MOJOK.CO – Ketika orang timur merasa bangsa ini terlalu Jawa-sentris, di Jawa saya melihat kalau kami juga ditindas kultur Jakarta. Sama-sama merasa tertindas kok.
Dari berbagai penulis yang karyanya saya baca di Mojok, penulis dari kawasan Indonesia timur sering membuat saya tertarik.
Pertama, karena saya jadi tahu seperti apa cara pandang orang timur. Kedua, karena mengingatkan pada kawan saya yang juga dari timur. Dan ketiga, karena saya suka dengan gaya bahasa yang digunakan.
Di otak saya, gaya bahasa orang timur adalah kombinasi antara kultur santai dengan jiwa blak-blakan. Beda sekali dengan kami di Jawa Mataram, yang lebih sering hati-hati dan sembunyi-sembunyi karena tinggal dekat kekuasaan, kalau salah ngomong kan berabe.
Nah kali ini, saya ingin berbagi pandangan pribadi sebagai orang Jawa, khususnya Jogja ke orang timur dan Jakarta. Hanya, saya akan bicara dari pengalaman sendiri saja, bukan dari teori-teori ilmiah.
Kebetulan, dari interaksi saya dengan kawan-kawan dari timur, saya menemukan sesuatu yang unik, meski ya… agak sedikit sensitif. Hehe.
Pertama, orang Jogja sering memandang nestapa ke orang timur. Bayangan mereka mengenai daerah timur adalah ketidakmajuan dan hutan belantara. Saking mengakarnya pandangan ini, teman saya yang sesama orang Jogja pernah berkata ke teman kami orang Makassar, “Di Makassar ada eskalator tidak?”
Astaga, sedetik setelah pertanyaannya itu dilontarkan, saya langsung malu mengakuinya sebagai teman. Hus, hus, sana, kamu bukan temenku!
Di sisi lain, meski dipandang tertinggal, orang Jogja versi mahasiswa angkatan dan kampus saya justru sering melihat orang timur sebagai orang kaya. Well, jujur saja, kalau di desa-desa, orang timur memang akan dianggap miskin (maaf ya teman-teman). Tapi kalau di angkatan saya, muka-muka timur terutama melanesia justru diasosiasikan dengan kekayaan. Mutiara hitam secara harfiah!
Pernah suatu kali seorang teman cerita, “Di sini, orang Papua didiskriminasi, nyari kos-kosan susah. Makanya, kemarin waktu dapat, sa langsung bayar DP dua juta. Tapi baru sadar kalau kosnya kejauhan, ya sa nyari kos lagi.”
Cerita ini tentu saja dituturkan dengan logat timurnya, tapi maaf saya cuma ingat istilah “sa” saja.
Teman saya sendiri sebetulnya bukan orang Papua. Ia berasal dari Maluku. Namun ia selalu dianggap dari Papua di sini.
Saya langsung “glek” mendengar ceritanya. “Glek” saya bukan semata-mata karena masalah diskriminasi para pemilik indekos pada orang Papua. Tentu saja saya prihatin, tapi apalah saya ini cuma mahasiswa miskin. Anyway, “glek” saya juga bentuk ekspresi betapa santainya teman saya kehilangan dua juta rupiah.
Saya bilang padanya, apa dia tidak sayang dengan uang dua juta itu? Teman saya memberi jawaban yang membuat saya merasa lebih miskin dari biasanya. Oleh sebab seperti inilah, orang timur sering dipersepsi sebagai orang kaya di lingkar pergaulan kampus saya.
Tentu saya tidak menggeneralisir, saya hanya menjabarkan pandangan orang-orang di sini. Pandangan ini sendiri tentunya tidak benar. Sebab, logikanya, kebanyakan yang bisa kuliah di Jawa adalah mereka yang ekonominya memang lebih maju atau mendapat beasiswa.
Mempercayai stereotip ini juga agak membahayakan sebab orang bisa menganggap bahwa ketimpangan pembangunan tidak terjadi. Padahal, Jawa-sentris itu nyata, Mas, Mbak.
Bicara soal Jawa-sentris kadang membuat saya agak sensi karena mengusik rasa kesukuan saya. Sebab seringkali Jawa-sentris dibarengi dengan anggapan bahwa Indonesia ini dijajah Jawa. Istilah kerennya Java Empire. Istilah kearifan lokalnya, Majapahit Gaya Baru.
Akan tetapi ketika saya coba berpikir dingin, sebetulnya istilah “Java Empire” itu ada benarnya. Rasanya tak perlu kan dijelaskan bahwa Jawa pada masa lalu memang menjadi penyedot kekayaan pulau lainnya di Indonesia?
Uniknya, meski orang Jawa bisa mengakui bahwa pulau mereka terlalu diprioritaskan, namun—jangan salah—kami justru sering merasa ditindas Jakarta lho.
Saya pernah bilang begini ke kawan saya yang dari timur, secara kultural, orang Jawa merasa tertekan dengan Jakarta. Miris dengan gaya bicara ke-jakarta-jakarta-an di radio daerah di Jawa.
Ini belum stereotipe orang Jawa yang ndeso dan miskin di televisi nasional, dan seterusnya. Dari segi ekonomi, orang Jawa merasa pemerintah terlalu Jakarta-sentris sampai-sampai orang Jawa harus ke Jakarta pula demi sesuap nasi.
Teman saya garuk-garuk kepala mendengar ocehan saya ini. Sebab dalam pandangannya, orang Jakarta itu ya orang Jawa.
Jangankan orang Jakarta, orang Sunda saja kadang disamakan dengan Jawa kok. Dengan kata lain, di sini ada cara pandang yang tumpang tindih, terutama soal tafsir apa itu Jawa.
Ekses perbedaan ini kadang lucu aja. Bayangkan, suatu hari seorang artis bernama Sumirah menunjukkan kejawaannya tiap kali pentas di ibukota.
Bagi orang Jawa, yang dilakukan Sumirah ialah dobrakan pada dominasi Jakarta. Ndeso yo ben! Tapi ketika itu dilihat orang luar Jawa (bukan timur aja), pesannya belum tentu sampai. Bisa jadi justru dianggap bentuk lain hegemoni Jawa.
Terus yang benar yang mana? Atau jangan-jangan orang Jakarta sendiri merasa tertindas oleh entitas lain?
Ah, menurut saya sih masing-masing pihak punya pihak penindasnya. Kalau merasa ditindas, orang Jakarta mungkin juga merasa ditindas modernitas. Lagipula, tulisan ini tidak sedang mencari kesalahan dan kebenaran. Saya cuma ingin berbagi bincang-bincang santai saja.
Anyway, pandangan lain yang tak kalah menggelitik adalah mengenai Orba. Iya, Orde Baru itu.
Orba sering dianggap sebagai salah satu sumber munculnya anggapan Jawa-sentris, tapi lucunya, meski Jawa diuntungkan, saat ini partai yang menang di provinsi-provinsi Jawa malah bukan partai yang kental aroma Orba-nya.
Jawa Tengah jadi basis PDIP, sedangkan PKB punya tempat tersendiri di Jawa Timur. Adapun di Jogja, dua partai yang punya kedekatan di masyarakat adalah PDIP, PPP, dan PAN.
Nah, yang mungkin perlu dicermati, Orba adalah Jawa yang segmented. Orba adalah sebuah kekuasaan Jawa ningrat. Jawa jelata sendiri ada di segmen kelas yang berbeda dibanding Jawa yang biru. Kalau Jawa ningrat bicara soal bibit bebet bobot, Jawa rakyat jelata akan bernyanyi riang bersama biduan dangdut di lapangan yang becek.
Saya tidak mencari pembenaran di sini. Kami di Jawa memang lebih diuntungkan. Tapi kalau melihat kondisi di Jawa sendiri, seringkali kekayaan yang diserap itu pun hanya mengalir di kalangan segelintir elite saja. Lalu dalam perkembangannya, kami yang kere dan jelata ini jadi kena imbasnya.
Teman saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan saya. Namun ia tetap protes karena pada faktanya Presiden Indonesia selama ini selalu dari Jawa—kecuali BJ Habibie. Itu pun Pak Habibie juga cuma sebentar karena menggantikan posisi Pak Harto.
“Mana ada Presiden Indonesia yang asli dari Jakarta, (hampir) semuanya Jawa kan?” katanya.
Saya terdiam sejenak. Tiba-tiba saya jadi berpikir. Ketika orang timur merasa Indonesia terlalu Jawa-sentris, kami orang Jawa justru merasa kalau (Pulau) Jawa ini terlalu Jakarta-sentris, lalu tiba-tiba muncul juga pandangan orang Jakarta kalau Pemimpin Pemerintahan Indonesia terlalu (suku) Jawa-sentris lagi.
Di saat itulah saya kemudian percaya, kalau semua ini sebenarnya karena filosofi: urip kuwi mung perkara sawang sinawang, sebuah filosofi yang bisa dimaknai kalau manusia emang cenderung melihat orang lain punya nasib lebih mujur. Lalu melihat diri sendiri selalu penuh kekurangan.
Seperti orang timur yang merasa tidak seberuntung orang yang tinggal di Pulau Jawa, lalu orang Jawa yang merasa tidak seberuntung orang yang tinggal di Jakarta, dan—balik lagi—orang di Jakarta yang merasa tidak seberuntung sama orang asli Jawa.
Sebentar, setelah saya ingat-ingat lagi, filosofi yang saya pakai pun ternyata Jawa-sentris lagi ya? Duh.