Kalau terserang diare, saya lebih suka minum puyer Tay Pin San yang telah terbukti ces pleng dari pada obat lain. Tak hanya meredakan diare, tapi puyer bergambar kupu-kupu yang tak bisa terbang ke mana-mana itu juga membuat badan saya hangat tanpa perlu dipeluk siapa pun.
Kalau bibir kering dan pecah-pecah, saya lebih cocok minum jamu sariawan cap Naga Merah ramuan pusaka Ny. Lim Siong Tjeng dari Cirebon. Kalau jamu itu sudah saya glegek, bibir kering saya niscaya kembali basah (ya iyalah, wong minumnya pakai air, bukan pakai pasir). Meskipun setelah minum jamu itu bibir masih pecah-pecah, setidaknya, saya sudah sanggup untuk mengecup apa pun, asal jangan bibirnya Agus Mulyadi.
Saya tak sedang mempromosikan merek-merek itu, hanya sekadar mengingat-ingat jasa beberapa orang Tionghoa di negeri ini kepada saya.
Dan kini teringatlah saya akan peran penting sejumlah toko Cina.
Di daerah saya, dan mungkin juga di beberapa daerah lain di Indonesia, orang-orang Cina yang membuka toko dapat dibagi dalam dua jenis.
Pertama, mereka yang berjualan barang-barang dengan kategori khusus. Dari jenis ini muncul toko pertanian, bangunan, olahraga, emas, mainan, perlengkapan kantor dan sekolah, tembakau, sepeda, obat kuat, dan lain-lain. Dari barang-barang yang dijualnya, warga sekitar bisa bercocok tanam dan menyemprot hama, membangun rumah, bermain sepak bola atau bulu tangkis, menghiasi badan dengan emas, menggembirakan anak-anak dengan mainan made in China, menunaikan tugas kantor atau sekolah, ngelinting sebelum menghisap tembakau, bisa naik sepeda sebelum naik motor, dan terselamatkan dari persoalan ranjang.
Kedua, mereka yang berjualan untuk kulakan warung-warung di sekitarnya dengan tetap melayani pembeli eceran. Toko dari jenis ini berjualan sembako, kebutuhan harian, rokok, obat, jamu, snack, dan lain sebagainya. Jasa besar mereka adalah menggeliatkan ekonomi para warga sekitar yang membuka warung di rumahnya, termasuk warung orangtua saya. Ketika toko jenis ini mulai berkurang, maka warung-warung juga semakin berkurang. (Tentu, kita sudah tahu salah satu sebabnya adalah menjamurnya Indoapril dan Alfamei yang hampir ada di setiap tepi jalan beraspal).
Dibandingkan dengan yang pertama, toko jenis kedua ini memberikan kesempatan interaksi yang lebih banyak dan akrab antara penjual dan pembeli. Ada dua atau tiga pembantu dalam toko ini, tetapi pemilik selalu hadir di toko dengan fungsi utama sebagai kasir, tapi tak segan pula mengambil barang-barang yang disebutkan pembeli. Tak jarang mereka juga bercengkarama dan sesekali melempar guyonan. Bandingkan dengan pemilik Indoapril dan Alfamei yang tak pernah hadir, tapi malah mengubah tetangga kita, yang bekerja sebagai pelayan, menjadi mesin berbahasa Indonesia yang akan berbunyi setiap pintu terbuka: “Selamat Datang di Indoapril…” dengan nada yang itu-itu aja.
Khusus dalam hidup saya, ada dua toko yang hingga kini masih melekat dalam ingatan, yaitu toko milik Han Su dan Cheng Qi. (Saya tidak tahu penulisan namanya benar atau tidak, saya hanya menulis berdasarkan pendengaran ketika orang-orang melafalkan nama mereka). Selain karena tragedi 1998 yang berakibat pada tutupnya kedua toko itu, saya tak lagi bertemu mereka sejak merantau ke Yogyakarta selepas lulus sekolah dasar.
Di toko Han Su saya suka membaca sampul-sampul buku yang dipajang di lemari etalasenya, dengan gambar para pendekar yang menjadi tokoh utamanya, seperti serial Wiro Sableng, Joko Sableng, Golok Pembunuh Naga, Pangeran Menjangan, Pendekar Pemanah Rajawali, dan lain-lain.
Setertarik apa pun saya, pada akhirnya saya tak dibelikan buku-buku itu sebab Bapak hanya membelikan buku-buku yang diterbitkan Sarana Panca Karya, penerbit buku-buku pelajaran sekolah. Saya cuma bisa melampiaskan hasrat membaca sekali sepekan dengan menengok judul baru apa yang muncul di serial-serial silat yang dipajang di toko itu. Tentu, tidak setiap pekan ada buku yang baru, tapi pergantian buku yang dipajang sudah cukup mengobati. Saya sudah dapat berimajinasi kira-kira cerita dari judul di sampul itu akan berjalan seperti apa.
Dulu, toko Han Su memiliki peran yang sangat penting untuk anak-anak sekolah di kampung saya, sebab di sekitar Losari bagian Cirebon—tempat kami tinggal—tidak ada toko seperti Han Su yang menjual perlengkapan pendukung pembelajaran dan prakarya, seperti kertas asturo, kapur, penghapus, cat air, besi berani, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Kalau tak ada toko itu bisa jadi saya tidak lulus Sekolah Dasar. Dan yang lebih penting lagi bagi saya, kebiasaan membaca saya dipupuk melalui toko itu.
Kalau di toko Han Su, saya sering datang sendiri atau bersama kawan-kawan, maka di toko Cheng Qi saya sering datang bersama Bapak. Saya sudah rajin mampir ke toko Cheng Qi sejak saya masih kecil dan bisa ditaruh di stang sepeda. Bapak adalah pelanggan tetap Cheng Qi yang setiap pagi berbelanja barang-barang yang akan dijual di warung kecil kami. Saya masih ingat Cheng Qi sesekali melafalkan bismillah—bahkan hafal al-fatihah, tentu berkat jasa speaker masjid di desanya—sebelum menghitung belanjaan Bapak.
Pada awal belajar mengaji dan menghafal al-fatihah, namanya akan muncul dari mulut Bapak: “Masak kalah sama Cheng Qi…” Saat itu saya pikir wajar karena Cheng Qi orang dewasa. Saya sama sekali belum mengerti Cheng Qi itu keturunan Tionghoa apalagi Buddha. Di mataku waktu itusemua manusia sama: orang Jawa yang muslim. Betapa naifnya saya waktu kecil.
Dari Cheng Qi saya mengenal kue keranjang karena setiap bada Cina—demikian Emak menyebut hari yang kini disebut sebagai imlek—kami pasti mendapatkan dua kue keranjang yang dibungkus kertas koran kuning berhuruf hanzi. Dan tentu ini dilakukan dengan diam-diam, dan kami pun memakannya dengan diam-diam. Jangan bayangkan imlek masa itu semeriah sekarang, waktu itu masih terlarang sehingga butuh keberanian untuk sekadar membagi kebahagiaan.
Apa yang kemudian kami sesali adalah kami tak sekalipun membalas pemberian itu saat lebaran datang. Alih-alih memberi ketupat beserta opor, kami malah kadang menggedor pintu toko Cheng Qi yang sudah tutup untuk berbelanja demi berjualan di hari-hari lebaran. Bahkan, ketika kerusuhan terjadi kami tak bisa apa-apa selain membantu menjualkan 3 drum minyak goreng yang dititipkan di warung kami pasca-kerusuhan.
Perasaan bersalah kami semakin dalam ketika Mei Hwa, istri Cheng Qi datang di acara pernikahan kakak saya pada tahun 2006. Andai Cheng Qi waktu itu belum mendiang, pastilah beliau juga akan datang, dan semakin menambah dalam perasaan bersalah kami.
Kini, kalimat “Gong Xi Fat Chai” bertebaran di mana-mana setiap imlek datang. Pertanyaannya, jika Anda turut mengucapkannya, kalimat itu ditujukan kepada siapa? Sekadar membebek? Kalau boleh saya menyarankan, bila di sekitar Anda masih ada toko-toko Cina, datangilah, salami pemiliknya, dan ucapkan kalimat itu, siapa tahu Anda dapat ang pao.