MOJOK.CO – Seorang petani yang miskin mengirim surat buat Tuhan, meminta uang agar tidak kelaparan. Sesudah surat itu dimasukkan ke kotak pos, sebuah tragedi terjadi.
Lencho, seorang petani miskin dan sederhana, baru saja tertimpa musibah. Tanaman jagung dan kacangnya yang sudah siap dipanen hancur dan rusak dihantam badai salju. Padahal musim dingin akan segera tiba sementara ia tak memiliki persediaan pangan sama sekali. Maka, ia pun memutuskan untuk menulis surat buat Tuhan karena baginya, hanya Tuhanlah yang bisa menolongnya.
“Tuhan, kalau Engkau tidak menolongku, maka aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami ladangku kembali dan menyambung hidup sampai datangnya musim panen berikut…”
Surat itu ia masukkan ke amplop dan kemudian menulis di atasnya: “Buat Tuhan.” Esok harinya ia pergi ke kantor pos dengan hati sedih tetapi pikirannya tetap optimistis. Ia lalu memasukkan surat itu ke kotak surat.
Tukang pos yang membacanya tertawa geli. Seumur hidupnya menjadi pegawai pos tak pernah ada orang menulis surat buat Tuhan. Lagi pula mana ia tahu alamat Tuhan? Atasannya yang juga membaca surat itu turut tertawa.
Tetapi, setelah kelucuan yang mengejutkan, atau kejutan yang menyenangkan, itu berlalu mereka jadi serius kembali. Bagaimanapun Lencho pastilah seorang yang saleh dan taat. Seorang yang religius dan baik.
Kepala Kantor Pos kemudian mengambil inisiatif untuk membalas surat Lencho dengan menyisihkan sedikit gajinya untuk dikirimkan kepada Lencho. Ia meminta anak buahnya untuk turut membantu. Akhirnya, terkumpul 70 peso. Tidak mengapa karena uang itu sudah dianggap cukup.
Beberapa hari kemudian Lencho datang kembali ke kantor pos. Ia menanyakan adakah balasan surat dari Tuhan. Kepala Kantor Pos dengan perasaan senang dan bangga menyerahkan sebuah amplop yang telah mereka isi dengan uang. Lencho kemudian membuka amplop itu. Dengan tenang ia membaca surat itu. Tak ada perasaan heran di wajahnya. Ia kemudian mengambil kertas lagi, menulis dan mengirimkannya kepada Tuhan sebagai balasan.
Setelah Lencho pergi, Kepala Kantor Pos yang bangga karena merasa telah berbuat baik membuka surat itu. Ia membaca dalam hati surat balasan itu: Tuhan, dari jumlah yang kuminta, hanya tujuh puluh peso yang sampai di tanganku. Kirimkanlah lagi sisanya karena aku sangat memerlukannya. Tapi, jangan kaukirim melalui pos, sebab semua pegawai pos itu bajingan….
***
Dalam suatu pembelajaran dengan anak-anak muda, saya pernah membagikan cerpen “Surat buat Tuhan” (Una carta de Dios; A Letter to God) karya Gregorio López y Fuentes (1897-1966) ini. Fuentes adalah novelis, penyair, dan jurnalis asal Meksiko. Karya-karyanya dikenal sangat menarik, lucu, dan simbolis. Saya meminta mereka untuk membaca dan kemudian memberikan komentar terhadap cerpen ini.
Komentar paling banyak menyebut “lucu” dan “menggelikan”. Ya betul juga, cerpen ini memang sangat lucu dan menggelikan. Tampaknya tidak seorang pun yang ketika pertama kali membacanya yang tidak tersenyum dan tertawa. Tuhan kok dikirimi surat?
Eh sebentar, tapi apa bedanya dengan “kita-kita” sekarang ini yang sering menuliskan doa atau menorehkan catatan amal ibadah kita di dinding media sosial kita lalu karena kombinasi berbagai motif, entah kasihan, pertemanan, sekadar menghibur, dan lain-lain, teman-teman kita (seperti Kepala Tukang Pos dan para pegawainya itu) memberi like, komentar “Amin”, dan sebagainya. Sementara, Tuhan sendiri dan malaikatnya mungkin cuek saja.
Komentar kedua yang cukup banyak adalah anggapan bahwa ternyata, pada umumnya birokrasi itu tidak pernah dipercayai oleh masyarakat. Dianggap brengsek dan bajingan. Sedemikian kuatnya persepsi itu, bahkan saat mereka berbuat baik pun, tetap tidak dipercaya.
Itulah dua komentar yang paling banyak dan dominan. Tapi, di antara komentar-komentar itu menyempil satu komentar yang berbeda. Apa itu?
“Orang beragama yang benar itu pada umumnya jujur, polos, tetapi sekaligus naif.”
Anak muda yang memberi komentar berbeda ini duduk di pojok belakang. Ia tidak terlalu aktif dalam diskusi dan tampaknya lebih senang mendengarkan saja. Ia bukan berlatar belakang keagamaan, misal pernah aktif di organisasi mahasiswa macam PMII atau HMI, atau Muda-Mudi Katolik….
Lalu saya bertanya padanya, “Bisa diterimakah pendapat ini? Lalu apa artinya orang beragama yang benar itu pada umumnya jujur, polos, tetapi sekaligus naif?”
Sayang sekali waktu habis. Kelas bubar. Saya tak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari anak muda itu. Jika saya bertemu dengannya lagi, saya mungkin akan menanyakannya. Tapi, sejujurnya saya khawatir ia menjawab, “Lihatlah keadaan sekarang ini!”
Baca edisi sebelumnya: “Apabila Setan Bertobat” dan tulisan di kolom Ramadan “Iqra” lainnya.