Cerita bermula ketika mengantar istri ke pasar. Di tengah jalan, tiba-tiba mak jegagik saya melihat banyak spanduk Puan Maharani di tengah jalan. Mungkin ada itu sepuluh atau lima belas spanduk. Besar-besar. Jelas saya kaget, seperti kagetnya Roro Jonggrang melihat Candi Prambanan: wong semalam belum ada, kok pagi-pagi sudah nongol.
Masalah spanduk ini memancing pertanyaan warga, apakah Puan berniat ikut Pilpres di 2024 nanti? Tanda tanya warga beralasan. Sebab, belakangan ini para politisi yang diisukan nyapres mulai narsis memajang fotonya di ruang-ruang publik. Nah terkait isu Puan nyapres ini, warga tidak langsung menyambut, malah saling bertanya: apa iya Mbak Puan bakal menang?
Wajar sih kalau ada warga yang kurang sreg dengan pencapresan Puan Maharani. Maklum, beliau memang kurang populer di hadapan netizen karena video viralnya malah menurunkan citra. Sebut saja adegan mematikan microphone saat rapat atau merayakan ulang tahun di tengah kenaikan harga BBM. Mungkin, hal-hal seperti itu yang membuat tingkat elektabilitas Puan rendah.
Tidak hanya masyarakat, kader PDIP (mungkin) juga heran kenapa harus mati-matian membela Puan. Beberapa survei menempatkan Ganjar Pranowo di urutan atas, yang artinya, Ganjar jauh lebih populer daripada Puan. Survei Litbang Kompas menunjukkan kalau Ganjar dan Tri Rismaharini adalah kader PDIP yang elektabilitasnya lebih tinggi daripada Puan. Jadi wajar kalau pencalonan Puan dianggap irasional.
Tapi tunggu dulu, jangan sembarangan menuduh. Perlu dijelaskan dulu, rasional itu apa?
Sejauh yang saya tau, rasional adalah berpikir logis dan masuk akal, yang bisa diuji dengan membandingkan antara cara dan tujuan. Misalnya, ada polisi membunuh anak buah yang paling disayang. Orang tentu menilai perbuatan itu biadab. Oleh karena itu, sang pembunuh buru-buru membuat suatu tujuan, agar tindakannya bisa dibenarkan: melindungi marwah keluarga, karena istrinya dilecehkan oleh sang anak buah. Lantaran memiliki tujuan, maka menembak bisa dianggap tindakan rasional. Oleh karena itu diyakini bisa mengurangi vonis hukuman. Inilah mengapa sang pembunuh mati-matian agar isu pelecehan seksual ini dapat diakui sebagai fakta dalam persidangan. Duh, maaf jadi curcol.
Nah, kembali lagi, untuk menilai rasional tidaknya PDIP memajukan Puan Maharani, harus dilihat tujuannya. Kalau tujuannya adalah untuk menang pemilu, wajar kalau pencapresan Puan dianggap irasional. Namun, kalau tujuannya untuk menjaga brand image PDIP, memajukan Puan bisa dianggap rasional. Dan harus diingat bahwa memajukan Puan itu bukan hanya demi Megawati atau Puan. Namun, demi PDIP sendiri.
Tidak sedikit masyarakat yang menilai Megawati irasional karena ngotot memajukan Puan mentang-mentang dia anaknya. Namun menurut saya, Megawati lebih rasional daripada kelihatannya. Sebab, kalau hanya begitu alasannya, Megawati sudah memajukan anaknya sebagai capres atau cawapres bahkan sejak Pilpres periode lalu ketika masih elektabilitasnya masih 0 persen.
Kegalauan PDIP atas pencapresan Puan Maharani memang harus dirunut dari karakter sistem politik Indonesia yang semakin pragmatis. Partai semakin mementingkan perolehan suara daripada membangun platform ideologis. Dan ketika partai tidak punya ideologi yang otentik, maka harus ada hal lain yang membedakan PDIP dengan partai yang lain. Atau dalam bahasa marketing: unique selling point. Dan buat PDIP, itu jelas sosok Soekarno.
Pertanyaannya: Apa tidak bisa PDIP menjaga identitas Soekarno-nya tanpa Puan Maharani? Tentu saja bisa. Namun tanpa Puan, apa bedanya PDIP dengan partai lainnya? Karena selain PDIP, ada juga beberapa partai yang berusaha mengaku mewarisi semangat, cita-cita, dan pemikiran Soekarno.
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di pidatonya mengatakan bahwa keputusannya nyapres di 2024 terinspirasi oleh semangat Bung Karno yang tidak pantang menyerah. Pidato Prabowo sarat dengan pemikiran Bung Karno dengan berkali-kali menyerukan tentang aset strategis Indonesia yang diambil asing. Dan pada 2014, Prabowo mengaku bahwa di masa kecil ia pernah bertemu dan digendong oleh Bung Karno. Prabowo juga mengaku kalau kemeja safarinya diilhami oleh gaya berpakaian Bung Karno.
Tidak cuma Prabowo, Surya Paloh juga gencar mengimitasi Soekarno. Demi membungkus dirinya sebagai titisan Soekarno, Ketua Partai Nasdem itu meniru gaya pidato Soekarno habis-habisan. Tidak hanya teknik pidatonya, gagasan Soekarno-pun sering dia sitir dalam pidato-pidatonya. Ia juga sempat menyedot perhatian publik ketika menziarahi makam presiden pertama Republik Indonesia itu.
Artinya, semua partai bisa mengaku berideologi nasionalis. Semua tokoh politik bisa meniru gaya pidato atau gaya berpakaian Soekarno, atau terinspirasi oleh pemikiran atau semangat juang Soekarno. Namun, tidak semua orang bisa mengklaim memiliki nasab atau darah Soekarno. Ya hanya Megawati dan Puan. Dan, selama ini, memang unique selling point itulah yang dirawat dan diruwat oleh PDIP.
Meninggalkan Puan dari panggung pencapresan ibarat Toko Buku Social Agency yang tiba-tiba berjualan sembako. Mungkin omzet bertambah, tapi identitas brand PDIP keropos seketika. Dan ketika unique selling point sebagai partai trah Soekarno hancur, maka bukan hanya Puan yang hancur, tapi masa depan PDIP juga dipertaruhkan.
Adalah betul jika ada orang berkata: Puan bisa tetap dapat jabatan politik sekalipun Ganjar jadi capres dan keluar sebagai pemenang. Namun, Megawati juga pasti telah menangkap sinyal meredupnya trah Soekarno di PDIP. Sementara di sisi lain, Jokowi yang menjadi kutub kekuatan politik lain di PDIP, juga telah menyiapkan gerbong politik dengan menjadikan Gibran dan Bobby sebagai walikota. Apalagi banyak orang menilai Ganjar lebih dekat ke Jokowi daripada Megawati.
Itu baru yang kelihatan. Mungkin ada juga loyalis Jokowi yang sudah menduduki kursi strategis di daerah. Maka kalau kursi presiden 2024 diisi oleh Ganjar, kans Puan menjadi presiden dan penguasa PDIP di kemudian hari semakin tipis. Sebab, tidak menutup kemungkinan kalau Ganjar menang sekarang, ia akan menang lagi di periode selanjutnya. Maka tidak ada lain bagi Megawati selain mencapreskan Puan sekarang atau tidak sama sekali.
Ngotot memajukan Puan sebagai capres memang pertaruhan besar bagi PDIP. Ini berisiko menggagalkan PDIP dalam Pilpres 2024. Tapi demi branding “partai trah Soekarno”, Puan memang harus maju. Nah, sekarang terserah kader-kader PDIP, apakah masih rasional berpolitik demi loyalitas terhadap trah Soekarno?
Sumber gambar: Akun Twitter @Harian_Jogja
Penulis: Zamzam Muhammad Fuad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ganjar Pranowo Harus Memilih, Tetap Bersama PDIP Tanpa Mencapres atau Mencapres Tanpa PDIP