh tahun sejak pertama kali diterbitkan. Sangat cocok untuk para penulis hipster yang ingin coba-coba berbahasa secara vintage, untuk menambah kegagahan dan kegenitan. Membaca Six Balax juga membaca aneka aksi. Dari tembak-tembakan ala film koboi, hingga perkelahian ala film kungfu, dengan jurus-jurus maut seperti “memetik anggur” yang tak lain mematuk kedua biji lelaki yang menggantung di selangkangan.
Dan tentu saja belajar pula tentang Jakarta tahun 70an, di mana Ciliwung sudah butek, dan Kali Jodo sudah jadi sarang kenikmatan. Dan orang sudah mengeluhkan hal yang sama “zaman serba susah dan barang-barang serba mahal seperti sekarang ini”.
Hino Minggo menulis banyak roman, tapi barangkali Six Balax merupakan karyanya yang paling populer. Saya tak tahu persis berapa judul, tapi jelas sosok itu sangat terkenal. Bahkan menurut naratornya sendiri, begitu populernya sang agen, hingga menciptakan musuh sekaligus pemuja. Musuh berharap ia segera mati dihajar bus kota. Pemuja “membakar kemenyan agar jagoan yang angin-anginan ini still going strong menumpas kriminalitas yang menjamur di negeri yang kemerdekaannya sering-sering encok ini.”
Jika kau pernah membaca satu saja buku Six Balax, kau adalah si beruntung laknat. Jika kau menemukannya di kios buku bekas, di rumah teman, atau di perpustakaan, percayalah itu pertemuan yang langka, yang harus kau syukuri. Lebih langka daripada kesempatan menemukan belahan jiwamu sendiri. Lebih langka dari kena peluru nyasar dari agen polisi berangasan.
Judul: Six Balax: The Man with Golden Golok. Penulis: Hino Minggo. Penerbit: Selecta Group, 1978.