MOJOK.CO – Bagaimana rasanya jadi orang jelek? Hal yang tak akan pernah kamu tahu rasanya kalau kamu tak benar-benar dilahirkan sebagai orang jelek.
Jadi jelek itu menyeramkan. Bayangkan bagaimana rasanya detik-detik saat mata orang lain memandang wajahmu dengan terkesima. Bukan, bukan karena kamu menarik, melainkan karena bentuk fisikmu yang tidak sedap dipandang.
Tatapan yang akan diakhiri dengan—kalau orang itu kenalanmu—cemoohan.
“Sof, gigi lu kok maju gitu sih? Hahahaha.”
Label demi label datang lalu silih berganti. Parahnya, hal itu tak hanya keluar dari teman-temanmu. Wali kelasmu juga turut mencemoohmu, memanggilmu dengan panggilan-panggilan yang membuatmu ciut. Dan salah satu ejekan paling membekas kemudian adalah “cacing planet”.
Lalu panggilan cacing planet membuatmu membeku, gurumu tertawa, teman-temanmu tertawa, dan kamu berusaha tetap bereaksi normal-normal saja. Kamu tahu kamu ingin marah, tapi kamu tahu itu percuma.
Badanmu lalu gemetar, ingin menangis, tapi menangis akan memperburuk keadaan, membuatmu jadi terlihat lemah, dan—tentu saja—membuatmu makin jelek dan akan semakin membuatmu diejek.
Agar tidak terlihat ingin menangis lalu kamu pura-pura ikut tertawa. Menyembunyikan apa yang kamu rasakan. Merelakan celaan itu menghantammu satu demi satu. Waktu kemudian melambat, detik berhenti, seolah celaan itu berlangsung selama-lamanya. Terus bergeming di telingamu tak berhenti-berhenti.
Mungkin beberapa teman menganggap kamu bisa menerima panggilan-panggilan itu. Ejakan itu lalu melekat jadi identitasmu. Teman-temanmu merasa kamu ikhlas dipanggil begitu.
“Oi, cacing planet.”
“Dasar tonggos.”
“Kok bisa sih bibir lu maju banget?”
“Hahaha, Boneng!”
Butuh waktu yang cukup lama bagimu untuk mengubah diri menjadi pribadi yang percaya diri. Karena begitu seringnya kamu jadi bahan ejekan, temanmu lalu jadi sedikit sekali. Beberapa dari mereka bernasib sama, dijauhi karena jelek dan tidak menarik. Berkumpul menjadi sekelompok pecundang.
Saking sedikitnya, kamu cuma punya empat teman di SMP. Karena sering berempat, guru olahragamu menyebut kamu dan teman-temanmu sebagai geng homo.
Masalahnya, kamu dan geng homo-mu itu memang tak becus dengan pelajaran olahraga. Kamu lalu merasa benar-benar jadi pecundang. Tak pandai berolahraga makin membuat kamu dan gengmu dicap homo, lemah, banci, tak macho. Sempurna sudah.
Keadaan lalu berjalan begitu terus sampai membuat kamu sulit untuk ngobrol dengan teman-temanmu. Padahal kamu ingin bisa ikut terlibat ketika teman-teman lain berkumpul membicarakan film yang seru, komik baru, atau easter egg pada game yang sedang populer.
Kamu ingin jadi bagian dari mereka. Tapi percuma, ujungnya sama, cemooh sambil tertawa selalu muncul dari mereka karena berusaha membuatmu tak nyaman. Dan kemudian kamu sadar, kamu tak layak bersama mereka.
Kamu lalu masih ingat bagaimana teman-teman memajukan giginya ketika berbicara denganmu. Mereka tertawa puas, kamu menunduk lemas.
Dan salah satu bagian terburuk menjadi pecundang adalah kamu harus siap “diapa-apain” dengan teman lain. Badanmu yang kecil dipegang erat-erat, mereka semua berteriak kencang, “TELANJANGIN SOFYAAAAAAAAAN. TELANJANGIIIN!!!”
Kamu lalu berharap keadaan akan baik-baik saja. Kamu yakin kamu akan terbiasa. Namun hari ke hari makin banyak yang hal buruk baru yang terjadi.
Ada hari di mana kamu mendapati tas sekolahmu tergantung di atas pohon. Ada juga saat kamu harus menghibur temanmu di kala ia diteriaki banci oleh teman-teman sekolahmu. Ingin sekali rasanya membalas apa yang mereka lakukan padamu, tapi—sekali lagi—kamu tahu itu sia-sia.
Karena nyaris tak ada teman, kegiatanmu selain sekolah adalah mengaji di rumah. Hampir setiap hari ada guru ngaji yang datang.
Semua terasa biasa saja, menjadi rutinitas yang kamu lakukan tanpa ada penolakan sampai suatu hari guru ngajimu mencolek-colek pahamu, memangku badan kecilmu, dan setelahnya terjadi peristiwa yang tak akan mampu kamu ceritakan lagi.
Mengingatnya, menuliskannya, akan selalu membuatmu merasa malu, marah, dan sedih.
Banyak yang kemudian bertanya, mengapa kamu tidak melawan?
Di saat itu, kamu tak punya keberanian. Setiap hinaan, apalagi perbuatan yang sifatnya melecehkan, membuat badanmu membeku. Kamu akan terdiam lama, dan menangis sejadi-jadinya ketika sampai di dalam kamar.
Keberanian tiba-tiba jadi barang yang sangat mewah. Bahkan untuk cerita ke orang tua pun kamu tak memilikinya lagi.
Menjadi jelek rentan untuk dilecehkan. Mungkin teman-teman sekolah menganggap itu semua candaan. Tapi candaan-candaan itu melekat, menjadi luka yang bisa membuatmu merasa rendah dan tak diinginkan.
Kamu lalu bersyukur kamu bisa melewati itu semua, menjadikannya pengalaman yang membuatmu jadi lebih kuat. Klise memang, tapi kamu tahu memang begitu adanya.
Pelan-pelan kamu akhirnya mulai menguatkan diri sendiri. Mencari kawan yang mengerti dirimu.
Pernah suatu hari kamu tak memakai deodoran, dan temanmu protes karena badanmu yang bau. Kejujuran mereka membuatmu jadi lebih mengerti akan masalah pada diri sendiri.
Belakangan kamu jadi berusaha untuk lebih mencintai diri sendiri. Jadi rajin merawat badan. Menjaga penampilan. Karena kamu paham, kamu tak akan bisa jadi yang paling baik di antara society yang mengangungkan wajah yang rupawan.
Tak apa-apa, setidaknya—pikirmu—badanmu wangi. Untuk saat ini itu saja cukup.
Orang-orang sepertimu memang wajib tahu cara merawat diri. Membeli deodoran bukanlah beban. Menyemprotkan minyak wangi sebelum pergi seharusnya tak susah. Kamu melakukan semua proses itu secara perlahan, dan akhirnya jadi kebiasaan.
Percaya lah, jadi orang jelek dan bau hanya akan memperburuk hari-harimu. Paling tidak, hilangkan lah satu hal itu dari tubuhmu.
Lalu hal yang akan kamu syukuri adalah; saat ini kamu dikelilingi teman-teman yang baik.
Mereka membantumu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Menguatkanmu saat kamu jatuh. Menerimamu apa adanya. Begitu pun sebaliknya, kamu jadi merasa wajib menguatkan mereka di saat mereka pernah atau sedang ada dalam keadaan yang sama buruknya dengan keadaanmu dulu.
Lalu keadaan benar-benar akan berangsur baik. Karena kamu mulai mencintai dirimu, menghargai apa yang kamu miliki, dan bersyukur dengan segala kejelekanmu.
Kamu akan baik-baik saja. Itu pasti. Karena yang mengalami hal semacam itu, tidak cuma kamu. Jangan khawatir.
Saya mengerti. Sangat bisa mengerti. Karena saya adalah orang yang pernah mengalami itu semua. Sama sepertimu.