Ia adalah cinta pertama kami, saudara angkat yang mengisi hari-hari keluarga kecil kami, pihak yang menjadi saksi suka duka kehidupan jalanan kami. Jadi, bagaimana kami bisa diam ketika cinta itu menjadi tampak sedemikian salah dan terlarang hanya karena sebuah artikel?
Ya, ia Toyota Avanza. Avanza yang itu.
Ialah mobil pertama yang saya dan istri mampu beli. Tepatnya, Avanza seri Veloz dengan kapasitas mesin 1.500 cc, sedikit di atas spesifikasi Avanza tipe Reguler. Lima tahun lalu kami memboyongnya ke rumah dengan tebusan sebesar Rp172 juta. Sebagai sopir utama keluarga, saya memilih ia yang bertransmisi manual alih-alih matic. Bukan karena menyakini real men use three pedals, melainkan mempertimbangkan penggunaan yang sering keluar kota dan kemampuan saya yang lebih fasih mengoptimalkan engine brake (pengereman mesin).
Mobil pertama kok Avanza? Anda mungkin berpikir begitu. Dan sejujurnya, awalnya pun saya berpendapat sama.
Ketika sedang memilah mobil, saya mengajukan usul kepada istri. Beli mobil second sajalah, Mah. Saya yakin, dengan uang sebanyak (atau sesedikit) itu, kami bisa mendapat pilihan terbaik yang direstui bangsa, negara, agama, dan netizen. Namun, dengan kebijaksanaan seorang istri, ia mementahkan usul itu. Untunglah saya cukup sabar untuk tak serta-merta menuduh istri saya durhaka kepada suami.
Istri saya punya alasan masuk akal dan ia selalu benar. Mobil second pasti banyak rewelnya, Pah. Mesti ganti inilah, itulah. Mesti modif inilah, itulah. Belum lagi kalau ternyata banyak pos pengeluaran di bengkel yang mungkin kami sendiri tidak mengerti apa saja tindakan perawatan korektif yang dilakukan si teknisi.
Saya manut saja, tidak banyak berargumen lebih lanjut. Pun tidak menganggap istri saya melakukan penistaan terhadap gelar sarjana teknik mesin yang saya peroleh setelah berjuang selama tujuh tahun di Bandung. Saya hanya memiliki keyakinan yang sama dengan Ustadz Daffy al-Jugjawy, saya “enggak takut istri, saya cuma enggak mau beliau marah.”
Akhirnya dengan bekal uang tabungan beberapa bulan plus sisa-sisa THR yang disisihkan dengan susah payah, kami bisa membeli Avanza Veloz.
Tercatat sejak saat menerima kunci mobil tersebut sampai hari ini, sudah 123.350 jumlah kilometer yang kami ukur bersama. Angka fantastis untuk penggunaan mobil selama lima tahun yang mungkin hanya bisa ditandingi Avanza rentalan. Jam nyetir yang lumayan ini saya peroleh karena sering bolak-balik pulang kampung dari Tangerang Selatan ke Yogyakarta. Selain itu, mobil ini sering saya gunakan untuk menunjang operasional pekerjaan saya.
Perjalanan terjauh menuju barat yang pernah kami capai adalah menuju Padang, Sumatra Barat. Bukan dalam rangka mencari kitab suci karena sekarang kitab suci beserta terjemahannya sudah tersedia online, perjalanan tersebut ditempuh melalui jalur tengah via Lampung–Sumatera Selatan–Lahat–Lubuklinggau–Muaro Jambi. Sedangkan di perjalanan pulang kami memilih menikmati tepi pantai barat Sumatra via Mukomuko–Bengkulu–Krui dengan bonus Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Untuk arah timur, destinasi terjauh kami ialah Pulau Dewata. Kami punya haul yang belum kami capai, yaitu menembus Pulau Komodo dengan mengendarai mobil sejuta umat ini.
Untuk urusan performa, mobil ini belum pernah mengecewakan kami. Bahkan selama perjalanan jauh yang disebutkan tadi, kami belum pernah terhambat problem teknis dari mobil. Yang pasti, saya rutin membawa si Veloz checkup ke bengkel resmi Toyota saban sepuluh ribu kilometer. Kalaupun telat, paling hanya kelebihan seribu kilometer, tidak pernah lebih. Dan catatan buku servis menyatakan bahwa tindakan perawatan yang diambil selama ini masih sesuai dengan standar buku: ganti oli berikut filternya, cleaning/replace filter udara, cek aki, balancing, spooring, dan lain-lain.
Bicara soal kabin yang tidak kedap suara, saya mengakui hal ini. Jika lalu lintas sedang padat, sering saya cek ke tiap-tiap sudut jendela kaca kalau-kalau ada yang kurang rapat. Hal ini secara refleks saya lakukan karena suara bising masih terdengar sampai ke kabin. Saya akui saya berakting norak saat beberapa kali diajak teman naik tunggangannya, Fortuner, yang jika Avanza adalah Squidward, maka Fortuner adalah Squilliam-nya. Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa Veloz saya tidak bisa sehening ini ya kabinnya?
Untuk faktor suspensi saya rasa tidak ada masalah. Saya tidak sepakat kalau dibilang pasti orang akan mabuk saat duduk di kursi belakang. Riwayat orang yang mabuk dalam mobil kami selama ini hanyalah adik ipar saya. Ipar saya ini memang bertahun-tahun sama sekali belum pernah naik mobil kecuali Avanza kami. Tetapi, tidak merepotkan kok. Cukup jejalkan Antimo (bukan advertorial, redaksi) sebelum berangkat dan sediakan kantong plastik di samping tempat duduknya, beres.
Fakta lain yang menguatkan bahwa suspensi Avanza ini baik-baik saja ya tidak lain adalah anak-anak saya. Keluarga kami dianugerahi tiga anak laki-laki yang menggemaskan. Dua di antaranya malah sejak orok sudah merasakan suspensi mobil ini. Orang bilang, anak kecil memiliki indra yang peka. Kalau ada sesuatu yang tidak nyaman atau hal tidak mengenakkan, mereka akan merengek. Nyatanya mereka enjoy aja (bukan tagline rokok, redaksi) saat kami bawa melintasi jalur Pantura, menembus Alas Roban, melintasi pabrik rokok Kudus demi makan siang nasi gandul di Pati. Mereka pun baik-baik saja saat kami bawa melewati jalur makadam (jalan berbatu) menuju camping ground di kawasan Gunung Bunder, Bogor.
Soal perilaku pengemudi Avanza yang suka menyerobot jalur, saya rasa itu soal karakter sopir. Selama ini saya beberapa kali memang menyerobot atau mengambil jalur orang. Tak bisa saya mungkiri, mengendarai Avanza memberi kepercayaan diri saat berhadapan dengan mobil mewah semacam Mercy, BMW, atau merek mahal lain. Filosofinya sederhana, mobil mewah pasti tidak ingin kulit mulusnya lecet dicium kereta rakyat sekaliber Avanza sehingga lebih baik mengalah saja. Yang pasti teori ini tidak berlaku saat berhadapan dengan sesama Avanza. Yang ada malah adu nyali siapa yang lebih nekat.
Pendeknya, Toyota Avanza tidak seburuk yang Anda sangka. Walau dia tidak setangguh 4×4, tapi Avanza tak mengeluh dihela untuk menanjaki Negeri di Atas Awan Dieng. Bagaimanapun mobil ini telah memberi banyak kenangan untuk keluarga kami. Pecah ban atau mogok di jalan tidak pernah masuk di antaranya. Hanya sekali mobil ini tidak bisa dinyalakan, itu pun terjadi di parkiran, bukan jalanan. Usut punya usut, ternyata akinya soak. Hal yang cukup mengejutkan karena seingat saya servis terakhir sebelum kejadian itu sudah termasuk cek aki dan ada hasil battery test-nya.
Tentu betul bahwa di mana ada harga, di situ ada rupa. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan dan Andra and The Backbone (oke, ini memang klasik). Namun, setelah enam puluh purnama kami lalui bersama, kami tak akan bingung memilih mobil untuk mudik Lebaran esok. Hampir bisa dipastikan mobil itu adalah Toyota Avanza.