MOJOK.CO – Meskipun hype-nya tidak sebesar dulu, thai tea masih digandrungi. Berapa sih omzet jualan thai tea tu? Kok gerainya berserakan di mana-mana gitu?
Buat orang yang butuh minuman segar tapi nggak kuat menenggak kopi, thai tea alternatif yang oke banget. Dari Dhika, teman saya yang buka warung thai tea di daerah Klebengan, Jogja, saya dapat banyak informasi soal lika-liku bisnis minuman ini.
Ternyata berjualan Thai tea menganut prinsip yang sering dipakai saat Ujian Nasional, posisi tu menentukan prestasi. Karena dia berjualan di Klebengan yang dekat dengan dua universitas, yaitu UGM dan UNY, omzet dia selalu tinggi. Jadi sebelum berjualan, dia menekankan kalau niatnya jualan di daerah yang sepi mahasiswa atau anak muda, mending nabung dulu buat ruko.
Untuk modal, di luar ruko, 5 juta sudah bisa jadi modal. Tapi kata Dhika, dia menyarankan angka 12 sebagai modal pertama. Dia bilang 12 juta itu sudah bisa membuat gerai lengkap dengan booth, meja-kursi, serta stok beberapa hari ke depan. Tapi itu di luar ruko. Kalau mau sama ruko, totalnya sampai 30 juta.
Sebelum buka gerai sendiri, Dhika gabung ke franchise usaha thai tea. Dhika mengambil keputusan itu karena dia belum tahu seluk-beluk dunia bisnis. Setelah enam bulan dia langsung ambil keputusan untuk berdiri sendiri.
Setelah kedainya berdiri, Dhika harus putar otak biar orang kenal dengan kedai thai tea-nya. Berhubung dia punya usaha jualan alat musik, dia sering mengajak pembeli alat musiknya ketemuan di kedai. Akhirnya kedai thai tea Dhika sering dipakai nongkrong para musisi. Untungnya, kedai sudah ia set agar nyaman sebagai tempat nongkrong, dan itu mendongkrak omzet.
Langkah lain yang dia lakukan ialah dengan mendiskon pembeli yang membawa tumbler sendiri. Ngakunya Dhika sih, omzet naik banyak semenjak kebijakan itu diberlakukan. Plusnya lagi, ia bisa mengurangi penggunaan cup plastik secara signifikan.
Tapi kunci utama bisnis yang stabil adalah manajemen. Dhika tidak bisa berbicara banyak tentang manajemen, tapi dia memberi sedikit contoh tentang bagaimana mengatur stok dan menganalisis menu yang kurang laku. Dia juga tidak segan mengurangi menu atau menggantinya dengan yang lebih diterima konsumen. Mirip yang Gordon Ramsay lakukan di Kitchen Nightmares sih. Biasanya Gordon memangkas menu agar dapur tidak kerepotan dan stoknya bisa diatur.
Menurut saya sih omzet jualan thai tea-nya Dhika lumayan. Dia belum pernah merugi tuh. Untung bersih selalu di atas 3 juta. Artinya, usahanya sudah mampu menutup biaya listrik, gaji karyawan, dan bahan.
Tapi yang namanya jualan, cuma dagang Indomie yang kayaknya nggak kenal masa sepi. Dalam kasus Dhika, masa liburan mahasiswa adalah periode penjualan turun. Tapi ketika masa perkuliahan dimulai lagi, dia bisa meraup untung banyak. “Ra nganggo leren, Kak. Nganti lali rasane yang-yangan aku,” dia menggambarkan betapa ramai kedainya sambil sambat dikit.
Ketika ditanya tentang apa yang perlu dilakukan agar kedai tetap bisa bertahan, dia menekankan masalah manajemen. Kalau dikelola dengan baik dan tekun, kerugian bisa dihindari. Dia sendiri berkata usahanya bakal tutup kalau manajemennya buruk. Katakanlah usahanya akhirnya sepi, dia tinggal beralih ke usaha yang lain karena sudah paham bagaimana manajemen bisnis yang baik.
Sekian informasi tentang seluk beluk berdagang thai tea. Duh, jadi haus nih.
BACA JUGA Menangis Sambil Ngecek KK karena Becandaan Jahat ‘Kamu Anak Tetangga’ dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.