MOJOK.CO – Tidak bisa tidak, ada beberapa orang yang harus menghadapi kematian di depan mata agar jutaan manusia lain selamat. Tenaga medis kali ini adalah harapan manusia dalam menghadapi corona virus.
Buzzer mengorek seperti kodok sehabis hujan, mentertawakan penderitaan rakyat. Langkah pemerintah yang telat dan juga gagap dalam menangani virus corona dipuji oleh mereka. Melihat mulut buzzer yang terus mengutarakan puja-puji palsu seperti menetesi luka menganga kita dengan jeruk nipis.
Tapi lebih baik kita abaikan saja orang-orang yang peduli dengan pemerintah karena rekening mereka selalu terisi seiring dengan pujian yang dilontarkan. Mari kita menengadahkan tangan kita ke atas, buat bola semangat sebesar mungkin untuk para tenaga medis yang bekerja di garda depan peperangan.
Ketika kabar virus corona menyebar di bulan Januari-Februari, saya bisa dibilang biasa saja mendengarnya. Mungkin karena saya tidak terlalu optimis dengan hidup yang membuat saya tidak punya kepanikan yang sama. Tapi menginjak Maret, saya harus menahan diri untuk tidak khawatir dan menangis terlalu sering ketika mendengar kabar bahwa ada orang terjangkit virus corona di kampung halaman saya.
Saya makin takut ketika mendengar bahwa kakak saya, yang bekerja sebagai perawat, menjadi salah satu orang yang menangani pasien yang diduga terjangkit corona. Meski kakak saya bekerja sebagai perawat sudah belasan tahun, bagi saya ini bukanlah jaminan bahwa kakak saya akan aman.
Tiba-tiba saja saya ada di dalam kerumunan yang panik tersebut. Dan saya jadi mengerti kenapa orang panik dan kenapa orang-orang benci dengan guyonan receh tentang virus corona. Sederhana saja, karena memang mereka tidak ada di sepatu yang sama.
Begini. Jika pemain sepak bola merasakan sakit pada engkelnya dan meminta diganti, besar kemungkinan penonton akan bilang manja banget jatuh sekali aja diganti. Padahal bagi pemain sepak bola tersebut, engkel yang nyeri bisa berarti akhir bagi karier mereka. Itulah kenapa tiba-tiba kadar ketakutan saya naik drastis, karena anggota keluarga saya ada di barisan depan peperangan.
Ketakutan yang saya rasakan terasa nyata karena ketika ada himbauan tentang social distancing, kakak saya justru harus menghadapinya secara langsung. Tidak bisa tidak, ada beberapa orang yang harus menghadapi kematian di depan mata agar jutaan manusia lain selamat. Tenaga medis kali ini adalah harapan manusia dalam menghadapi corona virus. Bukan tentara, bukan pemerintah, bukan senjata, apalagi buzzer, tapi tenaga medis lah yang bisa menyelamatkan kita.
Tapi ketakutan tidak akan mengubah apapun. Kakak saya tetap harus mengenakan baju berlapis, menangani orang yang terkena virus tersebut, dan akan seperti itu lagi hingga badai ini benar-benar reda. Kita hanya bisa berharap bahwa semua selamat tanpa kekurangan apa pun, dan doa ini harus terus didengungkan bersama-sama.
Badai ini akan terus menyerang kita tanpa terlihat. Kita mungkin akan tetap menjadikan corona virus sebagai lelucon. Tapi kita memang tidak akan bisa mengerti jika tidak dalam sepatu yang sama dan hati yang sama. Untuk sekrang, kita gunakan nurani kita dan berdoa yang terbaik untuk cahaya yang menerangi kegelapan.
Cahaya ini akan datang setiap hari, melakukan hal yang sama, dan akan redup jika sesuatu menimpa mereka. Orang-orang di balik cahaya ini dibungkam rasa takut yang mencekik, tapi paham bahwa ini adalah sesuatu yang harus dilakukan untuk umat manusia. Cahaya ini, adalah tenaga medis dengan pakaian berlapis yang berusaha menyelamatkan orang-orang dari wabah yang menyerang.
“The night is darkest just before the dawn. And I promise you, the dawn is coming.”
BACA JUGA Perkara-perkara yang Membuat Kita Susah BAB dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.