Hidup di lingkungan baru dan menjalani aktivitas sehari-hari bersama orang dengan watak berbeda-beda itu nggak mudah. Setidaknya itu yang pernah saya alami dan rasakan sewaktu kuliah, tepatnya ketika jadi mas-mas KKN di suatu daerah. Hampir setiap hari, ada saja hal yang kami perdebatkan, mulai dari masalah makanan, proker, hingga adu gengsi sama kelompok lain.
Ya, KKN nggak cuma glelang-gleleng di kampung orang dengan almamater kebanggaan. Tapi, gimana caranya agar proker kelompok kita lebih unggul dari posko lain, yang masih satu daerah. Persaingan ini tampak begitu nyata menjelang perayaan HUT RI, yang mana setiap kelompok berlomba-lomba bikin jenis lomba anti-mainstream agar terkesan mind blowing.
Tahun 2014, saya KKN di salah satu sudut Kota Jogja. Saat itu, kelompok atau posko kami merasakan betul persaingan dengan kelompok lain. Persaingan ini dipicu karena mendengar ada salah seorang warga yang membanding-bandingkan kelompok kami dengan kelompok lain. Katanya, kelompok lain di RW sebelah, lebih aktif, progresif, dan membuat proker yang langsung bisa dirasakan warga.
Gairah muda dan perkataan nylekit, adalah recipe for disaster. Tahun segitu Abah Lala belum bikin lagu “Ojo Dibandingne” sih, jadi orang masih suka banding-bandingne, saing-saingke.
Perkataan yang cukup mengiris hati tersebut, akhirnya memaksa kami untuk membuktikan bahwa kami lebih unggul dari kelompok lain. Nggak cuma bikin proker yang butuh modal banyak, tapi kelompok saya juga memoles sedemikian rupa agar tingkah laku terlihat lebih ramah, sopan, dan humanis. Setelah selesai KKN, tak pikir-pikir, kelakuan saya selama KKN cuma sandiwara semata, kehilangan ketulusan dalam bekerja, dan hanya nuruti nafsu yang cukup absurd.
Ternyata, apa yang saya alami tersebut juga dirasakan oleh sebagian kawan-kawan saya yang sedang KKN. Saat ini, mayoritas kampus mewajibkan mahasiswa-nya bikin akun Instagram untuk mendokumentasikan setiap proker KKN. Bahkan, ada kampus yang memberikan reward buat kelompok KKN yang bikin konten video paling menarik. Tentu saja, aturan ini semakin memicu “perang dingin” atau adu gengsi antar kelompok KKN, terutama mereka yang berada dalam satu wilayah atau kelurahan, tapi beda posko.
Adanya tuntutan dari pihak kampus serta “nafsu” gagah-gagahan proker dengan kelompok lain ini, akhirnya membuat sebagian mahasiswa selalu mencari ide bikin program KKN (baca: konten), yang instagrammable. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari program yang memang benar-benar diciptakan sendiri hingga program penuh drama.
Ya, program sandiwara ini biasanya hanya memanfaatkan momen atau situasi, yang kebetulan masyarakat tengah melakukan kegiatan rutin. Seperti arisan, pengajian, dan kegiatan sosial lainnya, tapi diakuisisi sebagai program “ciptaan” tim KKN. Caranya pun mudah: ikut nimbrung warga, nyalakan kamera, unggah di Instagram, lalu bikin caption yang “seolah-olah” program hasil dari ide sendiri. Jadi, misal kamu nemu akun KKN dan memposting simbah-simbah tengah macul di sawah dengan caption “lagi bikin proker pertanian di sawah nich, Gaes”, patut dicurigai barangkali itu cuma rekayasa semata.
Sementara itu, puncak persaingan antarkelompok atau posko KKN ini tampak semakin masif saat acara perpisahan KKN. Ya, perpisahan adalah babak akhir dari perang panjang selama KKN. Semakin meriah acara perpisahan, maka kelompok KKN berpotensi besar bisa mencuri hati masyarakat dan pemangku wilayah. Ini yang sekiranya ada di benak rata-rata kawula KKN. Adu gengsi is real.
Adu gengsi ini juga terjadi di desa saya beberapa tahun lalu, yang kebetulan dijadikan lokasi KKN. Semula, rencana acara perpisahan KKN hanya akan digelar secara kecil-kecilan, seperti menampilkan bocil-bocil dusun untuk menari dan baca puisi di atas panggung. Namun, mendengar kabar bahwa kelompok KKN di dusun sebelah akan nanggap organ tunggal, maka kelompok KKN di desa saya jadi berpikir ulang.
Dua hari sebelum acara perpisahan, pihak KKN dan sejumlah anggota Karang Taruna menggelar rapat terbatas di Balai Padukuhan. Hasilnya, kedua belah pihak sepakat untuk nanggap dangdutan plus nanggap biduan kondang lengkap dengan sound system “nyaris” sekelas yang dipakai Java Rockin’ Land.
Benar saja, acara perpisahan digelar dengan meriah. Tidak hanya menampilkan pentas seni kelas teri, tetapi dangdutan super gagah. Tak pelak, kawula muda dari berbagai penjuru dusun pun tumpah ruah. Banyaknya penonton di luar ekspektasi ini, bikin panitia kocar-kacir dan kericuhan pun tak terhindarkan.
Perpisahan KKN yang harusnya jadi momen penuh kegembiraan dan diselimuti rasa haru, seketika berubah jadi ajang adu jotos antarpenonton. Adu gengsi berujung lahan pabji. Mengingat potensi kericuhan bisa makin meluas, akhirnya acara perpisahan KKN di kampung saya terpaksa harus dibubarkan.
Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, acara perpisahan yang broken ending tersebut juga menguras isi dompet kawula KKN. Anggaran membengkak dan masyarakat mau nggak mau juga harus ikut membantu nomboki kekurangannya. Keinginan untuk “mengalahkan” kelompok lain pun gagal, yang terjadi justru peristiwa memalukan yang mungkin akan terngiang-ngiang sepanjang hidup.
KKN yang semula bertujuan untuk mengabdi serta meningkatkan sikap peduli mahasiswa terhadap kemajuan masyarakat dengan aksi nyata, justru jadi wahana ajang pamer dan adu gengsi, yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Mengingat mahasiswa KKN adalah manusia yang digadang-gadang sebagai agen perubahan, malah kebanyakan gimmick yang cenderung meresahkan.
Sejatinya, KKN adalah program untuk “membumikan” mahasiswa. Menaruh mereka ke tanah, karena terlalu lama menjejak langit. Agar teori sundul langit itu tetap bisa berguna di masyarakat. Sebab, mahasiswa nantinya akan hidup di masyarakat, sebenar-benarnya medan dari ilmu kuliah mereka. Kalau ujungnya adu gengsi, bukannya menapak tanah, malah menantang langit.
Tak bisa dimungkiri, acara HUT RI malah kerap jadi ajang adu gengsi antarkelompok. Lupa kalau mereka datang untuk mengabdi ke warga. Biasanya, dari acara tersebut, bergulir ke acara-acara lain. Bumi, yang harusnya mereka tapak, malah diinjak-injak.
Membuat acara meriah di lokasi KKN tentu sah-sah saja, Ri. Tapi, jika agenda KKN cuma dijadikan ajang adu gengsi antarposko serta mengedepankan ego tanpa spekulasi, tentu hanya akan jadi cerita konyol yang kering makna dan esensi. Bukannya memberi solusi permasalahan di masyarakat dengan program-program nyata, malah nambah-nambahi beban angsuran BRI ta, Ri…
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gunungkidul Adalah Sebaik-baiknya Kabupaten untuk Tempat KKN