Beberapa waktu lalu sebuah utas di Twitter menjadi perbincangan panas, terutama di kalangan para pencinta kucing. Pembuat utas tersebut ceritanya sedang minta tolong kepada warga Twitter untuk membantu kucingnya yang tengah sekarat. Saya agak lupa bagaimana detailnya, tapi usut punya usut, kucing itu sekarat akibat kelalaian sang majikan babu.
Fakta itu mengemuka ketika seorang penolong membuat utas setelah dirinya datang ke rumah empunya kucing untuk membantu. Pada utasnya, si penolong menginformasikan ternyata tak cuma satu kucing, melainkan dua kucing yang sakit dan butuh pertolongan.
Yang ngeselin adalah reaksi si pemilik kucing ketika tahu kucing yang kedua juga ingin dibawa oleh sang penolong. Si pemilik nggak ingin kucing kedua dibawa dengan alasan, “Nanti anak saya nggak punya mainan lagi.” Kontan saja, sang penolong tak habis pikir.
Kejadian itu sudah cukup lama. Mungkin sekitar dua-tiga bulan lalu. Namun, memori itu terlintas kembali gara-gara beberapa pekan lalu saya membaca sebuah status ndlogok di base pencinta kucing.
Isinya kurang lebih begini, “Males banget kalau kucing lagi sakit, terus pas nanya di base, jawabannya selalu nyuruh konsultasi ke dokter hewan. Padahal kan gabung base biar nambah ilmu. Dan nggak semua orang setajir itu untuk selalu ke dokter hewan.”
Dengan penuh semangat saya mengetik, “Dasar tuoloool!”
Namun, saya urungkan. Biarlah orang lain mengambil alih tugas mulia mengopyok kepala si pembuat status.
Acapkali hewan peliharaan, dalam hal ini kucing, diposisikan sebagai mainan bagi sang pemilik, alih-alih makhluk hidup seutuhnya. Kucing dipelihara cuma sebagai hiburan untuk mengentaskan depresi akibat seharian menjalani kehidupan yang keras dan merana. Ini sebetulnya pandangan yang lebih baik dibuang ke dasar neraka. Pandangan cupet itu bisa mengakibatkan sang pemilik berlaku seenaknya secara sadar maupun tidak dalam mengurusi kucing peliharaannya.
Orang-orang macam gini banyak banget lhooo di dunia nyata dan maya. Banyak kejadian anak kucing dibuang, penyakit kucing tambah parah akibat kebodohan pemilik, dan sebagainya.
Kita bisa lihat keseriusan seseorang dalam memelihara kucing paling kentara ketika kucingnya sakit. Orang-orang nggak berkomitmen selalu lebih memilih berkonsultasi di base pencinta kucing daripada datang ke dokter hewan. Mereka lebih suka mendengar saran dari teman media sosialnya daripada menyimak penjelasan veteriner. Lalu ketika ditanya alasannya, mereka berlindung di balik kemiskinan. Ini bisa saya bantah ya, meskipun cuma bantahan awam sih.
Pertama, saya nggak sepakat konsultasi langsung ke dokter hewan itu dibilang mahal. Wong ada yang namanya puskeswan kok. Saya pernah membawa kucing pacar saya ke puskeswan. Pelayanannya bagus, bayarnya juga semampu kita. Makanya saya merasa aneh sama klaim ndlogok si sender. Kok bisa ke dokter hewan mahal. Coba deh sesekali si sender ke puskeswan. Atau jangan-jangan bukan karena masalah finansial, melainkan rasa malas? Wolah, tempeleng raimu, cuuuk.
Namun, tentu saja kalau kucing kita sakitnya parah dan butuh perawatan serta obat, kita harus rela merogoh gocek yang tak sedikit. Itu sebabnya dalam merawat kucing butuh sebuah keseriusan. Dan ini akan saya bahas di poin kedua.
Kedua, merawat kucing butuh keseriusan. Keseriusan ini harus dibarengi juga dengan kesiapan finansial. Kasarnya nih ya, kalau ingin melihara kucing, dompet kita harus tebal. Kenapa? Ya coba bayangin, kita harus beli makanan kucing, pasir buat buang hajat, beli mainan, melakukan vaksin, dan misalnya amit-amit sakit parah, kita mesti mengeluarkan biaya yang nggak sedikit.
Kucing juga membutuhkan perkakas kebersihan untuk menghilangkan kutu. Jadi, memang harus dipikirkan berkali-kali kalau ingin melihara kucing. Sanggup nggak nih uangnya? Atau bisa nggak membagi waktu antara merawat kucing dengan kegiatan lain? Saya aja sampai sekarang belum berani melihara kucing karena hal itu.
Dan yang ketiga, ketika kucing sakit, jangan bergantung kepada nasihat teman di base pencinta kucing. Bahkan ada yang bilang secara lebih radikal, “Jangan percaya sama mereka.”
Apa pasal? Maksudnya begini. Ketika manusia sakit, ia disarankan untuk langsung ke dokter. Hal itu biar diagnosis dokternya tepat. Dan ini manusia lho.
Apalagi hewan yang nggak bisa diajak berkomunikasi. Dokter hewan sekalipun akan kesulitan mendiagnosis cuma lewat media sosial. Harus langsung ke dokternya. OMAT.
Konsultasi di base pencinta kucing, terutama di Facebook, bisa mengakibatkan kesalahan diagnosa. Ini sangat fatal. Banyak sekali berseliweran di media sosial kucing-kucing yang tambah parah sakitnya gara-gara pemilik mengikuti saran teman Facebook.
Teman saya ketika SMA dulu pernah juga mengalaminya. Saya lupa kucingnya sakit apa, tapi ia memberi makan tempe atas saran dari teman di base pencinta kucing. Dan apa hasilnya? Yak betul, kucingnya mati mengenaskan.
Mungkin akan ada yang bertanya dengan nada sinis, “Lha, tapi kucing saya sembuh dikasih jamu. Itu saran dari teman sesama pencinta kucing lhooo, gimana hayooo.”
Ya Allah, itu kan kucingmu. Belum tentu ketika kita nyaranin obat ke kucing orang lain, obat itu akan mempunyai reaksi yang sama. Setiap kucing tentu saja punya kondisi berbeda-beda. Kucing A belum tentu sama dengan Kucing B diagnosanya. Kalau ndilalah obatnya bekerja, ya syukur. Lha kalau nggak?
Tolong ya, sebelum memutuskan memelihara kucing, ada baiknya kita perbaiki dulu mindset bahwa kucing itu mainan. Anggaplah kucing itu makhluk hidup. Bahkan amannya, anggaplah seperti anak sendiri, seperti Malika. Jangan sampai kucing kita menderita karena perbuatan dari kita sendiri yang lalai dan bloon dalam merawatnya. Ingat, perkara hewan kesayangan, jangan pernah coba-coba.
BACA JUGA Ngakunya Pecinta Kucing, tapi Cuma Cinta Kucing Impor dan tulisan Zaki Annasyath lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.