Setan atau demit, yang hidup di dimensi lain, makin hari justru makin nyata di dimensi kita hidup. Tetapi fungsinya sudah berbeda. Bukan untuk menggoda manusia, tapi menjadi konten. Dunia sudah terbalik, manusia melancarkan serangan balik. Kalau dulu manusia takut oleh hantu, sekarang mereka mengeksploitasi hantu.
Kita bagai hidup dalam dunia Bleach. Kita mengambil alih tugas Shinigami, dan mengacaukan hierarki keseimbangan dunia yang sudah diatur oleh Soul King.
Menjadi seorang freelancer di Yogyakarta membuat saya memiliki banyak waktu luang. Dalam beberapa hari terakhir, saya dan teman kontrakan rutin menonton dengan tujuan menambah wawasan dan referensi. Mulai dari film, web series, hingga akhirnya terkerucut ke video di YouTube. YouTube memiliki banyak konten yang menarik, tetapi entah kenapa teman saya memiliki ketertarikan dengan konten yang sifatnya hantu-hantuan.
Genap seminggu kami melakukan penjelajahan konten perhantuan, saya mulai merasa jenuh.
“Kok gini-gini aja ya setan Indonesia, nggak ada yang lain po?”
Setelah saya sadari, bukan setannya yang membosankan, tetapi kontennya saja yang homogen alias mirip-mirip. Ibarat kata, kamu jalan-jalan di kebun binatang, sehari pertama pasti perjalanannya menarik. Hari-hari berikutnya akan terasa bosan karena yang bakal kamu lihat ya itu-itu saja.
Hal yang mengherankan datang dari teman saya, dia sama sekali tidak bosan dengan konten demit-demitan. Bukan hanya di YouTube, di akun media sosialnya yang lain pun algoritmanya juga soal demit. Dia pribadi mengakui bahwa konten demit bisa mengalahkan segalanya. Ada hal menarik yang keluar dari mulutnya, “Kalau setan-setan jadi konten gini, mereka merasa tereksploitasi nggak ya, Fren-frenku?”
Wo lha ini. Mari kita berbicara serius.
Jika kita telusuri kembali, cerita horor memang menjadi pembahasan yang menarik bahkan jauh sebelum media sosial berkembang seperti saat ini. Dulu cerita horor hadir dari mulut ke mulut, tongkrongan ke tongkrongan. Anak-anak menjadi sasaran yang empuk untuk menerima efek luar biasa dari peristiwa ini. Orang tua juga banyak bercerita kepada anaknya tentang hantu dengan tujuan baik seperti “ojo metu surup-surup, mengko digondol kolong wewe”. Ya pokoknya yang gitu-gitulah.
Berbeda dengan saat ini, ada konten di mana setan bisa dipukul pakai panci, diajak guyonan, dan sebagainya. Eksploitasi besar-besaran di tengah maraknya media sosial. Hal ini membuat setan sedikit kehilangan derajatnya, walaupun masih ada kengerian bagi yang sempat menemuinya.
Posisinya sekarang terbalik. Orang memang masih takut akan setan, tapi mereka menikmati konten-konten yang melibatkan makhluk tersebut. Kalau bicara eksploitasi atau bukan, agak membingungkan juga. Tapi kira-kira begini saja agar lebih mudah: apa yang kau rasakan ketika kamu diganggu pas lagi rebahan, dan yang ganggu kamu waktu rebahan dapat cuan dari tindakannya tersebut?
***
Jika ditelusuri kembali, konten horor dimulai di berbagai program televisi mulai dari 2008 hingga saat ini. Seiring maraknya media sosial, konten tersebut merambah ke berbagai platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, Twitter, dan lainnya. Mereka membuat channel khusus untuk membahas cerita horor, sehingga setan menjadi komoditi yang menggiurkan untuk menghasilkan uang. Bukan melalui dukun, klenik, dan sejenisnya, tetapi melalui konten yang lebih ramah tanpa risiko yang tinggi atau yang biasa disebut dengan tumbal.
Pada dasarnya ini memang menjadi suatu budaya di Indonesia. Bukan setannya, tetapi tentang bagaimana suatu konten media sosial berkembang hingga banyak pengikutnya. Pengikut dalam hal ini adalah peniru. Bukan menjadi masalah, karena setiap konten pasti memiliki ciri khasnya tersendiri walaupun konteks pembahasannya hampir sama. Menarik untuk menunggu konten yang berbeda muncul kembali di platform media sosial Indonesia. Hingga akhirnya kembali ditiru dan menjadi budaya yang baru lagi.
Pesan terakhir saya, jangan lupa royalti untuk para demit di luar sana yang sering masuk konten dan menjadi tontonan publik. Tentunya bukan royalti uang yang diharapkan, tetapi melalui doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tidak bisa dibayangkan bila para demit menghilang karena tidak ada timbal balik yang mereka terima, lalu konten apa yang akan dibawakan oleh content creator di media sosial? Bukankah dampaknya akan sangat besar?
Penulis: L C Tulus Wijayanto Manalu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kok Bisa Sih Takut Sama Pocong? Dia Kan Cuma Hantu yang Pengin Dibukain Talinya Doang