Baca cerita sebelumnya di sini.
“Lalu Bioy Casares ingat perkataan seorang kafir dari Uqbar bahwa cermin dan sanggama sama-sama mengerikan, keduanya memperbanyak jumlah manusia.” – Jorge Luis Borges dalam cerita pendek Tlön, Uqbar, Orbis Tertius
“Monyet-monyet itu bisa menyelesaikan naskah Hamlet andai mereka tidak kesal dan membanting mesin tiknya, mengumpulkan serpihan dan menyusunnya menjadi instalasi yang sangat Dada tetapi kalau dilihat dari kejauhan seperti sebongkah pantat babi.”
Tidak ada yang tertawa, sebab di hadapan Hans hanya ada sebuah kunci motor dan selera humor kunci motor buruk sekali: dia senang menghilang. Gurauan terburuk dalam sejarah komedi.
Anjing liar yang suka berteduh di bawah bayang-bayang angsana depan rumah Hans menggonggong. Hans kedatangan tamu. Dia bangkit dari sofa dan mengintip melalui jendela, seorang lelaki bertopi dan lehernya ditutupi serban, atau sarung, atau taplak, berwarna biru yang membuatnya nampak seperti gaucho. Kurang dari tiga puluh detik lagi dia akan mengetuk atau mengucap salam atau mengetuk sambil mengucap salam atau menyadari bahwa ia salah alamat dan pergi tanpa melakukan keduanya. Tetapi pria itu mengetuk dan mengucap salam. Tiga kali, dengan sedikit jeda. Hans melirik dispenser yang menopang galon kosong.
“Aku tahu kau di dalam,” seru pria itu. “Hans. Ayolah, jangan bercanda. Mereka menunggumu.”
Ketukan berubah menjadi gedoran saat Hans sembunyi di dapur. Ia memandangi kaleng sarden di atas meja dekat dispenser, gagang pisau yang sangat dibencinya karena sudah tidak terlalu kuat mencengkeram bilah besi dan membuatnya tidak bisa lagi mengiris bawang dengan cepat, dan kecoak yang mondar-mandir di antara kaleng sarden dan gagang pisau.
“Kuncimu menutupi lubang, Hans.”
Menyadari pria itu baru saja berusaha mengintip, Hans berlari ke kamar mandi. Menguncinya. Lalu membuka kuncinya, keluar dari kamar mandi, dan masuk kamar, dan menguncinya. Dia mengambil Encyclopedia of Wildlife and the Sea yang dibelinya seharga 15 dolar di Amazon hanya karena penguin di sampul mengingatkannya pada guru Bahasa Indonesia-nya di SMP.
“Monyet-monyet itu hampir menyelesaikan Hamlet.” Suara pria itu terdengar sangat dekat. Hans melihat jendela. Gorden hijau menampilkan bayangan seseorang yang kelihatannya tengah menempelkan kedua telapak tangannya di kaca. “Mereka tidak membanting mesin tiknya. Ah, leluconmu yang tidak lucu itu semakin tidak lucu. Kau harus melihatnya. Kita harus melihatnya.”
Bayangan pria itu meninggalkan gorden. Hans menarik napas, kemudian merebahkan diri di kasur. Dia menggesek-gesekkan betisnya di sprei, menghirup aroma pengharum yang digunakan penatu langganannya. Dulu dia hanya ke penatu untuk mencuci sprei sebab dia tidak tahu sisi terbaik untuk mulai melipat kain seluas itu dan bagaimana cara terbaik mengakhirinya. Kini dia ke penatu saat wangi kain itu sudah tak terdeteksi hidungnya.
Suara pintu terbuka. Pintu dapur. Hans bangkit dan berlari secepat yang dia bisa dan mendapati pintu dapur sudah terbuka dan pisau sudah tak ada di atas meja. Hanya kaleng sarden kosong dan kecoak yang tersisa. Antena kecoak itu bergerak-gerak, lalu, seperti seseorang yang ingat jam tangannya tertinggal di toilet umum, kecoak itu terbang ke balik dispenser.
Hans berlari lagi ke kamarnya. Dia membanting pintu tanpa menguncinya. Hans memilih bersembunyi di dalam lemari, berusaha mengalihkan ketakutannya dengan memikirkan cerita-cerita kesukaannya, dari pengarang favoritnya, dan membayangkan dirinya sebagai tokoh utama. Kadang cara ini bekerja dengan amat baik.
Seorang pria Skotlandia menjual buku yang kelak menghancurkan hidupmu.
“Hans…”
Orang-orang terdekatmu mati dalam pola-pola kabalistis.
“Kapan kau akan mengganti pisau sialan ini?”
Kau berdiri di tengah kota kosong yang sekaligus bangkai harimau, dan sebuah perusahaan raksasa, yang tak pernah ada, mengintai setiap gerak-gerikmu.
“Mati ditusuk pisau seperti ini tidak keren, Hans. Keluar sajalah, kita bicara.”
Kondektur di kereta yang kau tumpangi sangat tidak tahu adat, dan dia mantan raja Babilon.
“Kalau kutambahkan ‘baik-baik’ setelah kata ‘bicara’, apakah kau mau keluar?”
Seorang wanita berambut merah yang kau jumpai berkata bahwa kau bangkai yang berjalan.
“Hans, aku tidur di atas kasurmu.”
Di sekelilingmu berdiri rak-rak buku, kau berada di perpustakaan yang barangkali tak pernah ada dan kau mengalami hal-hal buruk di sana.
“Aku mungkin akan memberakinya, Hans.”
Kau tak yakin apakah kau yang menulis cerita atau cerita yang menulismu.
“Kalau kau tidak keluar juga aku akan benar-benar berak di atas spreimu.”
Kau berdiri di sebuah ruangan di mana titik tengah ruang itu berada di semua tempat dan kau tak berhasil menemukan tepinya dan kau bergidik memikirkannya.
“Kuhitung sampai tak terhingga.”
Kau mungkin manusia, tetapi mungkin juga gagasan eksperimen matematika.
“Satu… dua…”
Hans membuka pintu lemari. Tak ada orang di kamar. Tangannya gemetar. Pisaunya bergoyang-goyang.