MOJOK.CO – Mau dibawa ke mana sih negara ini? Kok yang diminta mengalah dari investor justru rakyatnya sendiri? Sampai terbitin Omnibus Law segala lagi.
Indonesia ini negara model apaan sih? Suka ngatain kapitalis, tapi benci setengah mati sama komunis?
Pertanyaan kayak gitu dulu pernah bikin saya pusing.
Akan tetapi, gara-gara ikut tes CPNS tahun ini, saya jadi sedikit hafal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Dan, gara-gara itulah saya kemudian bisa menjawab kepusingan saya sendiri.
Dari baca-baca UUD 45, rasanya saya bisa bilang kalau negara kita ini adalah negara dengan sistem ekonomi sosial demokrasi yang menghormati HAM. Ekonomi sosial demokrasi memang masih berorientasi kapitalisme, tapi tidak banal seperti neoliberal. Tuh lihat aja, pasal 33 dan 34.
Menurut kedua pasal tersebut, negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting, negara menguasai bumi, air, dan isinya untuk kemakmuran rakyat, sampai negara mengembangkan sistem jaminan sosial dan menyediakan fasilitas kesehatan yang layak. Sedangkan soal HAM, kita bisa baca di pasal 28A sampai 28J.
Membaca itu semua, saya jadi suka membayangkan kalau Indonesia ini adalah sebuah organisasi keluarga raksasa yang di dalamnya warganya saling membantu. Tidak ada orang kaya semena-mena, dan tidak ada orang miskin yang terlunta-lunta, karena Indonesia adalah satu keluarga besar yang saling menyayangi.
Indah banget ya UUD 1945 kita?
Etapi… eng, ing, eng.
Kenyataan memang lain dari ideal-ideal semacam itu.
Industri hiburan kita dipenuhi kabar artisnya suka pamer, hukum kita suka tumpul ke atas, beberapa publik figur kita suka rasis, dan sistem ekonomi kita makin jauh dari prinsip solidaritas.
Belum lagi absurditas yang diperlihatkan elite kita lewat rancangan undang-undang yang mereka bikin. Apa lagi kalau bukan Omnibus Law RUU Cilaka plus dua undang-undang absurd bernama RUU Ketahanan Keluarga dan UU KPK yang baru.
Yak! Saya sebut elite, bukan kubu pemerintah atau oposisi. Sebab nyatanya produk-produk tersebut tidak semuanya dibikin pro-pemerintah. Ada juga produk yang dibikin dan didukung oleh kelompok oposisi sedangkan yang lain diusulkan pihak pemerintah.
Makanya penggunaan kata elite terasa lebih pas. Toh, sekarang sudah bukan zamannya cebong vs kampret. Lagian yang namanya elite, mau ia oposisi atau pemerintah, intinya mereka dari kalangan berduit dan berkuasa. Beda sama kita yang jelata.
Gara-gara elite kita yang terhormat itu, kita sekarang dalam masa Indonesia Darurat 3K.
Yak tul, 3K. Alias konservatif, kapitalis, dan koruptif.
Konservatifme sedang digelorakan lewat RUU Ketahanan Keluarga. Masalah-masalah privat seperti hubungan ranjang dibahas di RUU ini. Strong family makes a strong nation, begitu katanya. Hadeh. Saya jadi ingin tertawa membaca jargon ini.
Saya yakin yang percaya jargon seperti ini adalah orang yang selalu melihat ke belakang. Mereka yang meromantisasi hubungan sosial masa lalu dan biasanya mengidamkan peran gender yang rigid.
Padahal ya, dulu waktu jamannya perempuan dianggap sebagai penanggung jawab sumur,
dapur, dan kasur, kita dijajah Belanda kok.
Kurang rigid apa peran gender masa itu dibanding sekarang? Kurang rendah apa data perceraian saat itu? Kurang produktif apa kita di zaman tanam paksa? Strong nation, gundulmu sempal.
Justru perjuangan kemerdekaan nasional kita diwarnai oleh manusia-manusia berpikiran
merdeka yang tidak terkungkung dalam konservatifme. Pikiran mereka terbuka dan kreatif, tidak mandeg dalam konservatifme.
Belum lagi kalau kita baca komentar para pendukung atau pengusul RUU ini. Masa ada yang bilang RUU ini untuk menekan angka perceraian. Oalah. Terlalu mengatur urusan privat, dan terlalu salah kaprah dalam melihat kondisi aktual.
Coba kita lihat data perceraian misalnya, banyak yang alasannya ekonomi. Taraaa! Yak, ekonomi menjadi salah satu penyebab perceraian. Dan lucunya lagi, tiba-tiba negara ini mau menelurkan RUU yang berpotensi memiskinkan kalangan pekerjanya. Helooow.
Si tersangka yang saya maksud ini bernama Omnibus Law RUU Cilaka (bodo amat sudah
diganti namanya, cilaka ya cilaka aja). RUU ini sudah berhasil membuat kalangan pekerja melakukan beberapa kali demonstrasi.
Sebabnya ya jelas. RUU ini dinilai tidak adil terhadap kelompok pekerja. Praktik outsourcing yang nantinya semakin merajalela sampai masalah upah minimum menjadi beberapa isu yang dikeluhkan para buruh.
Katanya sih Omnibus Law ini dibikin supaya investor makin seneng ke sini. Tapi apa iya, satu-satunya cara menarik investor adalah dengan menerapkan aturan seperti itu?
Kok, seolah-olah demi jargon “Strong Nation”, yang diminta untuk berkorban dan mengalah justru malah kalangan pekerja?
Wedyan, kok nggak ada kreatif-kreatifnya negara kita ini? Kapan kita sejahtera, kalau pemerintah menempatkan rakyatnya sendiri takluk di bawah ancaman investor asing yang bilang, “Kalau upahnya naik, gue mau ke Vietnam!”
Apa memang level kita menjadi bangsa upah rendah?
Selain itu, ada rasa ketidakadilan juga yang membuat para pekerja terbakar hatinya. Coba kita mikir kalau pekerja ditekan karena dianggap “menghambat” investor, terus bagaimana dengan profesi lain?
Selama ini, hukum di Indonesia selalu dikritik timpang.Tapi apa pernah pemerintah menerapkan solusi menurunkan upah hakim dan para penegak hukum?
Selama ini, kinerja kepolisian banyak dikritik di dalam negeri ataupun di dunia internasional, apa lantas pemerintah menurunkan upah polisi?
Selama ini kinerja DPR sering dikritik di mana-mana, apa pernah pemerintah mengeluarkan peraturan memangkas gaji DPR? Terus kenapa kalau sama pekerja kok pemerintah segalak itu?
Apa dikira penegakan hukum yang lemah, legislatif yang kerjanya amburadul, sampai polisi yang kurang tanggap tidak akan membuat lari para investor? Apalagi kalau sudah ngomongin korupsi?
Puaaadahal, di luar masalah upah dan produktivitas pekerja, korupsi justru menjadi penghambat besar bagi kalangan investor.
Tapi bukannya memberantas korupsi dengan tegas seperti ketika menghukum Bali Nine, pemerintah justru menerapkan kelonggaran di sana-sini untuk para koruptor. Bukan itu saja, revisi UU KPK pun ngotot dilakukan pemerintah meski rakyat sudah teriak-teriak jengkel.
Terus sebetulnya bangsa ini mau dibawa ke mana, wahai para elite? Apa bener kita makin menuju 3K itu tadi?
Kok makin dipikir, negara kita makin gayeng. Nggak jelas dan kurang kreativitas. Udah gitu elitenya cuma bisa menyalahkan rakyatnya sambil mengikat dengan aturan-aturan moralistik pakai Omnibus Law.
Sementara diri sendiri enak-enak dari intaian KPK dan bisa ena-ena di hotel mewah. Mau tak mau saya jadi ingat lagunya Iwan Fals, “Manusia Setengah Dewa”. Tapi kalau sekarang
sih, rasanya elite kita sudah berlagak jadi dewa beneran, bukan lagi setengahnya.
BACA JUGA A-Z Omnibus Law: Panduan Memahami Omnibus Law atau tulisan Nurhidayah lainnya.