MOJOK.CO – Sejak kenal dengan Marselus Robot, saya percaya orang Manggarai adalah orang yang melampaui zamannya ketika kasih nama anak.
Akhir tahun 2014 lalu saya resmi bertugas di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak saat itu saya punya kesempatan berkenalan dengan banyak orang Manggarai.
Manggarai adalah suku yang berasal dari bagian barat Pulau Flores. Sayangnya, nama suku ini lebih dikenal sebagai nama kawasan di Jakarta Selatan. Aslinya, suku ini jauh lebih luar biasa.
Labuan Bajo, Wae Rebo, sampai Komodo ada dalam wilayah domisili mereka. Stop dulu sampai di sini. Tulisan ini hanya akan membahas nama-nama orang Manggarai yang pernah saya temui. Nama-nama ini akan membuat Anda tercengang, melebihi klikbet dari media daring abal-abal.
Awalnya saya berkenalan dengan seorang dosen negeri di Kota Kupang bernama Marselus Robot (kalau Anda mengira cerita saya hanya fiktif dan bualan belaka, silakan tik nama ini di kolom pencarian Google).
Beliau adalah putra asli Manggarai, dosen bergelar doktor merangkap sastrawan yang karya-karyanya bisa kita lacak di dunia digital. Bukan orang sembarangan. Pribadi yang ramah dengan kumis khas ala Yopie Latul ini lahir tahun 1961.
Pertanyaan yang langsung berkecamuk dalam pikiran saya saat berkenalan dengan beliau adalah: dari mana orang tua Pak Marsel kepikiran menyematkan kata “robot” pada saat kasih nama anak?
Setelah saya cek dan lakukan riset kecil-kecilan, kata “robot” ternyata baru dikenal dunia pada tahun 1921. Karel Capek, penulis asal Cekoslovakia, menggunakan istilah robot pada sebuah naskah drama yang ditulisnya.
Bayangkan saja, 40 tahun setelah itu, sepasang orang tua muda dari pedalaman Manggarai memutuskan menamai anaknya dengan kata yang berasal dari bahasa ibunya Petr Cech tersebut.
Bahkan, film robot paling terkenal dan legendaris, Robocop, baru dirilis tahun 1987. Orang-orang di Indonesia pun harusnya baru bisa ngeh, oh ini yang namanya “robot”, pada tahun-tahun segitu.
Nah, di tahun tersebut Pak Marselus Robot sudah mengenyam bangku kuliah dan mungkin menikmati kekaguman kawan-kawannya karena nama yang beliau sandang. Benar-benar nama yang visinya sangat jauh ke depan.
Luar biasanya, kata “robot” bukan berasal dari bahasa Manggarai atau representasi satu marga dari Manggarai. Perlu dicatat, suku Manggarai tidak mengenal pencantuman nama sesuai dengan marga, berbeda dengan beberapa suku lain di NTT.
Nama-nama anak di Manggarai betul-betul diracik secara acak oleh orang tua mereka. Kecerdasan verbal para orang tua Manggarai inilah yang saya sebut melampaui zaman.
Setelah perkenalan itu, saya kerap bertanya pada kawan-kawan saya yang orang asli Manggarai tentang asal-usul namanya. Kata pertama adalah nama santo dalam Katolik, nah, asal-muasal kata kedua ini yang susah dijelaskan karena menurut pengakuan mereka nama itu langsung muncul saja dalam kepala orang tuanya.
Nama saudara sekandung pun bisa beda. Bergantung kata yang waktu itu melintas di kepala. Saya jadi penasaran proses epistemologi penamaan bayi ala suku Manggarai. Huruf-huruf yang tersebar secara acak kemudian tiba-tiba, kun fayakun, jadilah sebuah kata yang solid dan maknanya melipat dimensi waktu.
Orang-orang tua di Jawa saja rebutan mengambil nama dari bahasa-bahasa yang mereka kenal. Ada suatu masa ketika orang tua di Jawa percaya diri menamai anak dengan bahasa sendiri.
Muncul kemudian nama-nama kayak Widodo, Subianto, dan lain sebagainya. Lalu, kepercayaan diri ini mulai bergeser dengan menamai anak dari bahasa pinjaman, entah Barat atau Timur Tengah. Muncul nama-nama seperti: Erick, Yaqut, Nadiem, dan banyak lagi contoh lainnya.
Tahun-tahun belakangan ini, nama-nama bayi yang tercipta lebih kompleks dan mengencokkan lidah. Nama-nama seperti Kenzho, Alqueensha, Xabiru memusingkan para pengetik akta kelahiran di Kantor Dukcapil.
Karena hal itu, saya pikir, semua orang tua di belahan Nusantara lain harusnya bisa sedikit berkaca dari para orang tua di Manggarai ketika kasih nama anak.
Bahkan saya pernah mengadakan kegiatan di tiga kabupaten yang banyak didiami orang Manggarai. Melihat deretan nama di daftar hadir, saya jadi lebih terkagum-kagum karena muncul nama-nama unik, asing, tapi tetap menarik.
Nama seperti Antonius Supervisi, Sintus Peristiwa, atau bahkan Yohanes Samsung ada di daftar hadir. Makin geleng-geleng kepala lah saya.
Bahkan kadang saya selalu berpikir setelah mendengar nama orang Manggarai kayak punya Pak Yohanes itu. Adakah persinggungan orang Manggarai dengan Lee Byung-Chul, pendiri perusahaan teknologi asal Korea Selatan tersebut? Sampai-sampai ada nama anak orang dinamai “Samsung”?
Tapi jangan salah, orang-orang yang namanya saya sebutkan barusan pun lahir sebelum 1980-an. Artinya, orang tua Pak Yohanes telah memprediksi bahwa kelak, di milenium ketiga, ada produsen ponsel penguasa pasar Asia. Mereka pun menjadikan nama anak sebagai sasmita untuk sebuah zaman.
Hebat sekali kan? Kalau bukan melampaui zaman, terus apa dong namanya itu?
Oleh sebab itu, jika Anda punya kenalan orang Manggarai, coba saja tanya nama lengkapnya. Mudah-mudahan Anda sama tercengangnya seperti saya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mungkin perlu mengingatkan Anda bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Indonesia Maju juga adalah orang Manggarai, namanya Bapak Johnny G. Plate.
Nama yang ternyata secara ejaan dan dialek tidak diucapkan “Plate” seperti selama ini orang salah mengira, tapi “Plate”.
BACA JUGA Betapa Ribetnya Nama Anak-Anak Masa Kini.