Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mengenang Danarto: Hidup Adalah Sebuah Ketika

Saleh Abdullah oleh Saleh Abdullah
11 April 2018
A A
Lelayu-Danarto-MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Seniman serbabisa Danarto meninggal dunia kemarin, 10 April 2018.

Dalam Temu Sastra ‘82 di Taman Ismail Marzuki, Mas Danarto menulis sebuah makalah yang saya suka. Ketika itu saya masih bekerja sebagai wartawan lepas di majalah Panji Masyarakat. Penggalan kalimat yang saya kutip dari makalahnya di laporan saya kurang lebih begini: “Hidup adalah ketika kita berada antara bangun dan tidur. Antara kenyang dan lapar. Antara mandi dan tak mandi. Separuh badan kita kering, separuhnya basah. Hidup adalah ketika kita….”

Tidak lama setelah buku Orang Jawa Naik Haji karangannya kondang, bersama teman-teman mahasiswa saya berniat mengundang beliau untuk sebuah diskusi. Saya menemuinya di pelataran kampus Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang IKJ) di Cikini. Wajahnya teduh dengan kumis tebal, selalu tersenyum. Ia memegang buku kumpulan cerpennya yang baru terbit, Adam Ma’rifat, yang memenangkan hadiah sastra Dewan Kesenian Jakarta 1982. Ia menyodorkan buku itu ke saya.

“Buat saya, Mas?”

“Silakan, kalau tertarik.”

“Minta tanda tangannya dong, Mas.”

Barang tentu saya gembira sambil bergetar menerima buku yang dibubuhi tanda tangannya itu. Usai salat Asar, kami duduk di beranda masjid di kampus tersebut. Dengan rasa senang yang masih membuncah, saya coba membuka-buka buku pemberian tersebut. Kalau masa kini, kumpulan cerpen itu mungkin bisa diklaim Denny JA sebagai “puisi prosa visual” (halah) karena sebagian cerpennya ditulis dalam layout seperti puisi dan narasinya yang betul-betul tidak umum bagi sebuah cerpen. Sebuah cerpennya, kalau tak salah berjudul “Tanah”, sejak kata pertama sampai kata terakhir dalam beberapa halaman, hanya berisi, “tanah, tanah, tanah, tanah, tanah, tanah, tanah….”

Lalu ada beberapa gambar ilustrasi abstrak di beberapa halaman yang ia buat sendiri. Selain menulis cerpen dan puisi, Danarto juga melukis. Ia bahkan pendiri Sanggar Bambu Jakarta, sanggarnya para pelukis. Gambar-gambar ilustrasi di buku itu tak mudah dipahami. Bentuk dan komposisinya abstrak.

“Kalau boleh tahu, ini lukisan tentang apa, Mas?”

“Itu suara azan yang saya coba lukis, Dik” katanya sambil mengenakan sepatu.

Suara azan? Duh, untung buku itu terbit jaman Orba. Gimana coba kalau terbitnya kemarin-kemarin ini? Gimana…? Sebagai mahasiswa yang baru belajar filsafat dan tasawuf, saya memberanikan diri bertanya, “Kok bisa memvisualkan suara azan, Mas? Gimana metodenya?”

“Kita ngopi di warung itu, yuk? Tempe dan pisang gorengnya enak. Kamu mahasiswa pasti nggak banyak uang. Saya baru gajian. Ayo, saya traktir.”

Sudah dihadiahi buku terbaik dengan tanda tangan seniman besar, bersedia datang ke diskusi mahasiswa yang cuma bakalan dikasih plakat dan jelas tanpa honor, lalu ditraktir ngopi, berkah Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

“Jadi, Dik,” ia akhirnya menjelaskan, “ini pengalaman spiritual ya. Penghayatan dan pengalaman spiritual masing-masing orang jelas beda-beda, ya. Nah, waktu saya di Sanggar Bambu di Jakarta, satu kali saya salat Subuh. Ketika saya takbir dan mulai membaca Al-Fatihah, tiba-tiba saya merasa kalam ilahi yang saya lafalkan itu bergema ke seluruh jagat raya ini. Gemanya bergelombang dan saya bisa merasakan melihat gelombang-gelombang itu. Bergulung-gulung seperti ombak yang besar, tapi lembut. Seperti gelombang awan yang bergulung-gulung. Gambaran visual itu masih saya ingat. Nah, visualisasi suara azan itu dari sana.”

Iklan

Apa lagi yang bisa saya lakukan selain takjub dan melongo mendengar cerita Mas Danarto. Saya merasa harus melipat semangat rasionalisme saya ke dalam tempe kemul di tangan saya. Mengunyah dan lalu mendorongnya dengan tenggakan kopi.

Pada diskusi yang kami selenggarakan, Mas Danarto banyak bercerita tentang pengalamannya naik haji yang kemudian dibukukan itu. Hanya saja, sebagian cerita yang ia sampaikan tidak terdapat di dalam buku Orang Jawa Naik Haji.

“Jemaah haji dari Iran, yang laki-laki gagah dan ganteng, yang perempuan, masyaallah, cantik-cantiknya. Itu puncak ciptaan Allah semua.”

Mas Danarto tak lupa bercerita tentang pengalaman-pengalaman spiritualnya, tentu saja. Ketika itulah beliau juga bercerita tentang gagalnya operasi militer Amerika di masa Carter, Operation Eagle Claw, April 1980. Dalam operasi itu, helikopter-helikopter AS diserang badai dan menabrak pesawat tanker Hercules AS yang menewaskan beberapa tentara AS. Mas Danarto percaya, kegagalan rencana serangan militer AS itu karena kekuatan spiritual para mullah Iran lewat doa-doa mereka.

“Bagaimana bisa serangan senjata militer melawan kekuatan dahsyat Tuhan yang disampaikan lewat doa para mullah?”

Sebagai seorang seniman besar, tentu saja Mas Danarto bercerita dengan begitu memukau. Intonasi disertai mimik yang teaterikal dalam balutan yang mistis.

Menjelang pengujung diskusi, Mas Danarto berbisik ke saya: “Dari kumpulan cerpen yang saya berikan kemarin, cerpen mana yang kamu suka?” Saya menyebut “Tanah”. Batin saya, saya suka karena bentuknya unik dan saya tak paham.

Sungguh baik hati Mas Danarto. Seniman besar yang sederhana dan seperti selalu bisa meraba apa yang ada di pikiran dan rasa orang lain. Ia berdiri dan membacakan cerpen “Tanah” itu. “Tanah, tanah, tanah, tanah, tanah….” Ia membaca dalam irama yang kadang ngejaz, kadang nge-blues. Kumpulan kata tanah itu lalu seperti lenyap, menyatu dengan irama suaranya dalam alunan jaz dan blues, tanpa musik, kadang disertai gerak tubuhnya yang ritmis. Usai membaca, ia berkata: “Kita hidup dalam begitu banyak ketika, menuju tanah.”

Sore kemarin berita duka itu masuk bertubi-tubi di pesan WA dan FB saya: Mas Danarto ditabrak motor di sekitar kampus UIN Ciputat, tidak jauh dari tempat kami berdiskusi dulu. Dalam keadaan koma, beliau dibawa ke rumah sakit hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Mas Danarto, seperti sampean bilang, hidup adalah ketika kita bangun dan tidur. Ketika kita lapar dan kenyang. Ketika kita basah dan kering. Hidup adalah sebuah ketika, menuju tanah, tanah, tanah…. Sugeng tindak, Mas. Terima kasih atas semua kebaikan dan pengetahuan. Sampean akan terbang dalam gulungan gelombang takbir tak bertepi, menuju ketika yang abadi.

Terakhir diperbarui pada 11 April 2018 oleh

Tags: adam marifatceritaDanartokaryaObituariorang jawa naik hajipengalamansastrawan
Saleh Abdullah

Saleh Abdullah

Artikel Terkait

Diskusi "Nasib Sastrawan" di Festival Sastra Yogyakarta 2025 MOJOK.CO
Kilas

Nasib Jadi Sastrawan: Dibayangi Kemiskinan dan Ketimpangan, Perlu Komitmen untuk Mensejahterakan

5 Agustus 2025
Rasanya 30 Tahun Tinggal di Jogja | Semenjana Eps. 7
Video

Rasanya 30 Tahun Tinggal di Jogja | Semenjana Eps. 7

10 Maret 2025
Seperempat Abad Puthut EA Berkarya, Percaya Jadi Penulis Hidupnya Bisa Sejahtera
Video

Seperempat Abad Puthut EA Berkarya, Percaya Jadi Penulis Hidupnya Bisa Sejahtera

4 Oktober 2024
Kantin FBSB UNY, Saksi Perubahan Gaya Hidup Mahasiswa: Dulu Mirip Suzuran, Kini Isinya Mahasiswa Sopan
Kampus

Kantin FBSB UNY, Saksi Perubahan Gaya Hidup Mahasiswa: Dulu Mirip Suzuran, Kini Isinya Mahasiswa Sopan

5 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.