Ketika masih menjadi Menteri, Ibu Susi pernah mengatakan jika mahalnya harga ikan di pasaran lantaran biaya logistik distribusi ikan juga mahal. Seperti yang kita tahu, sentra penangkapan ikan di Indonesia rata-rata berada di wilayah timur Indonesia, sementara konsumen terbanyak ada di Pulau Jawa (60 persen penduduk Indonesia bermukim di Jawa). Distribusi ikan menjadi penting di sini, kalau biaya distribusinya bisa ditekan, maka harga ke konsumen pun bisa lebih murah.
Sebenarnya pemerintah sudah berupaya mencarikan solusi melalui Menteri Perhubungan dengan adanya tol laut. Namun, efektifitas tol laut ini juga kurang maksimal. Fakta di lapangan, keberadaan tol laut nyatanya belum bisa menekan biaya distribusi. Saya pernah bertemu dengan nelayan di Morotai (daerah penghasil ikan tuna dan cakalang terbesar di Indonesia), mereka mengeluhkan adanya monopoli kontainer di tol laut yang membuat harga-harga tetap mahal lantaran distribusinya dikuasai oleh satu pihak atau dimonopoli pebisnis yang memiliki akses langsung dengan kekuasaan ataupun kepala daerah setempat.
Sementara di daerah tangkapan ikan di sekitar pulau Jawa, misalnya di Juwana, Pati, Jawa Tengah. HPP (harga pokok penjualan) ikan juga mahal. Sebagai contoh untuk ikan kembung saja HPP-nya Rp6 ribu per kilo. Ini harga ketika ikan-ikan tersebut masih di tengah laut, belum menghitung ongkos lain seperti biaya angkut dari tengah laut ke warehouse (gudang), biaya angkut tersebut juga akan makin membengkak kalau harga solar naik atau solar di pasaran menjadi langka.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan HPP ikan mahal, tapi yang cukup krusial adalah frekuensi penangkapan ikan dalam satu malam hanya bisa dua kali. Itu pun kalau cuaca bagus, sementara proses tersebut juga membutuhkan awak kapal yang banyak sehingga turut membuat biaya logistiknya membengkak. FYI, untuk kapal ukuran 150 GT membutuhkan awak kapal 45 orang dengan hasil tangkapan ikan 300 kg saja.
Sebenarnya jika frekuensi tangkapan ikan banyak, nelayan bisa diuntungkan dan harga jual ke konsumen pun bisa ditekan. Sederhananya, frekuensi tangkap ikan nelayan di Indonesia yang masih mengandalkan kapal dengan peralatan sederhana (baca: belum canggih) turut berkontribusi terhadap harga jual ikan yang juga mahal. Nelayan kita membutuhkan kapal tangkap ikan yang lebih modern agar hasil melautnya optimal.
Belum lagi, masalah eksternal lainnya seperti banyaknya kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia dan mencuri kekayaan laut kita. Nggak hanya itu, di Maluku Utara (salah satu provinsi penghasil ikan terbesar di Indonesia) lautnya mulai tercemar industri tambang. Nelayan di Halmahera Timur misalnya, harus melaut lebih jauh lagi agar bisa mendapatkan ikan banyak. Sementara kalau melaut lebih jauh, konsekuensinya adalah konsumsi solar yang lebih banyak juga, ujung-ujungnya adalah pembekakan biaya logistik.
Pemerintah harus gercep memberikan solusi pada para nelayan agar mereka bisa sejahtera dan makin banyak warga di Indonesia yang mengkonsumsi ikan. Kalau perlu bekali nelayan kita dengan teknologi dan membuat kebijakan yang berpihak pada nelayan.
Saya rasa, para politisi yang sekarang tengah berjuang merebut hati rakyat kecil untuk Pemilu 2024, bisa menyuarakan tentang permasalahan para nelayan di Indonesia. Isu ini jarang dibicarakan politikus, meskipun sebenarnya punya peluang untuk merebut hati para nelayan dan rakyat kecil (terutama ibu rumah tangga).
Jika harga ikan di pasaran murah, pemerintah nggak perlu buang-buang uang untuk membuat iklan layanan masyarakat tentang pentingnya makan ikan, sebab kami dengan senang hati akan mengonsumsi ikan. Buktinya, Maluku dan Maluku Utara adalah dua provinsi di Indonesia yang warganya paling banyak mengonsumsi ikan menurut data statistik KKP pada 2021. Sebab, di kedua daerah tersebut harga ikan cenderung lebih terjangkau dibandingkan ayam dan daging.
Makan ikan, katanya, bisa memperbaiki generasi. Tapi, jika harganya tetap mahal, saya jadi bingung, generasi mana yang dimaksud?
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Susi Pudjiastuti, Terima Kasih