Dulu seorang teman pernah bertanya pada saya, “Udah ketemu yakuza belum di Jepang?” Saya tahu maksud blio bercanda, tapi beneran deh saya nggak berharap ketemu rombongan Genji Suzuran Crows Zero versi dewasa, alias yakuza. Dalam bayangan saya, yakuza itu bertato, seram, dan menakutkan. Senggol sithik, bacok.
Lho, memangnya gitu? Bukankah prinsip yakuza nggak mengganggu penduduk biasa? Tubuh bertato pun bisa ditutupi baju, jadi mana bisa ketahuan dia yakuza atau bukan, kan? Lantas, yakuza beneran masih ada nggak sih di Jepang? Simak fakta berikut, ya.
#1 Yakuza adalah mafia Jepang
Banyak yang bilang yakuza itu mafia. Nggak salah sih, yakuza memang mafia, gangster. Kalau istilah mafia ada di Italia, yakuza ada di Jepang. Keduanya merupakan organisasi “bawah tanah” dan nggak resmi, tetapi damage-nya bisa membuat orang ketakutan dan polisi kewalahan.
Meski demikian, yakuza dianggap istimewa, lho. Orang Jepang umumnya nggak berani membicarakannya, tetapi nggak membantah kenyataan kalau yakuza beneran ada dan disegani. Dulu, anak kecil sering ditakut-takuti agar nggak sembarangan memandang orang yang tak dikenal, sebab kalau orang itu ternyata anggota yakuza, bisa jadi ia akan marah. Nah, image buruk tentang yakuza ternyata sudah diajarkan ke anak Jepang sejak kecil.
#2 Perkelahian antaryakuza
Biasanya yakuza di Jepang akan menguasai sebuah daerah, dan perkelahian antargeng yakuza disebabkan oleh rebutan daerah operasi. Saat dua geng berkelahi, mereka berusaha sebisa mungkin nggak melibatkan penduduk biasa. Namun, ada juga peristiwa penduduk yang tertembak karena perkelahian ini. Kalau sudah begini, keberadaan yakuza jadi dianggap sangat meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.
Tahun 1981-an, ada peristiwa tertembaknya pemimpin geng Yamaguchi-gumi (yakuza terbesar di Jepang). Pelakunya nggak diketahui, tetapi biasanya yang dituduh ya musuh bebuyutannya. Benar saja, lantaran nggak merasa melakukan penembakan tersebut, geng musuhnya pun mengadakan konferensi pers. Sampai disiarkan melalui televisi, lho.
#3 Pemasukan yakuza
Kalau dianggap sebagai profesi, nyatanya yakuza memang bisa menghasilkan uang dari pekerjaan gelap dan “bawah tanah”nya. Mereka mendapat pemasukan dari uang iuran “keamanan” dari tempat ilegal di Jepang seperti pachinko, bar, sopurando, dan tempat prostitusi.
Selain uang “keamanan”, mereka juga bekerja sebagai buzzer, pemain saham, atau menjadi sokaiya (orang yang dibayar agar membela sebuah kepentingan). Intinya, jadi tukang adu domba juga dilakukan agar meraup keuntungan.
Selain kedua hal tersebut, yakuza Jepang pada tahun 1980-an juga melakukan praktik perdagangan manusia dari luar negeri. Dengan iming-iming gaji besar dan kehidupan mapan, mereka bisa mendatangkan laki-laki untuk dijadikan pekerja sangat murah (cikal bakal kenshuusei) dan perempuan untuk dijadikan pelacur. Yakuza nantinya akan mendapat uang dan persenan dari uang gaji pekerja ilegal tersebut.
#4 Anggota geng yakuza
Anggota yakuza baru biasanya akan dilantik dengan minum sake bersama-sama. Keterikatan dan loyalitas kelompok yakuza sangat kuat. Mereka rela mati demi menjalankan tugas dari pimpinannya. Junior pun harus melayani seniornya.
Untuk menjadi anggota yakuza, biasanya seseorang akan diuji mental dan fisiknya. Dia juga harus belajar banyak aturan, termasuk kebersihan. Ada juga aturan yakuza tersendiri yang harus dijalankan agar menjadi anggota yakuza yang baik. Anggota yakuza juga rela memotong jari kelingkingnya dengan pisau untuk menunjukkan komitmen, tanggung jawab, harga diri, dan kesetiaan pada pimpinannya. Mungkin bisa diumpamakan seperti semangat bushido zaman samurai dulu kali, ya? Vibesnya mirip, sih.
Ada juga yakuza perempuan. Mereka digambarkan sebagai sosok yang punggungnya penuh tato. Tato anggota yakuza punya ciri khusus dan disebut irezumi. Sebenarnya tato ini ilegal dan orang Jepang rata-rata nggak bertato lantaran perusahaan biasanya melarangnya.
#5 Yakuza, riwayatmu kini
Dulu anggota yakuza di Jepang bisa mencapai ratusan ribu. Orang berlomba-lomba ingin menjadi anggota geng yakuza karena ingin terlihat keren di mata wanita. Kadang, yakuza digambarkan sebagai sosok yang membantu orang kecil juga. Namun, image itu berubah karena banyak peristiwa perkelahian dan kriminal yang meresahkan masyarakat.
Hebatnya polisi dan pemerintah Jepang menangani yakuza dengan cara yang sangat halus. Mereka nggak angkat senjata dan berkelahi dengan yakuza. Sebab, kalau itu terjadi, mereka mungkin akan kalah.
Lantas, bagaimana cara pemerintah Jepang menangani yakuza? Pemerintah Jepang memakai cara memperketat aturan dan regulasi untuk anggota yakuza. Anggota yakuza nggak bisa mengakses asuransi kesehatan dan uang pensiun. Jenis pekerjaan pun dibatasi, artinya mereka nggak boleh bekerja di bidang tertentu. Akibat ancaman ini, banyak anggota yang keluar dari geng dan anak muda Jepang pun jadi nggak tertarik untuk bergabung. Kalaupun ada, biasanya mereka hanya coba-coba dan akan keluar setahun setelahnya.
Yakuza di Jepang kini sudah kehilangan peminatnya. Akibatnya, jumlah anggota yakuza pun berkurang drastis dari tahun ke tahun. Sekitar 10% anggota yakuza sekarang juga sudah berusia lanjut. Regenerasi gagal. Sesuai prediksi pemerintah Jepang, akhirnya yakuza akan hilang dengan sendirinya.
Regulasi tempat hiburan pun lebih bebas di Jepang. Bar dan rumah bordil tetap ada, dikemas menarik tapi aksesnya tetap tertutup. Pachinko terbuka untuk umum meski image-nya tetap tak baik. Mendatangkan kenshuusei juga sudah menjadi program pemerintah, bukan lagi “sumber pemasukan” yakuza.
Nah, bisa jadi karena berkurangnya pemasukan dari berbagai sektor ini, banyak anggota yakuza yang memilih bekerja sebagai orang biasa. Namun, tetap saja kalau ada panggilan dari pimpinan yakuza, mereka akan langsung berkumpul dan rela mempertaruhkan nyawa mereka.
Sekarang, membicarakan yakuza bersama orang Jepang mungkin tak semenakutkan dulu. Berbeda dengan keadaan sekitar 30 tahun yang lalu. Keberadaan yakuza yang semakin berkurang juga kini membuat masyarakat Jepang merasa lebih aman.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi