Kota Malang dinobatkan menjadi salah satu kota termacet di dunia dan yang keempat di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, dan Denpasar. Beberapa portal berita nasional dan regional telah memberitakan hasil Global Traffic Scorecard 2021 versi Inrix di USA itu. Mereka juga menyebutkan setiap pengendara di Malang kehilangan 29 jam selama periode jam sibuk.
Jujur, sebagai warga Malang, analisis ini cukup bikin saya terkejut, tapi kenyataan memang demikian. Sebagai gambaran, di Sabtu siang saya butuh waktu satu jam untuk pergi dari rumah di Karanglo menuju daerah kota yang jaraknya kurang dari 10 kilometer. Artinya kecepatan rata-rata kendaraan saya hanya 10-12 km per jam saja. Terus, kudu lapo, Rek?
Begini. Sebenarnya ini pertanyaan klasik yang jawabannya belum ketemu. Bersematkan status kota wisata dan kota pelajar, sudah siapkah Malang menyambut gairah ratusan ribu mahasiswa pendatang dan para pelancong akhir pekan? Atau justru Malang menunjukkan kegagapan seperti yang sudah terasa sekarang, dalam hal ini kemacetan lalu lintas?
Faktanya, setiap hari kemacetan makin bertambah terutama menjelang akhir pekan. Mau menyalahkan tata kota tampaknya sia-sia, karena banyaknya aktivitas warga dan tumpukan kendaraan di jalan tetap jadi faktor utama.
Apa akar masalahnya?
Sebetulnya saya agak ragu saat menyebut faktor-faktor berikut ini sebagai akar masalah. Anggap saja keadaannya memang begini. Lokasi wisata Malang Raya tersebar di sebelah barat dan timur dengan wisata pegunungannya dan di sebelah selatan dengan wisata pantainya. Sebetulnya melabeli Kota Malang sebagai kota wisata lebih menyerupai mitos. Kota Malang yang besarnya nggak seberapa ini lebih banyak difungsikan sebagai tempat mengisi perut, belanja, dan bermalam. Posisi Kota Malang yang di tengah-tengah itu membuat banyak pengendara menumpuk di sana sebelum pergi ke destinasi wisatanya masing-masing.
Ironisnya, pembangunan jalan tol menuju Malang dengan tiga gerbang utama (Singosari, Pakis, dan Sawojajar) justru menjadi titik kemacetan baru, terutama menjelang akhir pekan seperti di Jl. Ranugrati serta Jl. Muharto setelah exit gate Malang (Sawojajar), dan di perempatan Karanglo hingga Karangploso setelah exit gate Singosari. Lamanya durasi lampu merah kerap jadi momok utama.
Berikutnya ada fenomena parkir liar. Kendaraan-kendaraan terpaksa berjejeran di pinggir jalan karena tempat-tempat yang mereka kunjungi nggak mampu menyediakan fasilitas parkir yang luas. Contohnya di sepanjang Suhat, daerah Klojen dekat stasiun, pasar Splendid, dan di ruas-ruas jalan Semeru. Karakter jalan yang nggak selebar jalanan di kota-kota besar lainnya tentu jadi masalah. Jika Surabaya punya akses masuk dengan lebih dari lima lajur seperti di Jl. Ahmad Yani, Kota Malang masih setia dengan dua lajurnya. Jalan-jalan di pusat kota juga nggak begitu lebar. Fakta keterbatasan lahan untuk pelebaran jalan ini menandakan Malang butuh solusi lain untuk mengatasi kemacetan.
Faktor selanjutnya, saya sebut “balas dendam pandemi”. Setelah “usai”, orang-orang seakan berusaha menyambangi semua tempat, butuh atau tidak. Masalahnya, semua orang memakai kendaraan pribadi. Dan tentu saja efeknya bisa kita tebak: kemacetan.
Solusinya bagaimana?
Selama ini, peran para pengatur lalu lintas seperti Kepolisian, Dishub, dan Supeltas Kota Malang hanya sebatas untuk mengurai kemacetan saja. Seolah-olah kemacetan adalah keniscayaan, dan bikin kita semua jadi mulai malas berpikir tentang solusi yang permanen. Tapi kalau dipikir-pikir, apa ada solusi permanen mengatasi kemacetan?
Mari kita lihat upaya-upaya yang ada, dalam hal ini, pembangunan infrastruktur dan rekayasa lalin. Pembangunan underpass Karanglo entah berhasil, entah gagal. Wujudnya sih ada. Tapi, kepadatan kendaraan masih terlihat, khususnya dari arah exit Tol Singosari menuju Batu karena ada persimpangan rel KA, dan dari arah utara menuju kota karena bottleneck di depan PLN hingga Adiputro. Pelebaran jalan di depan pabrik Bentoel juga baru selesai dan belum terasa manfaatnya. Rekayasa lalin dengan menutup flyover Arjosari dan membuang kendaraan ke Araya-L.A Sucipto saat jam sibuk juga nggak terlalu membuahkan hasil. Pembangunan jembatan Tunggulmas (Tunggul Wulung-Tlogomas) yang awalnya dielu-elukan justru jadi titik kemacetan baru.
Kalau mau lihat fasum yang lebih sering ditutup ketimbang dibuka, ya jembatan Tunggulmas ini. Sementara daerah lainnya seperti Sumbersari, Dinoyo, Sukun, masih berkutat dengan lagu lama. Praktis rekayasa lalin hanya bersifat kondisional.
Gimana soal transportasi publik yang terintegrasi? Masih jauh. Kendaraan pribadi tetap jadi favorit. Menampung banyak orang dalam satu sistem transportasi terintegrasi seperti Busway atau MRT masih diperdebatkan kebutuhannya, mengingat butuh modal yang sangat besar untuk membangun itu semua.
Kemacetan adalah produk peradaban
Pada akhirnya, Tuhan menakdirkan Malang jadi destinasi bersenang-senang dengan tanahnya yang gemuk, hawanya yang (mulai nggak) sejuk, dan pemandangan bagus. Agaknya kita perlu berpikir objektif dengan logika yang sebetulnya sederhana. Masalah kemacetan di Malang adalah produk dari bertemunya evolusi peradaban dengan besarnya keinginan manusia di sekitarnya untuk menjadi bagian dari peradaban itu. Mudahnya akses membeli alat transportasi yang kontradiktif dengan kecilnya kapasitas daya tampung kota juga menjadi penyebab.
Dongeng tentang Malang yang selama ini diceritakan sangat digemari khalayak, sehingga melahirkan percakapan-percakapan sampai ke ujung negeri melalui peran media sosial. Malang ibarat rumah peradaban baru di atas lahan terbatas yang selalu menebar undangan. Anggota Kepolisian dan Dishub sebagai juru atur pun jelas kewalahan mengatur kedatangan tamu-tamu peradaban ini.
Sebelum misuh-misuh di jalan karena terjebak kemacetan, warga Malang juga harus menyadari kalau ramainya jalanan berbanding lurus dengan besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Belum lagi banyaknya angka industri kreatif dengan SDM penduduk lokal yang tentu menggantungkan nasibnya kepada para pengunjung. Sebagai info, untuk Kota Malang sendiri saja, dari target PAD tahun 2022 sebesar 1 triliun rupiah hanya terealisasi sebesar 752 miliar rupiah. Underachieved.
Perputaran uang dari keramaian tentu jadi kebahagiaan tersendiri bagi para pengelola tempat wisata, pemilik restoran, pelaku bisnis perhotelan, UMKM, rental mobil, hingga pengamen jalanan. Keramaian berarti rezeki bagi semua orang. Untuk itu, mari kita nikmati dulu kemacetan ini. Selamat datang di Malang wahai tamu peradaban!
Sumber gambar: Ichsan Wicaksono via Unsplash
Penulis: Dimas Bagus
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kenapa Malang Terkesan Ingin Menjadi Jogja?