MOJOK.CO – Mobil Ayla milik kami ini dibeli dengan kredit murah, mudah perawatannya, dan tangguh dibawa ke mana-mana. Sungguh keberadaannya menjadi berkah.
Belum genap setahun saya dirayu dan ditodong istri untuk memutuskan beli mobil. Awalnya, berdasarkan kesepatan yang setengah bulat, kami hendak membeli mobil second hand saja. Tak lain dan tak bukan, karena kami sangat paham hikmat kebijaksanaan para penasehat ekonomi rumah tangga: sesuaikan pengeluaran dengan keadaan kantong.
Demikianlah, bertolak dari keinginan beli mobil, maka kami pun mulai bergerilya nyari mobil. Dalam proses nyari mobil ini, istri saya sempat kesengsem sama Honda Civic keluaran tahun 1993, warna merah maroon.
Si bapak penjual mobil—yang nggak punya dealer ini—rupanya memang ahli dalam jual-beli mobil. Dia melayani beli dengan sistem cash dan kredit. Karna duit cash kami limited edition maka kami minta dihitungkan kreditan bulanan dari mobil merah merona itu. Hitung punya hitung, amboi… kreditannya nyampe 3 jetian juga. Tentu saja nemu angka segitu bikin saya planga-plongo dalam hati. Loh, kok rasanya sama kayak nilai kreditan mobil baru. Kalau gitu, ngapain beli mobil bekas, mending sekalian beli mobil baru saja. Ya nggak, sih?
Akhirnya kami memutuskan bersegera mendatangi dealer-dealer mobil saja. Membanding-bandingkan harga dan kesanggupan perekonomian keluarga. Tidak semua dealer sempat kami datangi. Hanya Toyota dan Daihatsu saja. Dealer Honda saat itu sedang ada acara entah apa, kami segan untuk mengganggu. Sementara dealer Suzuki keburu tutup karena kami datang terlalu sore.
Saya membandingkan antara harga Agya dan Ayla. Ternyata cukup berbeda. Lantas, apa yang membedakan antara Agya dan Ayla?
Pertama, harga kreditannya. Harga kreditan Agya bagi saya lebih mahal, berbeda dengan Ayla yang harga kreditannya lebih masuk akal—untuk kantong saya. Tapi, mungkin ini rada subyektif juga, sih. Pasalnya sales marketing Daihatsu Ayla, sangat gigih dalam mencarikan lembaga perkreditan yang kantong-able dengan dompet kami.
Kegigihan sales marketing ini patut dicontoh bagi sales-sales yang lain. Begini loh, setidaknya kalau nawarin ke costumer itu sekalian nyariin lembaga kreditan dari yang paling atas sampai bawah. Dari kanan sampai kiri. Dari kelas bintang lima sampai kelas kambing. Tapi tentu tetap legal. Soalnya kalau banyak pilihan, costumer mikirnya juga enak. Kadang-kadang costumer kan malu-malu kucing untuk bilang milih kreditan yang harganya murah.
Kedua, Agya dipasarkan Toyota, sementara Ayla dipasarkan Daihatsu. Tapi, keduanya didesain dan dibikin oleh Astra Daihatsu Motor di Indonesia. Varian mereka tak terlalu banyak. Ya, dekat-dekat lah seperti perbedaan Xenia dengan Avanza. Bisa dibilang beda nama, tapi dalemannya sama.
Adapun kesamaan antara Agya dan Ayla, mereka sama-sama diambil dari bahasa Sansekerta. Bila Agya diartikan “cepat”, Ayla punya makna “cahaya”. Kata orang, seperti halnya milih pasangan, milih mobil juga sama seperti jodoh-jodohan. Rupanya jodoh keluarga kami yang imut-imut ya mobil Daihatsu Ayla, bukan yang lain. Proses kami mendapatkan mobil Ayla, relatif cepat. Sepertinya ada keterlibatan hal supranatural juga dalam transaksi ini.
Saat itu, istri saya bernazar, bila mobilnya datang sebelum acara Haul Guru Sekumpul (Tuan Guru H. Zaini Bin Abdul Ghani) di Martapura, maka kami sekeluarga akan berangkat ke acara itu.
Ternyata, mobil itu memang datang—dengan harga kreditan yang juga dompet-able. Kami pun berangkat ke Martapura dengan menaiki Ayla demi meraih ayla. Menaiki cahaya demi menggapai cahaya. Sungguh saya berharap keberadaan mobil ini memang menjadi berkah.
Sebagai mobil kota dengan kategori LCGC (Low Cost Green Car), Ayla cukup tangguh. Apa bukti ketangguhannya? Begini, di daerah Kalimantan Selatan-Timur, ada daerah yang terkenal cukup angker yakni Gunung Katibam, Gunung Rambutan dan Gunung Batu Babi. Gunung-gunung yang mengarah ke Kaltim ini, sudah sering mempertunjukkan kegagahannya. Tidak sedikit mobil-mobil—utamanya truk—yang terjungkir karena gagal menaklukkan ketinggian konturnya.
Sementara Ayla, mobil kami yang bercahaya ini, sanggup menaklukkan gunung-gunung tersebut. Sebetulnya kiatnya sederhana, yang terpenting jangan sampai telat untuk menurunkan perseneling saat di tanjakan. Oleh karena itu, bagi yang baru bisa membawa mobil, jangan coba-coba dan nekat masuk jalur Kaltim—yang terkenal jalur maut ini. Kesalahan sedikit, telat menurunkan perseneling, mesin mobil bisa mati. Syukur kalau begitu hidup langsung bisa melaju. Tapi, kalau supirnya sudah panik, bisa-bisa mobilnya meluncur mundur dan masuk jurang.
Fitur perseneling di panel mobil Ayla ada tampilan huruf “E” atau eco. Fungsi fitur ini menunjuk pada keekonomisan pemakaian minyak saat berkendara. Artinya, bila fitur ini tidak hidup saat berkendara, berarti pemakaian minyak agak boros. Tapi, kalau sampeyan merasa terganggu harus bolak-balik memperhatikan fitur ekonomis ini, ya, matikan saja di pengaturannya.
Bagi saya, Ayla terbilang ekonomis dari segi pemakaian fuel. Cukup modal Rp150 ribuan saja, sudah bisa digunakan untuk bolak-balik dari Tabalong ke Banjarmasin yang jaraknya 225 km. Pasalnya, bawaan tipe engine mobil saya ini cuma 1.0 L 1KR-DE tiga silinder saja. Ya, volume tangki Ayla memang kecil, hanya 33 liter.
Ban mobil Ayla yang saya punya juga terbilang imut. Bahkan teman saya pernah menyarankan untuk ganti saja. Kekurangan ban mobil Ayla tipe M yang saya punya ini, terlalu banyak lubang di bagian permukaan roda bannya. Jadi, jalan sebentar saja, sudah ada kerikil-kerikil nan berjejalan di lubang-lubangnya.
Saya sendiri baru tahu beberapa bulan setelah punya mobil bahwa kerikil-kerikil nakal itu harus rajin dibuang dan dibersihkan, sebab bisa mengganggu tekanan ban dan pada gilirannya bisa bikin ban bocor. Cara membersihkannya gampang. Nggak perlu ke bengkel. Sediakan aja obeng (-) kecil dan waktu untuk mencongkelnya.
Sementara untuk perawatan mobil secara keseluruhan, juga cukup mudah. Yang penting, tiap mau menyalakan jangan lupa untuk cek level oli, cek level air aki, cek air radiator, cek air wiper, cek oli rem, kekencangan v-belt, dan tekanan ban. Mengerjakan hal-hal semacam ini rasanya tak perlu jadi mekanik profesional. Tak perlu juga mengalokasikan dana untuk ke bengkel. Kuncinya cukup sederhana: asalkan mau dan tak memelihara rasa malas saja.