Ale dan Pak Jenderal
Dua kali masuk ABRI di Kota Manado, Ale belum juga lulus. Segala cara ia lakukan, dari melobi kerabat terdekat sampai jual pohon kelapa milik orang tua untuk menyogok pemimpin tertinggi wilayah Sulawasi Utara.
Ale tak kunjung putus asa. Dengan bekal seadanya, optimisme yang lebih, akhirnya ia bertekad pergi ke Jakarta. Ale mengira, mungkin di Jakarta akan lebih mudah masuk menjadi anggota ABRI.
Sesampai di Jakarta, Ale mengikuti semua prosedur pendaftaran militer. Ujian fisik, ujian mental, dan ujian tertulis sungguh-sungguh ia ikuti. Sayangnya, Ale tidak lulus juga.
Tidak hilang akal, Ale beranikan diri bertemu Panglima.
“Pak Jenderal, kita mo tanya.”
“Bertanya apa?” Pak Jenderal rada bingung.
“Kiapa kita nyanda lolos tes masuk ABRI? Semua syarat kita iko akang. Padahal kita pe badan ba otot, kita juga so sabuk itam di karate, tapi kita masih nyanda ka terima di militer.” Wajah Ale terlihat emosi.
Pak Jenderal linglung mau jawab bagaimana. Prosedur sudah jelas di papan pengumuman. Kalau tidak lulus berarti ada yang tidak terpenuhi.
“Coba Ale senyum dulu.”
Ale mencoba senyum walau emosinya belum turun.
“Nah. Kenapa Ale tidak lulus tes? Karena Ale ompong. Gigi Ale terlihat tiga yang hilang,” Pak Jenderal jawab dengan tenang.
Wajah Ale terlihat merah. Ale pun bertanya lagi, “Pak Jenderal, apakah torang maso di ABRI mo baku perang atau baku gigit kah?”
Tanah Jawa, Tanah yang Subur
Sebelum tes masuk ABRI kali ketiga, Ale menyempatkan jalan-jalan ke Yogya. Bertemu dengan kawan lamanya yang sudah lama tinggal dan nikah di tanah Hamengkubuwono, namanya Adlun.
Adlun mengantar Ale ke tempat wisata. Dari selatan ke utara dan dari timur ke barat. Adlun dan Ale lepaskan penat di Jalan Malioboro karena sehari penuh mereka keliling Yogya. Selama sehari, Ale mengamati gedung-gedung dan mobil-mobil yang lewat. Namun, ada yang buat Ale kagum, yaitu tanah di Jawa subur sekali.
“Kakak Adlun, tanah di Jawa subur-subur e. Beda deng di Sulawesi,” Ale mengeluarkan kekagumannya pada Adlun.
“Ah tidak, Ale. Tanah di Sulawesi lebe subur. Torang masih makan durian dan bete. Kalo di Jawa nyanda ada,” Adlun membantah kekaguman Ale.
“Adodo, Adlun, kiapa ngana so tambah bodok bagini. Apa ngana so buta kah? Co haga itu tiang listrik. Tiang-tiang listrik di Jawa lebe tinggi sedangkan di Sulawesi pendek-pendek.”
Gigi Palsu
Setelah mendengar cerita dari Ale kalau Jakarta banyak mobil dan gedung-gedung tinggi. Nona menyusul ke Jakarta. Tapi selama tinggal di Jakarta, Nona tidak percaya diri sebab giginya ompong.
Pada akhirnya Nona mengadu kepada ibunya.
Nona: Mama, kita nyanda parcaya diri tinggal di Jakarta. Kita pe gigi ompong. Kita mo senyum sama cowok-cowok tapi kita malu sekali.
Mama Nona: Sabar, sayang, tunggu Mama jual pohon cengkeh dulu, baru bili akang ngana gigi palsu.
Puji Tuhan. Nona senang sekali dengan gigi palsu yang dibelikan oleh ibunya. Ia selalu percaya diri ketika berpapasan dengan cowok-cowok Jakarta. Dan pastinya ia selalu senyum kalau bertemu dengan cowok.
Belum cukup tiga bulan menikmati gigi palsu, Nona menelepon lagi pada mamanya.
“Mama, kita so nyanda malu-malu lagi kalo ketemu deng orang di jalan. Gigi palsu ini biking kita parcaya diri. Tapi, Mamaaa ….” Nona merasa berat ingin katakan sesuatu kepada ibunya.
“Tapi apa, sayang?
“Mama, kita pe perut buncit.”
“Pukimai ngana e. Torang so jual pohon cengkeh untuk tambal ngana pe lubang atas. Kiapa ngana so pigi buka ngana pe lubang bawah!?”