MOJOK.CO – Setelah booming Mio, motor matik menjadi pilihan utama dalam membeli motor. Motor manual pun mulai kurang dilirik, meski sensasinya kadang bikin rindu.
Saya yakin di masa kini banyak orang tidak bisa naik motor manual (motor yang pakai gigi buat transmisinya) karena belajar motor pertama kali langsung pake motor matik. Nggak salah sih, lagian nggak ada undang-undang mengatur itu. Lagian secara fungsi, memang motor matik lebih enak dan mudah.
Booming Yamaha Mio di tahun 2004-2005-an membuat orang pelan-pelan beralih dari motor manual ke motor matik. Motor matik menawarkan kemudahan yang motor bebek dan sport susah berikan. Dulu, kampanye jualan motor matik awalnya menyasar ibu-ibu dan cewek, tapi malah akhirnya digandrungi cowok juga. Sekarang motor matik tidak mengenal gender, hingga awal desain yang ringkas jadi makin sporty di masa kini.
Tapi bisa nggak sih sensasi motor bertransmisi manual itu digantikan motor matik? Bisa iya, bisa nggak. Kalau cuma masalah ergonomi, kayaknya sih sama aja. Tapi sebenarnya, motor bertransmisi itu butuh keahlian berkendara yang lebih dibanding motor matik.
Katakanlah ketika belok, motor matik ya tinggal kurangi gas aja. Kalau motor manual, kita harus pinter ngatur gas dan ngatur perpindahan gigi. Ketika lampu merah berganti jadi hijau, kita juga harus mindah gigi secara tepat dan nggak asal ngatur gas biar akselerasinya terlalu menyentak. Sensasi ketika kita bisa pindah gigi secara halus itu yang nggak akan bisa digantikan oleh matik.
Bisa dibilang kita mulai mahir berkendara kalau pindah giginya halus dan nggak bersuara “ceklek-ceklek” pas menginjak persneling.
Sebelum menggunakan matik, saya memakai motor sport yang tuas persnelingnya hanya turun dan naik, bukan maju mundur seperti motor bebek. Mengatur perpindahan gigi di motor sport lebih rumit karena harus mengatur kopling juga, bisa dibilang pegang motor sport nggak bisa berhenti mikir.
Motor matik punya kekurangan di jalan tanjakan dibanding motor manual. Dengan timing yang pas, tanjakan ekstrem pun bisa dilibas dengan mengatur gas juga perpindahan persneling. Kalau matik, harus bisa menjaga kecepatan secara konstan, kalau narik gasnya telat ujungnya ya nggak kuat.
Tiga tahun menggunakan matik, saya terkadang rindu sensasi naik motor non-matik. Ketika perjalanan jauh, terkadang terasa banget kalau naik motor matik itu lempeng-lempeng saja, sedangkan ketika naik motor bertransmisi bisa main gas dan pindah gigi pas nyalip. Bagi saya pribadi lho ini, lebih aman nyalip pake motor manual daripada motor matik karena kadang tenaganya gembos di tengah-tengah proses nyalip.
Ketika servis, itulah titik kerinduan sedang di puncaknya. Ya gimana lagi, motor matik itu punya transmisi yang rumit dan mesin yang tertutup, biaya perawatannya lebih tinggi dibanding motor manual. Selain mesin, shockbreaker motor matik juga lebih rentan ambles. Emang lebih praktis matik, tapi jebul kering juga dompet kita kalau servis.
Tapi mau motor matik atau manual, sama aja sih, masing-masing ada keunggulannya. Cuma ada sensasi yang tidak bisa digantikan oleh motor matik, dan jadi keunggulan sendiri. Mau pake motor matik apa manual, yang penting tetep safety riding ya, Lur!
BACA JUGA Kredit Motor itu Nggak Dosa, kok Dinyinyirin sih? Dan juga artikel menarik lainnya di OTOMOJOK.