Beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama akhirnya saya kembali menginjakkan kaki di gedung bisokop. Kali ini karena diajak oleh seorang teman untuk menonton film Indonesia berjudul Ziarah.
Saya tidak tahu apa-apa mengenai film ini. Teman saya juga enggan memberi semacam pengantar singkat mengenai film yang akan kami tonton. Berbekal ketidaktahuan, saya akhirnya duduk dalam studio bersebelahan dengan si teman (yang belakangan saya ketahui ikut terlibat dalam proses produksi film yang kami tonton) dan sedikit demi sedikit mulai hanyut dalam jalinan cerita yang digarap oleh tangan piawai B. W. Purba Negara.
Di luar dugaan saya, film ini ternyata sungguh bagus dan sangat menarik.
Kesederhanaan, itulah kunci utama Ziarah. Premis film berdurasi 87 menit ini sangat sederhana. Tokoh utama film ini seorang perempuan berusia 95 tahun bernama Mbah Sri. Mbah Sri diceritakan memiliki seorang suami bernama Pawiro Sahid. Ketika Agresi Militer II yang terjadi tahun 1948, Mbah Sri terpaksa berpisah dengan suaminya saat Pawiro pamit dari rumah untuk ikut berjuang membela tanah air.
Ketika perang usai, Pawiro tak kunjung pulang ke rumah, bahkan hingga usia Mbah Sri menginjak 95 tahun.
Sahabat-sahabat Mbah Sri yang telah pergi mendahuluinya dan dimakamkan di sebelah makam suami mereka memunculkan keinginan serupa pada Mbah Sri. Tapi, jika pun suaminya telah tiada, ia tidak pernah tahu di mana makamnya.
Hingga akhirnya pada suatu hari di tahun 2012, Mbah Sri tidak sengaja bertemu salah seorang veteran yang mengenal suaminya. Ia mengetahui lokasi ditembaknya Pawiro oleh serdadu Belanda pada 1949, katanya kepada Mbah Sri. Berbekal informasi itu, Mbah Sri memulai petualangannya mencari makam sang suami. Sementara itu, cucu Mbah Sri yang mendapati bahwa neneknya pergi tanpa pesan berusaha mengikuti jejak Mbah Sri dengan tujuan membawa Mbah Sri pulang ke rumah.
Ini film tentang pencarian. Mbah Sri pergi tanpa pamit dari rumah untuk menemukan makam suaminya. Cucu Mbah Sri meninggalkan rumah karena harus mencari Mbah Sri. Yang menarik dari sebuah pencarian ialah terkadang kita tidak selalu menemukan apa yang kita cari, walau tak berarti pencarian itu menjadi sia-sia. Kita tetap menemukan sesuatu meskipun yang kita temukan itu bukanlah sesuatu yang kita cari. Pertanyaan besarnya, apakah kita bisa berbesar hati ketika kita menemukan sesuatu dalam pencarian kita meskipun hal itu bukanlah sesuatu yang kita cari? Apakah kita bisa menerima dengan ikhlas apa yang kita temukan dalam pencarian kita?
Ada beberapa hal menarik yang disuguhkan Ziarah. Pertama, kepiawaian sutradara mengarahkan Mbah Ponco Sutiyem, 95 tahun, pemeran Mbah Sri. Mengarahkan lansia dalam produksi film seharusnya bukan perkara gampang. Yang mengagumkan, Mbah Ponco berhasil menghidupkan karakter yang diperankannya dengan sangat baik.
Kedua, dialog-dialog dalam film ini sangat menarik untuk diikuti. Beberapa dialog bermakna sangat mendalam, terutama kalimat-kalimat yang diucapkan Mbah Sri. Dialog-dialog lain dengan konteks lebih ringan yang dibawakan karakter-karakter pendukung juga mampu menyampaikan pesan dengan lugas dan jelas serta memberi nyawa pada plot secara keseluruhan. Pada beberapa bagian, ada dialog-dialog yang sedikit menyinggung sejarah dan kondisi sosial politik yang tetap dikemas dengan gaya natural dan mengalir.
Salah satu hal yang cukup menarik dari film ini ialah masuknya elemen mistis tanpa terjebak dalam stereotip mistis dalam film Indonesia. Penambahan unsur mistis ke dalam plot tidak terkesan dipaksakan dan dapat bersimbiosis secara sempurna dengan plot utama. Hal ini menjadikan unsur mistis elemen yang memang dibutuhkan dan tidak terkesan pemanis semata. Suatu nilai tambah yang cukup layak diapresiasi mengingat terlalu dangkalnya penggunaan elemen mistis dalam film-film Indonesia pada umumnya.
Hal menarik lain yang menjadi perhatian saya dalam film ini ialah sosok Pawiro. Jika diperhatikan, Pawiro tidak pernah muncul sejak detik-detik awal film ini bergulir. Kendati demikian, sosok ini menjadi sangat lekat dan penting di benak penonton karena ialah nyawa utama film ini. Penonton dikenalkan dengan sosok Pawiro lewat dialog-dialog Mbah Sri dengan orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan.
Taktik yang sama juga digunakan sutradara lewat dialog-dialog antara cucu Mbah Sri dan orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan mencari Mbah Sri. Pawiro adalah satu-satunya alasan bagi Mbah Sri untuk memulai petualangannya. Pawiro tidak pernah muncul di layar namun pada saat yang bersamaan selalu ada di tiap bagian film ini. Cara sutradara untuk menghidupkan tokoh Pawiro lewat cerita demi cerita yang disampaikan oleh karakter-karakter lain saya nilai cukup tepat dalam membangun sosok Pawiro sebagai salah satu daya tarik film ini.
Secara sepintas Ziarah mengingatkan saya pada Big Fish (Tim Burton, 2003). Bedanya, Ziarah film yang jahat. Banyak yang menganggap George R. R. Martin jahat karena membunuh karakter-karakter rekaannya dalam Game of Thrones. Namun, bagi saya, ia tidak ada apa-apanya dibandingkan jahatnya B. W. Purba Negara yang membiarkan karakter rekaannya tetap hidup dan menanggung konsekuensi dari pencariannya.
Ziarah adalah film yang sangat bagus dan mampu meninggalkan kesan mendalam pada benak penonton, setidaknya itulah yang saya rasakan ketika closing credits bergulir dan lampu studio dinyalakan. Orang-orang mulai beranjak dari kursi dan saya hanya bisa menghela napas panjang.