Mojok berusia setahun dan banyak orang mulai membicarakannya. Situs ini didaulat sebagai media alternatif, media satire di tengah seragamnya isi dari arus besar situs online. Tulisan-tulisan di Mojok dianggap berbeda dari tulisan-tulisan di media lain. Penuh olok-olok dan konon membuat yang membacanya tertawa atau minimal tersenyum masam.
Tentu, pendapat semacam itu tak bisa dihindari karena tak mungkin melarang orang berpendapat dan menilai Mojok, tapi tentu saja tak semua orang (pembaca Mojok) akan berpendapat seperti itu. Jonru, Felix Siauw, Yusuf Mansur, AA Gym, PKS Piyungan, Hizbut Tahrir, Fahira Idris, dan Ahok, misalnya, kemungkinan besar malah menganggap Mojok sebagai media yang menjengkelkan—karena beberapa tulisan di Mojok yang memojokkan mereka. Akan jadi tragedi seandainya mereka kemudian menyukai Mojok, sementara mereka adalah bahan olok-olok yang sering dimunculkan di Mojok, hanya karena pendapat, kelakuan mereka dianggap konyol oleh para penulis Mojok.
Celakanya, hampir setiap tulisan di Mojok yang mengolok-olok nama-nama itu banyak mendapat perhatian. Dibaca banyak orang karena dianggap tulisan bermutu dan lucu.
Silakan dicek, setiap kali muncul tulisan yang mengejek Jonru, menertawakan Felix Siauw, mengolok-olok Yusuf Mansur; tingkat kunjungan pembaca Mojok ikut pula terdongkrak. Nama Jonru bahkan ditetapkan sebagai tagar tersendiri oleh Mojok untuk memudahkan pembaca melihat-lihat kembali tulisan yang mengejek-ejek Jonru. Tahun lalu, Jonru bahkan ditetapkan sebagai salah satu “Person of The Year” versi Mojok.
Maka tak bisa dihindari, apabila ada yang berpendapat, keterkenalan Mojok antara lain dipicu oleh nama-nama di atas. Silakan berdebat tentang benar-tidaknya, tapi sebagai media yang menabalkan diri bahwa Mojok adalah hak segala bangsa, baik yang sudah mandi maupun belum. Mojok disukai wanita setengah berjilbab, setengah liberal, setengah konservatif, setengah komunis hingga yang tidak setengah-setengah, dicintai pria dari kutub selatan sampai kutub utara, tak ada salahnya, apabila Mojok mulai mengundang mereka untuk ikut menulis di Mojok.
Sudah saatnya Mojok memberi kesempatan kepada nama-nama itu untuk membalas olok-olok yang selama setahun ini ditujukan kepada mereka. Misalnya, Jonru diminta mengejek Iqbal Aji Daryono: kalau hanya berani beristri satu (dan takut sama istri) tak usah sok-sokan melindungi Jokowi. Felix Siauw mengejek Arman Dhani: mbok kalau belum ada cewek yang mau diajak menikah, jangan melampiaskan kekesalan ke saya. Fahira Idris diminta menulis tentang liburan halal (mungkin) bersama Arlian Buana. Atau orang-orang PKS Piyungan diminta menegaskan bahwa Eddward S Kennedy sebetulnya adalah kader PKS yang kecewa.
Intinya semacam balas budi Mojok. Cara ini sekaligus untuk menguji popularitas para tokoh itu dan juga Mojok: benarkah mereka hanya populer di kalangan mereka sendiri?
Hal lain yang tak kalah penting (bagi Mojok) adalah, Mojok bisa mengurangi ”musuh.” Pembacanya tak akan terbatas hanya pada penggemar para penulis Mojok, melainkan lintas sektoral, lintas apa saja. Bukan hanya monopoli simpatisan komunis, liberal, sekuler, dan peler, melainkan juga simpatisan Hizbut Tahrir, PKS, dan anggota rohis.
Dengan demikian, Mojok berdiri di atas semua pemikiran. Sepanjang pemikiran itu sebatas olok-olok dan bukan pemikiran untuk menihilkan dan membunuh manusia.
Tidakkah para tokoh itu punya penggemar masing-masing yang bisa jadi jauh lebih banyak dari para penulis Mojok, dan karena itu potensial untuk membaca Mojok? Dan siapa tahu pula, kelak, mereka tertarik dan jatuh cinta bergabung dalam daftar penulis Mojok, meskipun untuk versi penulis syariah atau halal misalnya.
Benar, pengelola Mojok bisa mendaku bahwa mereka telah mengundang nama-nama yang kerap dirundung dalam tulisan di Mojok, dan konon nama-nama itulah yang tidak bersedia; tapi klaim pengelola Mojok sebetulnya bisa diragukan keseriusannya.
Undangan yang disampaikan, patut diduga tidak mencerminkan kehalalan dan syariat. Misalnya tidak didahului dan diakhiri dengan “assalamualaikum…” dan sebagainya. Dengan undangan yang tidak serius semacam itu, maka undangan pengelola Mojok bukan hanya akan dibaca tidak memenuhi syariat, tapi juga sebagai bentuk olok-olok yang lain: pura-pura minta menulis sebelum kembali mencari-cari bahan tertawaan. Dan tentu saja Jonru, Felix Siauw, dan lain-lain, akan semakin punya alasan untuk menolak menulis di Mojok.
Apakah para tokoh kita itu benar penting untuk diundang menulis di Mojok, silakan pula diperdebatkan. Tapi kalaupun dianggap tidak penting, pengelola Mojok seharusnya mencari alternatif penulis lain yang menyuarakan pendapat yang berbeda agar Mojok tidak (semakin) membosankan. Nagita Slavina, istri Raffi Ahmad, misalnya, bisa diundang untuk menulis tentang aura kebapakan yang dipancarkan oleh Kokok Dirgantoro dan Puthut EA. Atau Mulan Jameela, istri Ahmad Dhani, diminta menulis tentang sakitnya mencopot alat kontrasepsi agar Agus Mulyadi tahu rasanya mencopot kondom.
Kalau Nagita atau Mulan juga tak bersedia karena dilarang suami mereka, pengelola Mojok mungkin perlu meminta Jokowi untuk menulis. Sebagai presiden, saya kira, dia butuh katarsis: membuang kejenuhan dan kebosanan sebagai presiden. Terserah Jokowi mau menulis apa. Siapa tahu dia punya ide tentang pentingnya Kartu Penulis Mojok.
Atau kalau dia minta saran tema, usulkan saja agar menulis dampak perdamaian Dua Korea terhadap rasa bubur ayam di Cikini.