Lebaran tahun ini Cak Dlahom menikmatinya di rumah Mat Piti. Dia mengenakan sarung, kemeja dan peci baru, pemberian Mat Piti. Wajahnya terlihat sumringah. Matanya berbinar-binar. Senyumnya berhamburan.
Pagi ini memang istimewa. Suara takbir dan tahmid yang bersahutan sejak malam seolah mengepung kampung. Rumah Mat Piti penuh dengan anak-anak yang berbaris menunggu pemberian amplop berisi duit, dan Mat Piti memang memberikannya. Setiap anak dapat satu amplop berisi uang Rp 10 ribu. Mereka menyalami, meciumi tangan Mat Piti dan Romlah. Juga tangan Cak Dlahom.
Ketika anak-anak sudah pergi, Romlah segera mencium tangan Mat Piti lalu memeluknya. Romlah terisak. Mat Piti berusaha tegar. Bapak dan anak itu hanya hidup berdua sejak ibu Romlah meninggal beberapa tahun sebelumnya.
“Maafkan aku, Pak. Aku banyak berdosa dan bersalah.”
“Bapak yang minta maaf padamu, Nak.”
Pemandangan itu membuat Cak Dlahom tertunduk. Dia menahan air matanya tidak menetes.
“Cak…” Suara Romlah membuyarkan lamunan Cak Dlahom. Dia menoleh ke Romlah.
“Maafkan saya ya, Cak, kalau saya ada salah dan dosa sama sampeyan.”
Cak Dlahom menelan jakun. Dia tak sanggup menatap Romlah. Pikirannya berkecamuk: bagaimana mungkin anak Mat Piti ini pernah bersalah dan berdosa padanya sementara dia adalah perempuan yang penuh perhatian padanya, justru pada saat hampir semua orang meremehkannya. Cak Dlahom berusaha menguasai diri. Dikembangkannya senyum, tapi mendadak Romlah meraih tangannya lalu menciumnya.
Cak Dlahom dilematis: mau menarik tangannya tapi Romlah telanjur meraihnya, tangannya tidak ditarik, dia tak enak sama Mat Piti yang terus melirik-lirik.
“Hm, hmmm…” Deheman Mat Piti membuat Romlah segera melepas tangan Cak Dlahom.
“Aku minta maaf ya, Mat. Aku banyak keliru dan merepotkanmu.”
“Saya juga minta maaf, Cak. Saya belum bisa memelihara orang-orang seperti sampeyan.”
Sebentar kemudian, muncul penjaga masjid Busairi dan Warkono, lalu Dullah dan Pak Lurah. Mereka semua bermaaf-maafan. Dullah memeluk dan mencium tangan Cak Dlahom. Pak Lurah semula ragu-ragu, tapi Cak Dlahom langsung memeluknya. Busairi memeluk Mat Piti. Pak Lurah memeluk Warkono.
Mereka semua duduk di teras rumah. Disuguhi aneka kudapan, kopi hangat, dan kretek. Romlah nimbrung dan duduk di dekat Cak Dlahom, yang mulai bisa menguasai diri setelah tangannya dicium Romlah.
Mereka membicarakan apa saja. Mulai dari soal makanan Lebaran, soal kambing, soal ikan, soal sungai, soal masjid, soal ustad, soal apa saja, dan ujung-ujungnya soal Cak Dlahom.
“Cak, saya ini sudah bertahun-tahun beribadah, salat siang-malam, tapi tak ada yang saya dapatkan. Tidak seperti sampean. Tidak beribadah tapi tenang-tenang saja hidup sampeyan.” Dullah membuka pembicaraan.
Cak Dlahom diam. Dia hanya tersenyum. Romlah memainkan ujung bajunya.
“Sampeyan tahu, Cak, karena itu saya berhenti jadi imam masjid. Saya berhenti jadi penceramah. Saya merasa percuma. Hati saya masih dipenuhi sangka-sangka.”
“Lalu kamu milih jadi korak?”
“Sudah berkurang, Cak. Mulai Lebaran ini saya akan kembali aktif salat di masjid. Makanya saya tanya sampeyan dan saya mau berguru sama sampeyan.”
“Kenapa harus belajar dan berguru ke aku, Dul?”
“Saya ingin mencari ketenangan, Cak. Saya ingin sejuk.”
“Kamu sudah datangi ibumu, Dul?”
Dullah langsung tertunduk. Dia memang bermasalah dengan ibunya. Sudah sekian tahun. Sejak dia menganggap ibunya menyia-nyiakannya, menelantarkannya. Sekian Lebaran, dia tak pernah menemui ibunya. Tak pernah menyentuh tangan dan kakinya. Tak pernah datang ke rumahnya untuk meminta maaf, atau memberi maaf. Dia mecintai sekaligus membenci ibunya. Dia sakit hati. Masa lalu telah menawan Dullah.
“Saya sudah memaafkan ibu kok, Cak.”
“Memaafkan itu gampang Dul. Meminta maaf dan mengakui salah, itu yang susah. Tak semua orang mampu melakukannya, kecuali orang-orang tertentu.”
“Kenapa saya yang harus minta maaf, Cak?”
“Kalau begitu simpan saja sakit hatimu. Biarkan berjamur dan beracun.”
“Ya tidak begitu juga, Cak…”
“Dul, tadi kamu bilang ingin ketenangan. Ingin kesejukan…”
“Betul, Cak.”
“Kamu kan lulusan pondok, lebih tahu dalil-dalil agama ketimbang aku. Orang yang marah, kalau tak salah harus ambil wudu agar marahnya reda. Iya kan, Dul?”
“Betul, Cak.”
“Menurutmu kenapa harus ambil wudu?”
“Agar dingin, Cak. Agar bisa menahan diri. Tidak emosi.”
“Wudu memang mendinginkan, Dul. Karena itu disebut mariul baarid. Air yang menyejukkan.”
“Apa hubungannya dengan saya yang harus meminta maaf ke ibu, Cak?”
“Dinginkan hatimu, Dul. Basuh dengan air wudu, dengan memberi dan meminta maaf. Itulah mariul baarid yang menyejukkan. Kecuali kamu terus menginginkan hatimu dibakar neraka. Kebencian dan masa lalu.”
Dullah menunduk. Mat Piti dan Pak Lurah manggut-manggut. Busairi mengunyah madu-wongso, penganan yang terbuat dari ketan item yang dibungkus kertas minyak warna-warni. Warkono sebal-sebul dengan kreteknya.
“Benar, Cak, memang susah meminta maaf. Hanya orang yang kuat yang sanggup mengakui kesalahannya.” Suara berat Pak Lurah memecah suasana. Dullah semakin menunduk.
“Jadi bagaimana caranya agar dengan lapang dada bisa meminta maaf, Cak?”
“Saya minta maaf, Pak Lurah.”
“Loh saya tanya, kok malah minta maaf. Kenapa, Cak?”
“Saya ini bukan siapa-siapa. Tak patut didengar.”
“Saya hanya mau belajar meminta dan memberi maaf, Cak.”
“Sampeyan seirus?”
“Saya akan mencoba. Saya kira Dullah juga mau. Iya kan, Dul?”
Dullah hanya mengangguk. Mat Piti masih menyimak. Pak Lurah terus nyerocos.
“Sampeyan ndak akan sanggup, Pak Lurah.”
“Akan saya coba, Cak.”
“Serius?”
“Ya serius, Cak. Hal-hal yang baik kan harus diseriusin?”
“Coba buka seluruh pakaian sampean sekarang, Pak Lurah.”
“Apa, Cak?”
“Buka pakaian sampeyan. Semuanya. Telanjang bulat.”
“Ya ndak mungkin, Cak… Sampean kok malah tambah edan.”
“Tidak mungkin kenapa?”
“Ya malulah, Cak…”
“Malu kenapa?”
“Lah sampeyan gimana? Masak menyuruh orang telanjang? Itu kan membuka aurat? Lagipula apa hubungannya dengan meminta maaf?”
“Sampeyan malu karena sampeyan merasa lebih mulia. Merasa lebih berharga. Merasa lebih dari yang lain. Begitu juga dengan orang yang enggan meminta maaf. Mereka berat karena merasa tidak bersalah. Merasa paling benar.”
“Astaghfirullah. Saya malu bertelanjang, Cak.”
“Pak Lurah, Cak, Dul… Ayo diminum kopinya.” Mat Piti bersuara memecahkan ketegangan.
Pak Lurah menatap Cak Dlahom tapi sebentar. Mata Cak Dlahom menyilaukan nyalinya. Busairi dan Warkono hanya terus makan dan merokok. Cak Dlahom ngikik. Romlah ikut-ikutan ngikik.
“Masih mau belajar minta maaf, Pak Lurah?” Romlah menimpali sambil cekikikan. Semua orang terbahak mendengar pertanyaan Romlah. Mat Piti melotot.
Pak Lurah geleng-geleng sambil memegangi sarungnya.
(diinspirasi dari kisah-kisah yang diceritakan Syekh Maulana Hizboel Wathany)