Rara Mendut – Pranacitra menjadi kisah roman tak lekang zaman di Indonesia, khusunya Jawa. Kisahnya disebut-sebut seperti Romeo dan Juliet, karya William Shakespeare. Mojok.co mengunjungi tempat yang dipercayai sebagai makam keduanya di kawasan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
***
Pesan di telepon genggam membuat nyali saya ciut. “Aku ditutke,” tulis seorang teman, yang artinya ia diikuti oleh sosok dari dunia lain. Baru sepuluh menit yang lalu saya masuk rumah setelah mengantarkannya pulang dari makam Rara Mendut dan Pranacitra. Padahal jika dipikir-pikir, kami datang ke makam Rara Mendut dan Pranacitra saat matahari masih di atas kepala. Bisa-bisanya, batin saya sembari tersenyum getir.
Sebut saja teman saya namanya Niken (22). Mahasiswa universitas swasta ini sengaja saya ajak untuk menemani ke makam Rara Mendut. Saat di lokasi makam, ia enggan masuk. Niken memang indigo, bisa melihat dan merasakan kehadiran mahluk dari dunia lain. Wanita cantik di komplek makam itu yang ngetutke. Tidak hanya ngetutke, ada pesan yang sepertinya diperuntukan ke saya.
“Wanita cantik berambut panjang itu menanyakan maksud kedatangan ke makam Rara Mendut dan meminta untuk tidak dijadikan bahan guyonan atau bahan bercanda,” kata Niken pada saya. Saya terdiam, sambil menelan ludah. Kenapa sosok itu tidak langsung menyampaikan pesan itu ke saya ya? Ah jangan ding, saya bisa girap-girap kalau benar sosok itu datang.
Setelah peristiwa ditutke itu, akhirnya saya datang lagi ke makam Rara Mendut. Kali ini saya datang malam hari. Bukan untuk uji nyali, tapi berharap bertemu peziarah di malam hari. Saya bertemu dengan Mas Iky dan teman-temannya di angkringan, yang kemudian jadi pemandu dadakan.
Kisah Rara Mendut dan Pranacitra, tragedi berlatar asmara
Cinta Rara (Roro-red) Mendut dan Pranacitra banyak diceritakan dalam berbagai versi. YB Mangunwijaya, pastor cum sastrawan dan arsitek mengabadikan kisah roman tragedi ini dalam bentuk novel trilogi. Berbagai versi cerita itu mengambil setting Kerajaan Mataram di masa kepemimpinan Sultan Agung. Sosok Rara Mendut digambarkan sebagai gadis cantik yang piawi meracik tembakau menjadi rokok yang disukai siapa saja. Kisah cinta itu bermuara pada kematian Rara Mendut, menyusul kematian kekasih hatinya, Pranacitra di tangan Tumenggung Wiraguna. Keduanya kemudian dimakamkan dalam satu liang yang sama.
Menurut cerita, Rara Mendut dan Pranacitra dikuburkan di sebuah hutan yang berada kurang lebih 9 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. “Dahulu daerah ini namanya Hutan Cepor, di Desa Gandhu. Jadi ini benar-benar makam dari Rara Mendut dan Pranacitra, bukan tiruan atau petilasan,” ungkap Mas Iky (21), pemuda desa yang sedang bersantai di angkringan depan makam Rara Mendut dan Pranacitra.
Sayangnya, ketika ditanya cerita asli dari makam Rara Mendut dan Pranacitra ini tidak ada yang mengetahui. Bahkan, Mas Iky pun baru mempelajari sejarah Rara Mendut dan Pranacitra akhir-akhir ini saja.
Jika dilihat, Makam Rara Mendut dan Pranacitra itu berbeda dari makam pada umumnya. Makam ini berada di dalam sebuah bangunan kecil berukuran 5×3 meter. Letaknya menjorok dari jalan aspal, menuju kesana akan melewati jalan setepak sekitar 60 meter dengan rerimbunan pepohonan di sekelilingnya. Dilihat dari luar, ruangan makam Rara Mendut dan Pranacitra tampak gelap. Saya pun masuk. Bau wangi terasa memasuki indera penciuman, mungkin saja itu berasal dari beberapa sesajen yang terletak di nampan.
Makam Rara Mendut dan Pranacitra ditandai dengan dua kayu jati yang disusun berbentuk kotak. Di atasnya digantungkan kain mori putih seperti kelambu. Meskipun siang hari, namun sekitar makam Rara Mendut dan Pranacitra masih terlihat gelap. Pasalnya, rimbunan pepohanan membuat matahari tidak dapat menembus sehingga tampak sedikit lembab. Di depannya, terdapat sebuah sungai kecil yang memberi batas antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Secara geografis, makam Rara Mendut dan Pronocitro ini berada di Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Ada yang berubah semenjak gempa,” suara Mas Iky menghentikan saya yang masih melihat-lihat sekeliling Makam Rara Mendut dan Pranacitra. Ini kedatangan saya kedua kalinya ke makam setelah beberapa hari sebelumnya teman saya ditutke.
Memang, sejak gempa yang menguncang Yogykarta pada 2006 silam, makam Rara Mendut dan Pranacitra ditutup untuk umum. “Kalau kerusakan bangunan hanya di atap dan tembok yang tadi lubang dan terasnya hancur,” jelasnya sembari mengajak saya kembali ke Angkringan.
Pernah jadi tempat zina
Sebenarnya, penutupan makam Rara Mendut dan Pranacitra itu juga berdasarkan alasan banyaknya orang berkunjung untuk berbuat zina. Katanya, dahulu banyak masyarakat sekitar yang meilihat pengunjung datang berpasangan sembari membawa tikar. Setelah diselidiki, rupanya pengunjung itu melakukan hubungan seksual di makam Rara Mendut dan Pranacitra agar permohonannya dikabulkan.
Lantas saya pun bertanya, bagaimana jika pengunjung-pengunjung tersebut datang di waktu yang bersamaan. Suara tawa langsung terdengar, bahkan beberapa pemuda desa yang berada di angkringan ikut tertawa. “Iya Mbak terus bareng-bareng, gantian,” ceplos seorang pemuda bernama Ahmad (28).
Rupanya, mereka salah menangkap maksud saya. “Gini Mbak, biasanya jarang yang datangnya bersamaan. Dan juga tidak semuanya melakukan hubungan seksual, tergantung kepercayaannya masing-masing,” ungkap Mas Iky menengahi untuk memberikan penjelasan.
Cerita Rara Mendut dan Pranacitra memang simpang siur. Hal itu pula yang membuat banyak informasi tidak menyenangkan, terlebih bagi warga sekitar, yaitu adanya ritual seks yang harus dilakukan sebagai makna penyatuan jiwa dan cinta antara dua manusia, seperti Rara Mendut dan Pranacitra.
Ada pula yang meyakini persetubuhan itu harus dilakukan antar mukhrim. Namun, ada juga yang mengatakan harus datang bersama selingkuhan. Alhasil, makam Rara Mendut dan Pranacitra dijadikan tempat untuk berbuat zina.
Tak hanya itu, sekitar makam yang terlihat gelap dan sepi digunakan pemuda desa zaman dahulu untuk bermain sabung ayam dan minum-minuman keras. “Kan gelap Mbak kalau malam, dari luar tidak kelihatan, banyak pohon-pohonan,” jelas Mas Iky.
Dulu pagi, siang, hingga malam selalu ramai
Dulu, makam Rara Mendut dan Pranacitra terbilang ramai. “Nggak hanya malam, tapi pagi, siang, atau sore juga ada yang datang,” ungkap seorang Ibu paruh baya yang tidak ingin disebutkan namanya bergabung dalam pembicaraan kami. Kira-kira waktu itu berkisar tahun 1970- an. Orang yang datang sering kali membawa sesajen seperti kemenyan dan rokok.
Anak-anak desa berdiri di pinggir jalan, berharap diberi uang atau makanan dari pengunjung. “Ora kasil, ora kasil, ora kasil,” ujar Ibu paruh baya itu menirukan sorakan anak-anak pada saat ia masih kecil yang artinya mendoakan supaya permohanan ke Rara Mendut dan Pranacitra itu tidak berhasil.
Begitu pula dengan tradisi. Ibu paruh baya itu bercerita, saat ia masih kecil, beberapa kali diadakan tradisi untuk ziarah ke makam Rara Mendut dan Pranacitra. Hanya saja, saat ini sudah tidak ada lagi. “Sudah tidak ada yang percaya, musyrik,” ungkap Ibu paruh baya itu menambahkan. Menurutnya, jika meminta permohonan seharusnya kepada Allah, bukan kepada orang yang sudah meninggal.
Makam Rara Mendut dan Pranacitra memang berada di tengah pemukiman warga tak jauh dari lingkungan Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Putri. Tradisinya kemudian berubah, tidak lagi ziarah ke makam tersebut, namun mengadakan pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu di desa.
Ibu paruh baya itu kemudian izin berpamitan. Katanya, ia harus kembali menjaga cucunya. “Gimana Mbak, masih ada yang kurang?” tanya Mas Iky kepada saya yang memperhatikan Ibu paruh baya itu pergi. Mas Iky kembali bersuara bahwa Ibu paruh baya itu masih saudara dengan penjaga makam Rara Mendut dan Pranacitra. Rupanya, sejak tahun 2006 itu juga, makam Rara Mendut dan Pranacitra sudah tidak memiliki penjaga makam. Katanya, penjaga makam Rara Mendut dan Pranacitra sudah meninggal.
Terbilang sepi, masyarakat desa seperti tutup mata dengan makam Rara Mendut dan Pranacitra. Selain masyarakat desa tidak lagi percaya, kebanyakan juga sudah menganggap makam Rara Mendut dan Pranacitra seperti makam pada umumnya. “Sebenarnya juga itu tanahnya sudah di kapling-kapling,” ujar Mas Ahmad (28) masuk dalam percakapan kami.
Katanya, dahulu makam Rara Mendut dan Pranacitra ini pernah dipugar oleh orang dari Jakarta yang punya rumah di Bantul. Selain itu, baru saja sekitar sebulan yang lalu, seorang datang dan mengecat tembok makam Rara Mendut dan Pranacitra. Orang tersebut mengatakan didatangi lewat mimpi sebagai balasan anaknya sudah diterima menjadi tentara. Sering kali orang yang datang juga mengganti kain mori yang tergantung di kayu atas makam agar tetap bersih.
“Kijingnya dahulu ada dua, tapi kalau tidak salah juga sudah ada yang hilang,” tambah Mas Ahmad sembari membenarkan sebuah sepeda motor di hadapannya.
Memang, makam Rara Mendut dan Pranacitra sudah tidak lagi seramai dahulu. Meskipun begitu, setiap harinya masih ada satu atau dua orang yang datang. Kebanyakan pengunjung yang datang berasal dari luar Kota Yogyakarta, seperti Klaten, Jawa Timur, dan kota-kota lainnya. Hari yang ramai adalah Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.
Puntung rokok misterius
Salah satu pengunjung yang masih aktif sampai sekarang berasal dari Pati. Menurut Mas Iky, sepasang suami istri ini sudah tiga atau empat kali datang. Mereka datang untuk berziarah. Biasanya datang malam hari, sekitar pukul tujuh malam, dan pulang pukul tiga pagi.
Saya pun semakin penasaran. Saya kemudian bertemu dengan ayah dari teman saya. Sebut saja namanya Pak Ari (53), bertempat tinggal di Godean. Dulu, saat masih menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja, Pak Ari, sempat ikut komunitas kebatinan. Sekitar tahun 1980, bersama teman-teman komunitasnya, Pak Ari berkunjung ke beberapa makam yang dianggap keramat, salah satunya makam Rara Mendut dan Pranacitra.
“Sudah empat kali ke makam Rara Mendut dan Pranacitra,” ujar Pak Ari mengingat masa-masanya kuliah. Dari empat kali berkunjung ke makam Rara Mendut dan Pranacitra, ia dua kali menemukan puntung rokok. Katanya, saat itu Ia sedang duduk melakukan meditasi. Sebelum duduk Ia sudah melihat terlebih dahulu bahwa tanahnya bersih tidak ada puntung rokok. Setelah meditasi, ia baru menyadari di dekat kakinya ada puntung rokok. Dalam kisah Rara Mendut, ia diceritakan sebagai penjual rokok yang laris. Orang-orang antre mendapatkan rokok yang dilintingnya.
Menurut Pak Ari, puntung rokok yang datang secara misterius itu kemudian dicampurkan dengan rokok lain atau langsung dihisap dan dihembuskan di depan orang yang disukainya dengan harapan akan disukai balik.
“Oh jadi ini alasannya kalau kita pas ketemu sering sambil ngerokok di depanku,” ungkap istrinya yang bergabung sembari menyuguhkan segelas teh hangat. Dahulu, ketika berkunjung ke makam Rara Mendut dan Pranacitra, Pak Ari tidak pernah membawa sesajen. Tidak harus di malam hari, ritual doa yang dilakukan disesuaikan dengan energinya. Kata Pak Ari, hal itu dilakukan agar tidak berbenturan. Setelah doa dan meditasi, Pak Ari dan teman-temannya akan berputar mengelilingi makam Rara Mendut dan Pranacitra. Kepercayaannya, dengan mengelilingi makam Rara Mendut dan Pranacitra, energinya dapat terikat, seperti magnet atau kumparan.
Warga tak melarang, cukup gunakan etika
Suasana makam Rara Mendut dan Pranacitra memang gelap. “Singup,” kata teman saya bernama Niken yang ada di awal tadi. Meskipun demikian, banyak yang berani untuk berkunjung ketika malam hari di makam Rara Mendut dan Pranacitra.
“Kemarin, ada yang datang ramai-ramai ke makam Rara Mendut dan Pranacitra, lalu kami bubarkan dan hanya boleh satu orang yang masuk. Katanya untuk live Tiktok,” ungkap Iky bercerita. Berkunjung beramai-ramai ke makam, terlebih pada malam hari memang menganggu ketenangan warga desa sekitar. Pasalnya, makam itu berada di tengah desa tempat tinggal warga. Biasanya, Mas Iky dan Mas Ahmad yang membantu memantau orang yang datang ke makam ini.
“Kadang saya dan Mas Ahmad ini nyapu-nyapu juga di makam Rara Mendut dan Pranacitra,” ungkap Mas Iky. Tapi mereka menolak disebut penjaga makam Rara Mendut dan Pranacitra.
Sebagai warga desa yang sudah melihat dan bermain di makam itu sedari kecil, Mas Iky pun pernah melihat penampakan beberapa jin (mahkluk halus), namun itu semua diyakini karena dirinya sedang kelelahan. Meskipun demikian, ia mengakui tidak merinding dan malah merasakan hawa yang hangat.
Sungguh berbeda dengan yang saya rasakan dan teman saya rasakan. Jujur saja, ketika berbincang dengan Mas Iky dan Mas Ahmad, saya selalu merasa was-was, seperti ada yang memperhatikan. Pun dengan teman saya, Niken, yang sering kali gelisah.
Mas Iky kembali bercerita. “Pernah saya lihat wanita berbaju putih dengan kepala di bawah naik memanjat pohon,” ungkapnya. Ia juga pernah melihat pria yang gagah, tinggi, besar, dengan wajah seperti orang luar negeri. Hal berbeda diungkapkan Mas Ahmad, “Pernah ada wanita, cantik, rambutnya panjang, kalau orang disini menyebut peri karena baunya wangi,” jelas Mas Ahmad.
Setiap orang yang berkunjung biasanya membawa sajen. “Kemarin ada yang datang bawa bedak Mustika Ratu,” ungkap Mas Ahmad yang kemudian mengambil dan menyimpannya. Supaya tidak mengotori makam Rara Mendut dan Pranacitra, sajen-sajen itu memang selalu dibersihkan. “Kalau bunga nanti dibuang, kalau kemenyannya dimatikan, dan kalau rokok nanti diambil,” ungkap Mas Iky.
Rokok yang diberikan bukan hanya rokok yang biasa ditemukan di warung-warung, namun juga rokok lintingan dan rokok klobot. Di sekitar makam Rara Mendut dan Pranacitra ini memang tidak ada warung yang menyediakan tempat membeli sesajen, seperti bunga dan kemenyan. Namun, jika mencari rokok, di angkringan tempat saya mengbrol dengan kedua pemuda desa ini juga menyediakan. “Rokok yang dibuat sesajen ada yang rasanya biasa saja, seperti rokok pada umumnya, tapi ada juga yang rasa tanah,” cerita Mas Iky.
Masyarakat desa memang tidak berpikiran untuk memberdayakan makam Rara Mendut dan Pranacitra ini sebagai tempat kunjungan atau wisata. Pasalnya, mengurus perizinan cukup susah. Kata Mas Iky, pernah akan dibangun pagar di makam, namun izinnya sulit dan ada penolakan dari warga.
Hingga saat ini, Mas Iky masih sering berjaga di sekitar makam Rara Mendut dan Pranacitra. Biasanya, Mas Iky akan ditemani oleh Mas Ahmad atau pemuda desa lainnya. Mas Iky dan pemuda desa akan menanyakan maksud dan tujuan dari setiap pengunjung yang datang. “Ini bukan kepo Mbak, namun saya hanya jaga-jaga supaya tidak terjadi hal yang tidak di inginkan,” ujar Mas Iky menjelaskan alasannya.
Sebenarnya, Mas Iky masih sering menemukan pengunjung yang tidak izin terlebih dahulu. Jika sudah begitu, Mas Iky akan segera ke dalam makam dan melihat kegiatan yang dilakukan pengunjung di sana. Mas Iky tidak pernah melarang orang datang ke makam, hanya saja tujuannya harus jelas dan tidak berbuat zina di dalam ataupun sekitar makam. “Silakan datang, namun juga harus menggunakan etika dan sopan santun dengan warga sekitar,” pungkas Mas Iky.
Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Agung Purwandono