MOJOK.CO – Sebagai mahasiswa rantau, pemilu kali ini cukup bikin galau. Lantaran, susah memutuskan lebih baik pulang dan datang ke TPS atau golput aja?
Demi menyongsong masa depan yang cerah, anak-anak desa seperti saya kudu rela menukarkan hari-hari bersama keluarga dengan mencari ilmu di perguruan tinggi. Berharap setelah lulus nanti bisa jadi abdi negara atau kebanggaan keluarga, bangsa, dan agama. Eh kelupaan, juga kebanggaan yayank maupun mertua.
Naas, perguruan tinggi yang top markotop itu pasti letaknya di kota-kota besar kayak Semarang, Jakarta, Bandung, Jogja, atau Surabaya. Ndak ada tuh yang kampusnya di tengah-tengah hamparan sawah atau di hutan belantara. Sayangnya, kota-kota besar tersebut kok, ya, jauh dari kampung halaman saya.
Kesibukan kami sebagai mahasiswa rantau, membuat kami tak memiliki banyak waktu. Pulang ke rumah tiap hari untuk bertemu orang tua terkasih atau mamam masakan emak, hanya khayalan semata. Kadang-kadang kondisi memaksa kami untuk pulang hanya saat liburan semester datang.
Saya sendiri kuliah di Semarang dengan perjalanan sampai ke rumah hanya 5 jam. Itu saja, pulangnya 4 bulan sekali. Coba, kalau teman-teman saya yang dari luar Jawa kaya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. Kemungkinan besar, mereka hanya bisa pulang saat lebaran Idul Fitri tiba, alias setahun sekali. Ongkos dan jarak yang jauh tentu menjadi pertimbangan.
Nah, tanggal 17 April tahun ini, Indonesia sedang punya hajat besar. Perhelatan politik praktis yang diwujudkan dalam pilpres dan pemilu. Memilih presiden beserta wakilnya. Sekaligus para wakil rakyat yang mudah-mudahan nggak jadi tikus-tikus berdasi nantinya. Aminnn….
Sejak beberapa bulan yang lalu, para calon ini telah berkampanye. Mencoba menarik suara rakyat di akar rumput dan juga perkotaan. Mengemis dukungan sana-sini. Semua dilakukan demi hari puncak tanggal 17 itu.
Sepertinya pada tanggal itu, semua instansi pendidikan maupun birokrasi pemerintah diliburkan. Pastilah kampus saya juga. Wah lumayan nih, jadinya kami para mahasiswa rantau, mendapat tambahan waktu berleha-leha di kos meski tak ada tanggal merah.
Sebenarnya, menjadikan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional ditujukan agar semua masyarakat Indonesia kaya pelajar, pendidik, pegawai negeri dan lainnya, bisa memberikan suaranya pada pilpres maupun pemilu yang kebetulan diadakan bersamaan kali ini.
Ya, tapi sayang sekali. Libur yang disediakan oleh pemerintah hanya pada tanggal 17 itu, cuma sehari, Kisanak. Buat tidur sampai mimpi terbang ke langit ketujuh aja nggak cukup, loh. Dua puluh empat jam adalah waktu yang singkat. Ujung-ujungnya, kami para mahasiswa rantau hanya terjebak pada dilema yang bikin pusing berkepanjangan.
Kalau dilihat di kalender, tangal 17 sih hari Rabu. Ayo kita coba hitung-hitungan. Kuliah itu mulai hari Senin. Nah, hari efektif adalah 5 hari dari Senin sampai Jumat. Sementara Sabtu dan Minggu libur. Hari Rabu libur pilpres. Nah, ternyata hari Jumat adalah tanggal merah. Tertulis di kalender kalau Jumat itu Hari Wafatnya Yesus Kritus. Otomatis untuk menghargai hari tersebut, kami semua pasti diliburkan.
Dalam hal ini, ada hari Kamis yang menjadi pengganjal kami para mahasiswa rantau untuk memberikan suara di TPS. Mengapa demikian?
Masalahnya, Kamis adalah Harpitnas alias Hari Kecepit Nasional. Tidak ada pandang bulu, pasti akan tetap dilaksanakan perkuliahan pada hari itu. Padahal itu sungguh hari yang kecepit. Kecepit, Kisanak. Ah, ingin saya berkata kasar.
Sebagai warga negara yang baik, sungguh, kami ingin sekali menyalurkan suara untuk memilih pemimpin demi keberlangsungan masa depan bangsa. Satu suara dari kami, bukankah katanya turut andil dalam mengubah nasib bangsa ini?
Memang, sih, sudah dibuatkan mekanisme khusus bagi kasus mahasiswa rantau seperti kami ini. Yakni, bisa ikut tetap memilih di TPS terdekat dari domisili tempat tinggal sekarang. Tapi bagi saya, ini terlalu ribet, dan ngurusnya cukup menyita waktu. Ya, maklum lah, kami ini kan manusia super sibuk yang tidur saja cuma hitungan jam.
Tapi, apa boleh dikata. Kewajiban ngampus pada hari kecepit nasional di antara Rabu dan Jumat kudu tetap dilaksanakan. Ini demi cita-cita mulia yang sudah saya sebutkan di awal.
Saking bingungnya dengan keadaan ini, saya sampai harus menanyakan solusinya pada teman yang terkenal arif dan bijak di antara teman-teman lainnya. Bisa dibilang, dia yang dituakan dan menjadi rujukan saat masalah menimpa. Sebut saja namanya Petruk.
“Truk, menurutmu, aku kudu balik rumah nggak pas pilpres besok?” tanya saya. Dia merenung mendengar pertanyaan saya. Seperti seseorang yang lagi mikir negara. Cukup lama dia terdiam, lalu dia nyeletuk, “Mending kamu balik aja, deh.”
Mendengar jawabannya itu, saya sempat berpikir. Mencoba menghitung presensi kehadiran. Jika nanti saya pulang kampung untuk datang ke TPS, berarti saya harus mbolos dong, pas hari Kamisnya? Ehm, maksud saya, biar bisa bablas gitu dari hari Rabu sampai Minggu di rumah. Lumayan, kan, libur 5 hari bisa buat istirahat dulu di rumah.
Namun, seketika hati kecil saya berbicara, “Hus, jangan mbolos kuliah. Nggak baik, loh.” Hmmm, benar juga. Kan, tujuan utama saya berada di kota ini, hendak berkuliah.
Kalau saya mbolos, terus tiba-tiba pas hari Kamis tanggal 18 April ada pre-test yang nilainya memiliki bobot besar dalam akumulasi IP, bagaimana? Belum lagi kalau nggak dapat nilai dan harus mengulang mata kuliah terkait di semester selanjutnya. Bukannya, nanti malah menghambat saya untuk lulus sesegera mungkin?
Mengundur waktu kelulusan, sama saja memperkeruh masalah. Ibu bapak saya, mesti mencari biaya tambahan gara-gara saya mbolos, di kemudian hari. Itu artinya, beban mereka jadi bertambah. Waduh, kok malah jadi panjang gini, yak, urusannya?
Lantas, apa iya, saya sebagai mahasiswa rantau harus golput?
Hmmm, tolong, dong, Pak Ketua KPU, kasih solusi yang konkret. Hari Kamisnya dibikin libur juga, kek. Apa gimana, gitu. Jadi, kan, saya dan mahasiswa rantau yang lain bisa pulang dengan tenang. Pulang untuk memberikan suara dan memilih para calon koruptor wakil rakyat serta pemimpin bangsa ini untuk periode 5 tahun ke depan. Sungguh, kami merasa dilema, Pak.