Di tulisan ini saya akan menyingkap kebohongan Jogja. Kebohongan-kebohongan yang saya bongkar ini berdasar pengalaman pribadi saya dan beberapa orang yang memang hidup di Jogja. Kalau kalian merasa tidak siap menghadapi kenyataan-kenyataan yang mungkin akan pahit, saya sarankan berhenti baca artikel ini di sini.
Kebohongan bukan hal sulit ditemukan di Jogja. Tidak melulu soal politik, kecurangan, atau sejenisnya, tiap sudut Jogja yang punya cerita itu mungkin ada unsur bohongnya. Tapi ya nggak masalah, namanya juga kota yang jualan cerita, bumbu-bumbu memang diperlukan. Di bawah ini 10 daftar kebohongan Jogja dan bantahan atas itu:
Daftar Isi
#1 Hindari pakaian warna hijau saat ke Parangtritis kalau tidak ingin celaka
Warna hijau dan Pantai Parangtritis adalah mitos paling sering dibahas. Mitos ini dikaitkan dengan kerajaan Laut Selatan yang konon punya ketertarikan pada warna hijau. Katanya, siapa saja yang menggunakan pakaian warna hijau saat main di Parangtritis akan jadi bagian dari kerajaan Laut Selatan dengan cara terseret ombak.
Padahal, banyak bukti yang menunjukkan, orang berpakaian hijau baik-baik saja ketika berwisata di Parangtritis. Saya pribadi dan beberapa kawan sudah sering membuktikan ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Syukurnya, masih bertahan hingga sekarang.
Hal yang justru penting untuk dihindari ketika berwisata ke Parangtritis adalah mematuhi peringatan dari Tim SAR. Kalau kalian ngeyel dan tetap bermain air ketika ombak sedang gemuk-gemuknya, ya tetap terancam terseret ombak mau apapun warna pakaiannya.
#2 Tamansari dibangun dengan putih telur
Mitos itu masih saja langgeng di kalangan wisatawan. Padahal saya pernah membantahnya dalam tulisan berjudul, Istana Air Tamansari dibangun dengan putih telur. Gara-gara tulisan itu saya harus berurusan dengan beberapa guide di sana.
Memang benar, pada masanya mortar pengikat batu bata dicampur dengan putih telur. Tapi bukan berarti putih telur saja seperti dongeng para guide. Dan era penggunaan putih telur dalam mortar ini lebih tua dari masa pembangunan Tamansari. Pada masa pembangunannya, penggunaan semen dari batu kapur telah umum dikenal.
#3 Jalan dengan mata tertutup di Alun-Alun Selatan bisa mengabulkan permohonan
Di Alun-Alun Selatan Jogja terdapat sepasang beringin. Konon, siapapun yang bisa melewati tengah-tengah beringin itu dengan mata tertutup, keinginannya akan terkabul. Mitos ini lebih dikenal dengan nama Masangin.
Saya pernah mencoba melewati dua beringin itu dengan mata tertutup. Saya berhasil berhenti tepat di tengah-tengah beringin kembar. Namun hingga saat ini permohonan saya tidak pernah terkabul. Sepertinya banyak juga orang yang sudah membuktikannya dan mitos Masangin ini tidak nyata.
#4 Penuh sawah dan banyak sepeda
Jika dalam bayangan anda Jogja itu penuh sawah dan sepeda, anda terlalu kebanyakan nonton FTV. Tidak semua daerah di Jogja itu asri dan dihiasi hijaunya sawah. Kalau tidak percaya, coba saja googling, sawah di daerah Gondomanan. Pasti nggak akan nemu.
Beberapa sudut di pinggiran kota memang masih ada sawah beberapa petak. Itu pun berpotensi hilang di kemudian hari demi pembangunan perumahan. Daerah yang masih banyak sawah itu pinggiran kabupaten DIY. Tapi, jangan bayangkan ada romantisme muda-mudi bersepeda ala FTV. Di sana yang ada orang-orang tua borjuis pakai sepeda lipat, dan anak mudanya pacaran pakai KLX atau PCX. Kalaupun masih ada yang sehari-hari pakai sepeda, itu bukan karena romantis, tapi terpaksa!
#5 Setiap sudutnya romantis
Masalah romantis tadi juga mitos. Banyak yang bilang setiap sudut Jogja itu romantis. Nah, sudut sebelah mana? Paling area Tugu-Malioboro-Kraton. Kalau tidak ya Kaliurang, pantai selatan, dan spot wisata lain. Ya cuma itu saja yang romantis, sisanya ya biasa saja bahkan menyedihkan.
Coba sekali-kali kalian main-main ke area bantaran sungai seperti Code dan Tukangan. Atau ke daerah Piyungan yang tercemar sampah. Atau ke Watu Kodok yang sedang kisruh klaim Sultan Ground. Di sana tidak ada romantis-romantisnya.
Baca halaman selanjutnya: Setiap sudutnya …