MOJOK.CO – Tak semua orang seperti Deddy Corbuzier, yang bisa bertanya ke Chef Juna dengan cara yang tepat soal, “Kok belum punya anak?”
Saat ditanya Deddy Corbuzier soal anak, dia mengatakan bahwa dia hanya mau punya anak jika istrinya mau punya anak.
Waw. Jawaban Chef Juna itu tentu mengundang puja-puji, sebab pandangannya tersebut dianggap progresif dan menempatkan perempuan sebagai subjek yang menentukan dan berkuasa dalam soal reproduksi.
Beberapa postingan mengapresiasi pemikiran Chef Juna. Berangkat dari wawancara Chef Juna tersebut dan juga postingan Darius Sinathrya, Kalis Mardiasih dalam kolomnya bahkan mendorong pembacanya untuk membangun diskusi dengan pasangan masing-masing untuk soal-soal terkait reproduksi, relasi gender, dan relasi kuasa dalam perkawinan.
Saya menaruh rasa hormat yang besar pada Chef Juna dalam hal ini. Tak hanya soal pandangannya, tapi juga cara dia menanggapi pertanyaan dari Deddy: “How about kids?”
Dalam video panjangnya, pertanyaan itu muncul menit ke-13. Diajukan dengan ringan dan ringkas. Dan Chef Juna datar saja menanggapi.
Bahkan, ketika Deddy mengatakan, “Lo ngerti, dong, bahwa tidak semua orang akan setuju dengan kata-kata lo ini,” jawaban Chef Juna menegaskan bahwa dia sudah berada di maqam; “I don’t give a f***!”
Saya juga mengapresiasi Deddy Corbuzier. Soal memiliki momongan, tak semua orang bertanya seperti dia. Pertanyaan Deddy berhenti ketika lawan bicara sudah menjelaskan posisinya.
Berdasarkan pengalaman saya dengan kebanyakan orang, setelah pertanyaan “sudah punya anak, belum?” dijawab dengan “belum”, akan ada lagi ucapan-ucapan lain menyusul yang kerap kali tidak mengenakkan.
Pasangan tanpa anak setidak-tidaknya punya dua alasan. Yang pertama adalah pilihan sadar. Saya jumpai ada segelintir orang mengambil jalan ini, dengan dalih yang berbeda-beda.
Yang kedua adalah halangan kesehatan. Entah salah satu atau dua dari pasangan memiliki kondisi kesehatan tertentu yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan keturunan.
Saya menikahi istri saya lebih dari sebelas tahun. Sampai saat ini, kami tidak memiliki anak. Dan sepanjang usia pernikahan, ada-ada saja yang dikatakan dan dilakukan orang berkaitan “persoalan” kami. Banyak ragamnya, dari yang lucu sampai yang rasanya cukup layak untuk dibalas dengan makian “asuw”.
Yang saya temui umumnya merasa bahwa mereka merasa situasi kami adalah “persoalan” yang perlu dipecahkan, dan mereka juga merasa “persoalan” kami adalah urusan mereka juga. Selain itu, sebagian tanggapan orang mencerminkan mitos-mitos yang mengakar kuat. Misalnya, kemandulan adalah semata masalah perempuan. Padahal, pria juga bisa mandul.
Sekian tahun lalu saya mudik. Lepas salat Idul Adha, saya berbasa-basi dengan seorang tetangga jauh yang jarang ketemu. Saat tahu saya belum punya anak, dia memberikan saran yang cukup mengagetkan, “Kawin lagi, aja!”
Kadang tersirat bahwa ketidak-hamilan adalah perkara cara berhubungan badan yang “salah”. Sering saya ditawari oleh mereka yang punya anak lebih dari satu, “Sini, aku ajari!”
Ada lagi yang modelnya memberikan identifikasi-akar-persoalan kenapa saya dan istri belum punya anak. “Kalian sih terlalu sibuk bekerja,” atau, “Kalian sih mementingkan karier ketimbang momongan,” atau, “Hidup pisah-pisahan sih makanya susah dapat anak’.
Benar kami berdua sama-sama bekerja. Benar kami meniti karier masing-masing. Benar kami sempat tinggal berjauhan karena satu dan lain hal. Tapi apa salahnya kami memilih menjalani hidup dengan cara kami seperti ini?
Kan, situ nggak ada saham di kehidupan kami. Dan belum tentu juga, kan, itu alasan kenapa kami belum dikasih rejeki anak.
Banyak juga yang menunjukkan sikap “peduli” dengan mengajukan pertanyaan template, “Sudah anu, sudah ini, sudah itu?”
Duh, panjang sekali daftarnya sebetulnya. Saya berikan contohnya beberapa: Sudah periksa ke dokter? Sudah nyoba bayi tabung? Sudah pernah urut di Pak Polan atau Bu Haji Polanah? Sudah nyoba kurma muda? Sudah nyoba terapi batu giok?
Nah, pertanyaan itu nanti akan ditutup dengan gaya iklan males mikir yang kira-kira bunyinya begini:
Coba deh mas. Anu (saudara/teman/kenalan) saya sudah sekian tahun nggak punya momongan, dipegang sama si itu (dukun/dokter/tabib) atau pakai anu (kurma muda/minyak/ramuan embuh) sekian bulan kemudian langsung hamil istrinya.
Kadang kesel ngadepin yang kayak gini. Kayaknya mereka menganggap yang nggak punya anak itu nggak ada pengetahuan dan nggak cukup berusaha.
Percayalah, yang betulan pengin anak itu pasti sudah berusaha, yang kadang berujung konyol seperti saya. Suatu kali, saya dan istri coba madu sari kurma. Begitu diminum, langsung terasa khasiatnya: menggelembung dalam hitungan menit. Bukannya hamil, tapi bibir kami sama-sama bengkak. Alergi sepertinya.
Sikap peduli orang-orang ini kadang sampai pada tingkat yang saya sendiri bahkan tidak kepikiran: soal akhirat.
Ada yang pernah nanya, “Kalau Mas nggak ada anak, terus nanti meninggal, yang doain Mas dan istri siapa?”
Mungkin si penanya lupa bahwa selain doa dari anak yang saleh, pahala yang tak terputus masih ada dua: sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat.
Dari semuanya, ada satu yang masih saja bikin saya geli sampai kini. Beberapa tahun lalu saya tak sengaja berjumpa dengan mantan kolega. Dari penampakannya, tampak dia tengah hamil tua.
Basa-basi kemudian bergeser ke soal berapa anak saya punya. Begitu tahu belum ada, dia berpesan ke saya, “Wah, ajak istrimu ketemu aku, biar aku injak jempolnya”. Dari kawan itu saya baru tahu bahwa kehamilan itu bisa ditularkan, lewat ibu jari kaki. Entah gimana penjelasan ilmiahnya.
***
Sebisa mungkin saya berusaha terus berbaik sangka bahwa kepedulian-kepedulian seperti di atas diawali dari niat baik. Tapi, tak semua niat baik itu akan bermanfaat baik. Cara yang baik dan bijak juga perlu.
Pertanyaan sudah-ini atau sudah-itu, menurut saya, sangat intrusif. Banyak pasangan tanpa anak sudah melakukan dan melewati banyak hal untuk bisa mendapatkan keturunan. Dari intervensi medis, pengobatan tradisional, hingga upaya spiritual. Ongkosnya besar sekali. Tak cuma uang, tapi juga mental.
Program bayi tabung misalnya. Ongkosnya bisa tujuh puluhan hingga di atas seratus juta.
Tubuh perempuan akan dimasuki obat-obatan untuk mendongkrak hormon tertentu agar rahim siap menampung embrio yang telah disiapkan di laboratorium. Proses yang tidak alamiah pasti ada efeknya. Bisa dilihat di Internet bagaimana reaksi tubuh dan psikis perempuan terhadap prosedur bayi tabung ini.
Terlepas dari majunya teknologi ini, tingkat keberhasilannya masih di bawah 40%. Pasangan yang sudah mengeluarkan ongkos besar dan mengalami efek fisik dan psikis dari tindakan medisnya, punya kemungkinan besar untuk gagal dan kecewa—dua hal yang amat berat untuk dijalani.
Sebagai penutup saya ingin berbagi dua hal. Pertama kepada mereka yang belum atau tidak memiliki anak. Menjadikan anak sebagai ukuran kebahagiaan dan kesempurnaan adalah omong kosong. Memiliki anak belum tentu membuat orang tua bahagia. Lihatlah sekeliling, banyak contohnya.
Jika kamu belum punya anak, berbahagialah dengan dan atas hal-hal lain yang kamu punya. Tak punya anak bisa jadi adalah fakta yang tak terhindarkan. Tapi, menderita atas fakta itu adalah pilihan.
Juga, tak memiliki momongan tak menjadikanmu kurang sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Terakhir, kepada yang sangat peduli kepada mereka yang belum atau tidak memiliki anak, wujudkan kepedulianmu dengan tenggang hati. Mereka sudah melewati sekian hal yang secuilpun bahkan kamu tidak tahu.
Tak memiliki anak bukan kondisi yang mesti dikasihani. Kata-kata dan tindakan wujud pedulimu yang intrusif bagi sebagian akan menjadi stressor harian yang harus mereka telan dan pendam, dan ujungnya justru memperburuk keadaan.
Sebab, dalam hal tak memiliki anak tak semua orang bisa semasa bodoh saya atau Chef Juna.
BACA JUGA Tanya “Kapan Punya Anak?” Lebih Berbahaya daripada Tanya “Kapan Nikah?” dan tulisan Sugiyanto lainnya.