Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mari Merindukan Buku Teka-teki Silang

Setiawan oleh Setiawan
4 November 2016
A A
teka teki silang
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Manusia yang besar di tahun 70-90an tentu tidak akan lupa dengan sarana paling menghibur untuk mengisi waktu senggang pada saat itu: Teka-teki silang alias TTS. Sebuah permainan kata yang saat kita bisa mengisi penuh kemudian dibawahnya akan dibubuhi tandatangan kita, paling tidak, itulah yang pernah saya lakukan, norak banget.

Belum lama ini saya pergi ke sebuah toko buku ternama untuk menemani anak saya membeli keperluan sekolahnya. Tidak banyak buku yang menarik perhatian karena saya memang sedang tidak memiliki waktu khusus untuk membaca, tidak seperti dulu saat saya masih bujang. Well, keputusan untuk menikah kadang memang berbuntut konsekuensi untuk mengurangi beberapa kesenangan —walau kemudian kita mendapatkan ganti kesenangan-kesenangan yang lain, tentu saja.

Di toko buku, saya mendadak teringat akan sosok ayah saya dulu yang setiap kali ke toko buku selalu tak pernah lupa membeli buku TTS. Saya ingat karena beberapa kali sempat diajak untuk menemani beliau ke toko buku, entah untuk membeli buku, atau sekadar membeli peralatan kantor. Kala itu, toko-toko buku belum ada yang sebesar Gramedia atau Gunung Agung, masih sekadar kios sederhana yang kemudian dibikin sesak oleh buku-buku yang ditumpuk begitu saja.

Seketika itu juga, pandangan langsung saya layangkan ke seantero sudut toko buku, mencoba untuk bernostalgia dengan buku TTS. Upaya saya berbuah nihil, karena rupanya, di toko buku tempat saya mengantar anak saya, saya sama sekali tak menemukan buku TTS.

Saya lantas memberanikan diri menanyakan kepada pramuniaga, dan jawaban yang saya dapatkan sungguh sangat memprihatinkan. “Sudah jarang yang beli, jadi kita sudah nggak sedia lagi buku TTS,”

Ya Tuhan, Apa salah TTS sehingga sekarang tidak lagi mendapat tempat di rak-rak toko buku? Apakah karena TTS dianggap sebagai sebuah karya non-sastra yang hanya diperuntukkan bagi kaum proletar yang hanya tinggal dirumah bedeng kontrakan dekat dengan proyek pembangunan sehingga penjualannya hanya layak diakomodir oleh kios-kios penjual koran, dan bukan di toko-toko buku?

Sungguh saya tak tahu pasti. Tapi yang jelas, di sela-sela keprihatinan saya, ingatan akan masa kejayaan buku TTS ini masih terasa begitu melekat dalam otak saya.

Di puncak masa kejayaannya, buku TTS pernah menjadi hidangan khas di meja tamu. Si tamu yang berkunjung ke kediaman si tuan rumah akan membuka-buka buku TTS yang biasanya tergeletak begitu saja di bawah meja, melihatnya, dan kemudian berusaha melengkapi jawaban-jawaban kosong yang masih belum sempat —atau belum bisa— diisi oleh si tuan rumah. Kalau bisa mengisi banyak jawaban kosong, si tamu lantas bakal merasa bangga karena merasa lebih pintar dari tuan rumah, namun sebaliknya, kalau ia tak mampu mengisi, ia akan merasa bodoh karena tak mampu menandingi jumlah isian kolom TTS milik tuan rumah.

Dulu, di awal-awal tahun 90-an, satu eksemplar buku TTS bisa didapatkan hanya dengan harga 500 rupiah. Ajaib bukan? uang 500 saat itu sudah bisa membuat kita melupakan sejenak beban hidup kita dan men-sugesti kita untuk menjadi manusia cerdas yang tahu apa saja. Membuat kita bangga dengan pengetahuan umum kita yang sebenarnya juga cuma segitu saja.

Dalam setiap edisinya, buku TTS hampir selalu memuat gambar wanita cantik dan seksi sebagai covernya. Ia menjadi bukti pengejawantahan yang nyata dari “don’t judge the book by its cover”, lha betapa tidak, gambar covernya foto wanita cantik sintal yang jika dipandang selalu saja menyenangkan, namun begitu dibuka isinya dan dilihat soal-soalnya, rasanya sangat jauh dari kata menyenangkan.

Melihat covernya, kita langsung memikirkan berapa tarif sekali kencan dengan gadis cover TTS ini, tapi begitu dibuka isinya, kita langsung dipaksa memikirkan apa nama mata uang Republik Kongo atau apa ibukota negara Burkina Faso. Kan bajingan betul.

Namun, diakui atau tidak, buku TTS adalah sebuah eksklusifisme kaum marginal, kita bisa lihat bagaimana para sopir jaman dulu mengusir kebosanan saat menunggu sang juragan dengan mengisi kotak jawaban menurun dan mendatar. Hal sama yang belum pernah saya lihat dilakukan oleh mereka, kaum eksekutif, yang banyak membuang waktu setiap minggu untuk menunggu pesawat delay di executive lounge sebuah bandara.

Akankah buku TTS menjadi sebuah kenangan bagi generasi kita? Seperti halnya permainan bocah yang kini semakin langka tergerus dan tergerus keberadaannya.

Entah mengapa, saya jadi ingin mengetuk hati para budayawan Indonesia untuk melestarikan budaya ngisi TTS yang pernah menjadi tradisi kaum marginal. Kalau beberapa waktu yang lalu sempat ramai wacana tentang kretek sebagai budaya leluhur, mestinya TTS juga layak untuk mendapatkan apresiasi yang sama, toh tak sedikit leluhur kita yang menikmati kretek sambil ngisi TTS. Paling tidak kita sebagai mantan penikmat TTS dengan kehidupan sekarang yang lebih mapan bisa turut memikirkan nasib para pengarang soal TTS, bagaimana nasib mereka jika tradisi ini punah?

Iklan

Pernahkah terpikir oleh kita bahwa sebagian ilmu yang kita dapat adalah hasil kontribusi mereka? Pernahkah terpikir oleh kita bahwa para pejabat dan intelektual muda itu pada masa mudanya sempat menghabiskan waktu di kosan dengan mengisi TTS yang setia terselip diantara diktat dan tugas kuliah?

Yah, Pada titik tertentu, buku TTS kadang lebih memiliki nilai kultural ketimbang buku-buku keilmuan. Mungkin memang sudah saatnya istilah “sudah baca berapa buku hari ini?” mulai digantikan oleh “sudah berapa buku TTS yang kau isi hari ini?” kita maklum sendiri bukan bahwa buku keilmuan sudah terlalu sering menimbulkan kontroversi, apalagi di negeri ini. sudah tak terhitung berapa insiden pembubaran acara oleh massa saat ada seminar tentang buku atau acara bedah buku. Dan saya yakin, pembubaran ini tak akan pernah terjadi di acara sarasehan dan diskusi ngisi TTS bersama.

Kalau saja tradisi mengisi TTS masih sebesar dulu dan buku TTS masih banyak dijual, saya kok yakin tidak banyak orang yang sok peduli dengan urusan politik atau segala macam penistaan di negeri ini. Bagaimana mereka sempat berdemonstrasi ketika otak disibukkan dengan pertanyaan mendatar dan menurun?

Duh, ada apa sih ini, merindukan buku TTS rasanya kok bisa sesentimentil ini ya?

Terakhir diperbarui pada 14 November 2018 oleh

Tags: Bukuteka-teki silang
Setiawan

Setiawan

Artikel Terkait

Pesta Literasi Mojok.co
Kilas

Kupas Kreativitas di Era Teknologi, Magdalene.co dan Alitra Gelar Pesta Literasi 5.0

21 November 2025
JILF 2025 Mojok.co
Kilas

JILF 2025 Angkat Isu Sastra dan Kemanusiaan

15 November 2025
Sweeping buku oleh aparat Jawa Barat: mencekal ilmu pengetahuan, masyarakat tak boleh pintar MOJOK.CO
Ragam

Derita Jadi WNI: Dipaksa Anti-Pengetahuan dan Tak Boleh Pintar, Suka Baca Buku Dianggap “Ancaman”

22 September 2025
Mengenal Dodo Hartoko: Penggerak Literasi dan Budaya Lewat Jogja Art + Book Fest
Video

Mengenal Dodo Hartoko: Penggerak Literasi dan Budaya Lewat Jogja Art dan Book Fest

15 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.