Jogja romantis itu hanya akal-akalan elit global. Kisah cinta saya di kota ini remok kabeh
“Tulisan yang bagus adalah tulisan yang selesai,” kata pria berambut pirang asal Wonogiri, yang juga jadi mentor saya menulis tempo hari. Kalimat tersebut telah menyadarkan saya, ternyata banyak hal yang tidak atau belum saya selesaikan dengan baik selama hidup. Bukan cuma perkara tulisan, tapi hubungan percintaan yang juga tidak pernah selesai di pelaminan.
Sejak remaja, saya sudah punya keinginan memiliki kisah asmara yang romantis seperti di FTV dan lagu-lagu cinta. Namun, karena beberapa lokasi pacaran di FTV, seperti mall, bioskop, dan kampus megah, nggak relate atau susah saya temukan di Gunungkidul, maka saya memutuskan kuliah di Kota Jogja dengan harapan kisah-kisah di FTV juga bisa saya rasakan lebih nyata.
Keinginan memiliki kisah romantis di Jogja semakin membuncah saat saya sering mendengarkan lagu “Yogyakarta” yang dinyanyikan oleh KLa Project. Setiap kali mendengar lagu yang dirilis pada 1992, ini pikiran saya dipenuhi dengan suasana Kota Jogja yang penuh kehangatan, keakraban, kedamaian, dan tentu saja romantis. Persepsi saya ini semakin kuat ketika banyak orang mengatakan di lini masa media sosial bahwa Jogja adalah sebaik-baiknya kota untuk menjalin kisah asmara.
Tapi, itu semua, hanya ilusi. Alias, Jogja romantis itu hanya akal-akalan.
***
Tahun 2011, tepatnya saat pertama kali masuk kuliah, saya mulai berkenalan dengan seorang gadis yang saat itu cukup menarik perhatian. Meski tampang saya pas-pasan, tetapi waktu itu cukup pede minta nomor perempuan yang kebetulan satu kelas itu. Kami pun mulai SMS-an dan bercerita tentang banyak hal, mulai dari tugas kuliah hingga cerita indah-indah. Terus terang, saya menyayangi gadis lugu itu, tapi saya tidak berani ngajak ketemuan lalu ngasih cokelat atau bunga mawar yang bisa dibeli di Gejayan.
Tentu saja kalian sudah tahu akhir cerita ini. Kandas tak berbekas. Remok, ajooor.
Bahkan banyak cerita yang saya lalui sebenarnya sudah selesai sebelum dimulai. Kenapa? Jawabannya cukup sederhana, saya mahasiswa kampung dan tidak punya cukup modal jika harus menjalin hubungan cinta-cintaan.
Bagi sebagian orang, mungkin masalah finansial tidak ada kaitannya dengan proses pacaran. Tapi, buat saya itu masalah paling mendasar dan cukup krusial. Saya tidak bisa membayangkan ketika sang pujaan hati tengah ulang tahun, lalu cuma tak kasih hadiah puisi, dan bilang kepadanya, “Bukannya aku nggak mau modal, sayang. Tapi, hanya puisi ini yang mampu mewakili rasa cintaku yang begitu besar kepadamu.” Saya kira semut pun akan mencret mendengar perkataan macam itu.
Ya, saya cukup miskin waktu itu. Bahkan, setiap kali mau bayar SPP kuliah, saya harus wira-wiri ke Kantor Kelurahan untuk mengajukan Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM). Meski dulu biaya SPP UIN Jogja cuma Rp600 ribu, tapi buat saya yang nyaris setiap hari makan Indomie dibelah jadi dua untuk makan siang dan malam ini, tetap saja mahal!
***
Coba kau dengar cerita orang yang benci setengah mati kepada Jogja. Saya yakin, alasan mereka adalah kandasnya kisah cinta mereka yang berujung ditinggal rabi. Kecuali Prabu Yudianto, penulis yang ngamuk-ngamuk terus kepada Jogja itu. Hidupnya Senin terus apa ya.
Ditinggal rabi, adalah kepedihan yang sekiranya bikin kalian memikirkan ulang apa pentingnya jatuh cinta dan membangun kisah cinta. Bahagianya nggak seberapa, sakitnya bikin dunia serasa berhenti di tanggal tua terus-terusan. Apesnya, saya kebagian derita ditinggal rabi selama hidup di Jogja.
Saya berkenalan dengan seorang mahasiswi satu jurusan, tapi beda kelas. Pertemuan itu terjadi di ruang TU saat kami berdua tengah mengurus surat SKTM. Artinya, saya dan perempuan itu bernasib sama: tengah berjuang bayar SPP lewat jalur beasiswa miskin.
Setelah PDKT, kali ini saya berani berkomitmen dengannya. Waktu itu, saya berpikir, memutuskan pacaran dengan orang dari golongan yang sama adalah privilese. Saya hanya perlu membuka list wisata murah di kertas yang sudah saya tulis dan menghindar dari pusat kemewahan dengan dalih “tempat sederhana jauh lebih romantis, Dik.”
Itu pikir saya waktu itu. Faktanya, doi bosan ke candi terus dan punya ekspektasi lebih pengen menjalin kisah asmara seperti layaknya di FTV: nonton film di bioskop, konser musik, belanja di mall, dan suka dikasih kejutan-kejutan berhadiah. Sampai di sini, sesuatu yang sebelumnya saya takuti benar-benar terjadi. Di mana saya gagal menjalin kisah romantis di Jogja dengan dengannya karena terhalang masalah finansial.
Sebagai pria yang kadung tresna, tidak ada pilihan lain selain kuliah sambil kerja. Ya, selama pacaran dengan perempuan itu, saya pernah membuka usaha angkringan di Jalan Parangtritis, jualan bakpia di kampus, dan menjadi tukang parkir di Jalan Mangkubumi, tepatnya di depan KR.
Demi kowe, ben supoyo tetep mulyo, Dik.
Dari pekerjaan sampingan tersebut, akhirnya saya bisa ngajak pujaan hati nonton film Single karya Raditya Dika di XX1 dan nonton konser musik hatkor di JEC. Enam bulan setelah menjalin kisah asmara, akhirnya si doi ngajak bubar tangisan. Ya, hubungan ini kandas di bawah Jembatan Janti, tepatnya di dekat perlintasan kereta api. Lebih lanjut mengenai kisah ini, kamu bisa baca di sini.
Usut punya usut, ternyata doi ngajak pisahan karena hendak dilamar seorang “gus” atau anak kiai. Sebagai perempuan lulusan pondok pesantren tersebut, ia tidak sanggup menolak ajakan itu dan pihak orang tua juga sangat merestui. Saat ini, perempuan yang saya temukan di TU saat mengurus SKTM itu, telah menjadi Nyai dan telah melahirkan seorang anak, yang kelak akan dipanggil “Gus”.
Lalu bagaimana saya menyikapinya? Ya pedih lah, ndasmu po “aku pun bahagia jika kau bahagia”. Kisah cinta remuk malah macak filsuf.
Jogja berhenti romantis
Setelah lulus kuliah, saya memutuskan kerja di Jogja dan masih berharap bisa merasakan hal-hal romantis seperti di FTV atau lagu-lagu cinta. Usia sudah nyaris kepala tiga, dan saya belum juga melakukan apa yang setiap Lebaran orang-orang sering tanyakan: menikah.
Jogja yang kerap dipandang romantis, tak jua memberi jawaban. Yang saya lihat justru sebaliknya: UMR yang kelewat absurd, jalanan kian semrawut, panas matahari membakar ubun-ubun, maraknya klitih, hingga lampu merah di bangjo yang lamanya setengah mati. Lalu, di mana sih sebenarnya letak romantisnya kota ini?
Saat ini, saya sudah menjalin hubungan asmara dengan seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi ternama di Jogja. Usia hubungan kami baru terjalin beberapa bulan. Dengan gaji UMR yang segitu, tidak banyak kegiatan pacaran yang bisa kami lakukan. Bisa jajan Es Doger di Balai Yasa itu sudah jadi barang mewah bagi kami berdua.
Pacaran dengan gaji UMR Jogja membuat saya harus cerdik mengatur masalah finansial. Kami bersepakat untuk bertemu sebulan sekali, tepatnya setelah gajian dan saling bergantian traktir makan. Tempat yang kami kunjungi selama kencan pun sudah tercatat di buku kecil, yang saya beri judul “Strategi Pacaran UMR Jogja.”
Saya pernah nekat kemlinthi kencan di tanggal tua karena kangen luar biasa. Hasilnya, saya terpaksa harus ninggal KTP di salah satu warung bensin eceran di Jalan Solo-Jogja karena duit di dompet sudah ludes. Tentu saja, peristiwa ini membuat saya ngah-ngoh seperti pitik ketulup di hadapan sang pujaan hati. Di mana letak romantisnya? Konyol, iya..
Jogja romantis, saya kira benar. Tapi, ada syaratnya. Pertama, kamu punya kekuatan finansial yang mumpuni. Kedua, keberuntungan, yang sebenarnya bisa ditutupi dengan kekuatan finansial. Jika tidak, ya kalian hanya akan menambah daftar panjang orang-orang yang hatinya remuk di Jogja dan tak akan pernah sembuh.
Seperti saya. Asu.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Istimewa, Gunungkidul Merana