Eropa juga punya sisi gelap
Saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Eropa. Beberapa di antaranya adalah Wina (Austria) dan kota-kota di Italia seperti Bologna dan Milan. Tentu, semuanya memiliki lanskap kota dan fasilitas yang membuat jiwa anak kabupaten saya ini tak bisa tidak berdecak kagum. Tetapi, tipe perjalanan backpacker trip mengizinkan saya untuk melihat sisi-sisi kota yang mungkin tak terlihat pada brosur ataupun gambaran umum kita mengenai kota tersebut selama ini.
Pada semua kota yang saya sebut di atas, saya menemukan stasiun metro maupun kereta yang berbau pesing di beberapa titiknya. Asumsi saya, mungkin terlalu banyak orang yang menggunakan moda transportasi tersebut. Apalagi toilet umum relatif sulit ditemukan, kalaupun ada, toilet berbayar sebesar rata-rata 1-1,5 euro. Kondisi toilet pun tidak fancy seperti dalam bayangan selama ini. Boleh dibilang, hampir sama seperti toilet umum yang ada di stasiun Indonesia. Toilet yang saya temukan di Roma misalnya, WC-nya lembap, pesing, dan dindingnya penuh coretan tangan.
Sisi yang lain saya temukan ketika saya harus menunggu bus selama berjam-jam di ruang tunggu sebuah terminal di Bologna, Italia. Waktu tunggu kala itu memang cukup ekstrem, yakni sekitar jam 10 malam hingga 2 pagi. Ada berbagai kejadian yang terjadi dalam ruang tunggu yang tak seberapa luas itu, seperti perempuan yang tiba-tiba mengompol dan menimbulkan pesing di seluruh ruangan, polisi yang tiba-tiba masuk lalu menyeret seorang lelaki yang tampak sedang di bawah pengaruh obat, hingga beberapa bule yang jatuh tertidur dan mengigau keras.
Perasaan inferior terhadap bule itu sia-sia
Teman-teman, kalau perasaan inferior terhadap bule tumbuh subur karena asumsi semua bule hidup dalam kehidupan ideal yang wangi, maju, bermartabat, dan tak tersentuh debu-debu kemiskinan–maka pikiran tersebut salah. Seperti halnya sebuah negara, ada saja sisi-sisi gelap yang menggerogotinya. Mungkin memang persentasenya tak sebanyak kita, tapi tetap saja ada.
Kalau tak ingin merontokkan rasa inferior dengan mencari-cari salahnya negeri lain, coba kita sedikit membanggakan apa yang dimiliki. Saya mendengar banyak testimoni positif dari dosen-dosen yang mengampu mahasiswa internasional dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Katanya, mahasiswa Indonesia termasuk mahasiswa terbaik karena sangat ramah dan berani beropini dalam kelas. Para dosen itu juga banyak tersentuh oleh budaya ketimuran yang hangat dan penuh kesopanan.
Banyak sedikitnya ketertinggalan dari bangsa yang lebih dahulu maju atau betapa berbedanya ritme kehidupan kita dengan mereka di belahan bumi lain, bukanlah alasan untuk menjadi rendah diri. Sebab, rasa inferior tidak akan membawa kita kemana-mana. Keberanian untuk berbenah dan berkontribusilah yang akan membawa bangsa ini terus berkembang ke arah yang lebih baik. Tentunya, semua itu hanya bisa dilakukan dengan kepala tegak.
Penulis: Salma Fauziah Khairunnisa
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Madiun, Kota dengan Wisata ala Eropa yang Bisa Dikunjungi Tanpa Paspor dan Visa
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.