Di Yogyakarta mudah untuk menemukan toko obat kuat. Rata-rata mereka menamakan dirinya dengan toko obat vitalitas pria. Konsumennya beragam, paling banyak justru dari kalangan mahasiswa.
Pascahujan sore pada 29 Maret 2021, udara cukup berat dan dingin. Saya melepas jas hujan dan menepi di sebuah toko obat vitalitas pria di dekat perempatan Monjali, lantas mendapati toko itu sudah tutup. Cukup aneh, mengingat jam masih menunjukkan pukul 17.15 WIB, sementara sepengamatan saya, toko yang saya datangi itu kerap masih buka hingga larut malam.
Mbak-mbak penjual sate di kios sebelah menghampiri saya, mengatakan bahwa penjaga toko obat kuat baru saja pergi untuk mengantar barang. Mbak-mbak itu juga menyarankan saya agar menghubungi si penjaga melalui nomor WhatsApp yang tertulis di sebuah standing banner untuk mengkonfirmasi kedatangan saya.
“Mas, saya di depan toko. Mau beli salah satu produk, tapi nanti sambil ngobrol-ngobrol boleh, ya?” tulis saya setelah basa-basi singkat di awal.
Tak lama kemudian chat saya dibalas. “Oke, Mas. Saya lagi nganter di jalan magelang. Deket, kok. Tunggu saja.”
Toko obat kuat rata-rata kecil, ada paguyubannya
Jadilah saya menunggu di depan toko, menyaksikan lalu lalang jalan yang ramai, mencium aroma sate yang dibakar dari kios sebelah, sambil sesekali mengambil gambar area sekitar. Tak berselang lama, saya bertemu dengan Gigih* (21), penjaga toko obat kuat yang berasal dari Semarang. Saya diajak masuk ke dalam toko dan mendapati betapa kecil ruangan di dalamnya. Ada etalase sederhana yang dipenuhi berbagai macam produk, mulai dari mainan seks, kondom bergerigi, pembesar alat kelamin, dan obat-obat penambah stamina tentu saja.
“Mas tinggal di sini?” spontan saya menanyakan itu ketika sekilas melihat ruangan di balik dinding tipis di belakang ruang sempit tempat saya dan Gigih berada.
“Iya. Sudah tiga tahun di sini, Mas. Sebelumnya di daerah Jakal (Jalan Kaliurang),” jawabnya.
“Semua penjaga toko obat kuat itu tinggal di tokonya, Mas?” saya kembali bertanya.
“Iya. Ya toko, ya tempat tinggal,” timpal pemuda ramah senyum tersebut.
“Emang ada kamar mandinya juga di balik sana?”
“Kalo di sini ada, Mas. Tapi banyak temen saya yang apes dan nggak ada kamar mandinya. Jadi ya kalo mau mandi, buang air kecil atau buang air besar, harus ke pom bensin dulu,” kata Gigih sambil cengengesan.
Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana hidup bertahun-tahun di tempat yang tidak menyediakan kamar mandi. Bagaimana dengan urusan mencuci piring, mencuci baju, cuci muka, dan kalau mendadak kebelet di malam hari?
“Tapi banyak juga yang nggak tidur di toko sih, Mas. Biasanya nginep di kos temen gitu. Jadi sebenernya nggak ada kamar mandi juga nggak apa-apa,” Gigih melanjutkan.
“Berarti sudah kenal sesama penjaga toko obat kuat di Jogja?”
“Kenal, Mas. Kan ada paguyubannya. Nggak hanya di Jogja, yang di luar kota juga kenal. Jauh sebelum jadi pegawai toko obat kuat juga sudah saling kenal, Mas,” kata Gigih.
“Eh, gimana itu maksudnya?” tanya saya heran.
“Rata-rata temen SMA saya itu kerjanya jadi penjaga toko obat kuat juga, Mas. Sudah kayak warisan turun temurun dari kakak kelas gitu. Saya dulu ditawari alumni, terus saya nawari adik kelas saya yang baru lulus. Gitu terus,” kata Gigih enteng.
“Oh, berarti santai saja kalo ditanya temen kerja di mana, gitu ya?” tanya saya.
“Santai, lah. Wong kebanyakan kerjanya ya kayak gini.”
Gigih kemudian menjelaskan bahwa tidak semua teman SMA-nya menjaga toko obat kuat di Jogja. Tersebar rata di berbagai kota. Hanya saja yang bekerja di Jogja, sebagian besar memang berasal dari Semarang. Ketika saya menanyakan apakah pemilik bisnis dari semua toko obat kuat itu sama, Gigih mengatakan ada beberapa yang dimiliki satu orang.
“Beberapa ada yang bosnya satu. Yang saya jaga saat ini bosnya di Jakarta, dan setahu saya cuma punya satu di Jogja,” ungkap satu-satunya pegawai di toko obat kuat itu. “Tapi masing-masing kota itu ada paguyubannya, Mas. Ada semacam ketua yang njaga keamanan, gitu.”
Jarang ada pembeli yang datang langsung ke toko
“Keamanan gimana, Mas? Karena jualan obat yang nggak memiliki Nomor Izin Edar dari BPOM, gitu?” tanya saya sambil melihat beberapa produk di etalase yang memang tidak menunjukkan sertifikasi dari BPOM, padahal setiap obat atau makanan yang dijual di publik, sebaiknya lolos sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga bisa dipastikan obat atau makanan itu aman dikonsumsi.
“Ya semacam itu,” tutur Gigih. “Tapi pembeli nggak masalahin sudah lulus sertifikasi BPOM apa enggak. Mereka pingin beli obat ini, ya langsung beli.”
“Biasanya belinya datang langsung apa via WA, Mas?”
“Kebanyakan WA. Jarang ada yang mau datang ke toko, apalagi kalo tokonya nggak di ujung.”
“Di ujung gimana?”
“Kayak toko ini. Kan ada di tengah-tengah antara toko sate sama toko sebelah yang kosong. Orang malu kalau mau masuk. Misal toko ini ada di tempat toko sate, yang datang bisa melipir lewat samping biar nggak dilihat orang.”
“Berarti nggak pernah ada yang terang-terangan parkir di depan toko, apalagi PD nungguin di depan tokonya gitu, Mas?”
Gigih tertawa lepas. “Nggak ada yang kayak Masnya tadi. Kewanen njenengan, Mas,” ujarnya di sela-sela tawa.
“Lah, berarti kalo yang datang ke toko, cara belinya gimana?” saya mencoba tidak membahas lebih jauh istilah ‘kewanen’ yang disampaikan Gigih.
“Pembeli parkir di seberang jalan, terus WA saya,” tutur Gigih. “Mereka sudah WA mau beli apa, terus pas sampai di seberang jalan, saya nyamperin. Biasanya juga mereka pake masker dan nggak mau lepas helm.”
Sialan, ternyata saya benar-benar kewanen setelah mengetahui info tersebut. “Lha kalau yang minta diantar gimana, Mas? Ada ongkirnya?”
“Selama masih di Jogja, biasanya mau-mau saja nganter tanpa ongkir. Asal masih di dalam ringroad, ya.”
“Mereka sharelock gitu?”
“Iya. Tapi sering apes juga saya, Mas. Ada pembeli yang emang kayaknya niat ngerjain. Jadi mereka ngirimkan alamat, saya datangin, eh ternyata alamatnya nggak ketemu, dan mendadak nomornya nggak bisa dihubungi.”
“Kalau yang minta dikirim lewat ojol gitu ada juga, Mas?”
“Banyak. Dan biasanya minta dibungkus amplop barangnya. Dan di keterangannya ditulis obat herbal gitu.”
“Yang paling banyak dicari apa, Mas?”
“Viagra. Itu yang paling laris. Dijualnya juga eceran, per butir lima puluh ribu. Kalo nggak dijual eceran, pasti nggak bakal laku keras kayak gini.”
“Kondom-kondoman gitu laku nggak, Mas?” saya melirik sekilas kondom bergerigi yang ada di etalase.
“Jarang. Kondom kan banyak dijual di minimarket. Di sini jual khusus yang bergerigi gitu.”
“Kalo kondom yang rasa cimol, mie goreng, atau boba gitu nggak jual, Mas?” saya menyebutkan kegegeran dunia maya paska dirilisnya kondom dengan berbagai macam varian rasa oleh sebuah produsen kondom.
Gigih tertawa lepas selama beberapa saat. “Enggak. Saya juga penasaran kok bisa ada kondom model begituan.”
Bukan hanya obat kuat
Sebelum lebih jauh membahas kulinerisasi kondom, saya mencoba kembali ke topik utama yaitu seputar obat kuat. “Kalo make viagra itu ada efek sampingnya nggak, Mas?”
“Aman, sih. Efek samping ya paling pusing. Selebihnya nggak ada masalah apa-apa. Efeknya bakal beda-beda tiap orang. Saya sendiri kalo make viagra malah efeknya jadi pilek, Mas. Aneh memang, tapi ya gitu. Nggak ada yang bahaya, sih.”
Menurut Gigih, viagra yang punya efek membuat ‘tegak berjam-jam’ itu adalah produk paling mendatangkan uang pada toko yang sudah berdiri sejak tahun 2008 silam itu. Produk lain yang juga lumayan laku adalah pembesar alat kelamin seperti Titan Gel yang pemakaiannya dioleskan, juga ada Hammer of Thor yang pemakaiannya diminum.
Saya kemudian bertanya tentang produk untuk perempuan. Gigih mengatakan pernah menjual pembesar payudara, tetapi karena tidak terlalu laku, tokonya tidak menjual produk itu lagi. Ada juga produk bermerk Blue Wizard sebagai perangsang gairah perempuan yang pemakaiannya dicampurkan ke minuman.
“Sama dildo-dildoan dan alat getar gini, sih, kalo yang buat perempuan.” Gigih melanjutkan produk apa saja yang dikhususkan untuk perempuan. “Tapi segmennya kan emang buat laki-laki. Jadi jarang banget ada yang beli produk buat perempuan. Mainan seks kayak gini malah nggak ada laku-lakunya sama sekali,” sambung Gigih sambil menunjuk dildo di dalam etalase.
Omset mencapai jutaan rupiah per bulan
Saya kemudian menyinggung pendapatan toko obat kuat tempat Gigih bekerja. Gigih mengklaim bahwa dalam satu hari pasti ada saja yang beli di tokonya, dan omset per bulan hampir bisa dirata-rata delapan juta rupiah. Hanya saja selama pandemi, toko obat kuatnya mengalami penurunan omset derastis.
“Mahasiswa semua pulang kampung. Nggak ada yang beli,” tutur Gigih.
“Mayoritas yang beli obat itu mahasiswa, Mas. Makanya, kalo mereka pada pulang, pembeli ya nggak ada. Waktu-waktu ini, untungnya sudah banyak yang mulai di Jogja lagi. Jadi ya pendapatan mulai naik.”
“Nggak jualan lewat online saja, Mas?” saya menyinggung banyaknya akun penjual obat kuat di berbagai macam toko online.
“Jualan, tapi jarang yang beli. Tetap lebih ramai di area Jogja.”
Saya kemudian mengakhiri perbincangan dengan membeli sebuah obat oles seharga Rp 75 ribu. Bukan karena niat menggunakannya, tapi lebih sebagai bentuk terima kasih ke Gigih sudah berkenan saya ajak ngobrol. Saya meninggalkan toko itu membawa obat oles yang setelah saya periksa tidak memiliki Nomor Izin Edar dari BPOM, sehingga saya juga ragu untuk memakainya.
Dilarang Menuliskan Nama Produk Saat Pengiriman Barang
Sementara itu, Gama* (25), seorang karyawan toko obat kuat online, mengatakan kepada saya melalui pesan WhatsApp bahwa produk yang tidak memiliki Nomor Izin Edar (NIE) dari BPOM seharusnya tidak perlu dibeli. “Yang tidak lolos sertifikasi BPOM harusnya nggak usah dibeli.” Dia kemudian melanjutkan, “Banyak toko yang sewaktu ditanya sudah ber-BPOM (lolos sertifikasi dan memiliki NIE), mereka jawabnya, ‘dari pihak PT sedang mengajukan ke BPOM’. Halah, bohong itu. Jawab gitu kok bertahun-tahun. Kalau memang bener, ya, jangan dijual sebelum dapat izin, dong,” kata Gama”
Di toko tempatnya bekerja, semua produk yang dijual diklaim telah memiliki NIE dan aman digunakan siapa saja. “Di toko kami, semua produknya memiliki NIE. Harga lebih mahal, tetapi lebih aman dikonsumsi dan tidak ada efek samping,” tuturnya melalui pesan WhatsApp.
Ketika kemudian saya singgung perihal banyak toko yang menjual obat tanpa NIE, Gama memilih tidak peduli. “Bukan urusan kami. Tergantung penjualnya. Tergantung pembelinya juga mau obat seperti apa.”
Saya kemudian iseng bertanya obat seperti apa yang cocok bagi pemula, lantas Gama merekomendasikan produk dengan merk Afromen, lengkap dengan NIE yang ketika saya cek melalui situs resmi BPOM (https://cekbpom.pom.go.id/) ternyata benar telah tersertifikasi. Dari iseng bertanya produk, kemudian saya berlanjut ke proses pengiriman barang.
“Privasi aman!” Gama menjawab ketika saya menanyakan perihal penulisan deskripsi barang selama proses pengiriman. “Nggak bakal ditulis ‘Obat Kuat’, ‘Afromen’, atau yang lain-lain. Deksripsinya kita coret.”
Gama menegaskan bahwa pihak ekspedisi sudah paham saat mereka mengirim barang. “Petugasnya sudah paham. Kan sudah sering kita ngirim produk. Orang lain nggak bakal ngerti. Aman pokoknya.”
Efak samping obat kuat
Penasaran dengan khasiat beragam jenis obat kuat, Saya kemudian menghubungi seorang teman yang pernah menggunakan beberapa jenis obat kuat. Galih* (26), pernah mencoba Hajar Jahanam, sebuah produk berbentuk batu asal Mesir yang lumayan populer. “Caranya tinggal dicuil sedikit batunya, terus dioleskan ke bagian ujung (alat kelamin laki-laki). Nanti bakal terasa panas banget di sana, terus lama kelamaan bakal tegak terus berjam-jam.”
Galih mengaku, pengalamannya menggunakan Hajar Jahanam adalah pengalaman buruk sekaligus memalukan. “Waktu itu saya pake karena emang niat mau begituan. Eh mendadak yang diajak nggak bisa karena ada acara. Akhirnya ya dua jam tegak terus sampai saya kebingungan sendiri. Nonton bokep sambil ngocok juga nggak mau keluar (ejakulasi). Ya sudah, akhirnya saya paksain buat tidur saja.”
Selain Hajar Jahanam, Galih juga pernah menggunakan Tissue Magic, produk yang bisa dibeli di mana saja mulai dari toko obat vitalitas, minimarket, atau bahkan di toko kelontong pinggir jalan. “Tissue Magic memang bisa nambah durasi, tapi nggak ada rasanya,” ujar Galih. “Soalnya tissue magic kan bikin kebas. Ya memang lama, wong jadinya malah mati rasa. Tapi buat apa lama kalo nggak kerasa apa-apa?”
Ketika saya berlanjut menanyakan Viagra, Galih langsung tidak menyarankan untuk memakainya. “Nggak usah!” tegasnya. “Emang ngefek. Emang bikin berdiri dan bergairah. Emang jadi lama. Tapi habis itu, walah. Pusing bukan main kayak orang darah rendah. Setau saya kan sistemnya itu mengalirkan darah ke alat kelamin ya, jadi bisa tegak terus, tetapi setelah efeknya hilang, bagian tubuh lain, terutama kepala, kayak kehilangan banyak darah dan bikin pusing. Itu sepemahaman saya saja, lho. Nggak tau bener atau salah.”
Pengalaman Galih masih tergolong wajar jika dibandingkan Galang* (29), yang menurut saya sudah sampai ke level kecanduan menggunakan obat kuat. Galang tidak mengkhususkan harus menggunakan yang mana, entah itu yang oles atau yang ditelan, tetapi setiap ingin berhubungan badan dengan pasangan, dia selalu menggunakan penguat.
“Keseringan pake penguat, kalo nggak pake rasanya nggak percaya diri,” tuturnya kepada saya. “Bukan kecanduan banget sih. Kalau kecanduan kan harus pake terus. Ini lebih kayak sugesti gitu. Pokoknya kalau berhubungan badan harus perkasa. Nah, untuk nambah keperkasaan itu, saya pake penguat. Bebas, mau yang ditelan, dioles, atau dalam bentuk kondom yang ada cairannya itu, saya pake kalo emang itu yang ada.”
Galang juga menegaskan bahwa dia belum memiliki keinginan untuk berhenti menggunakan berbagai jenis penguat untuk urusan berhubungan badan. “Kan bukan hal buruk juga. Selama saya seneng, pasangan seneng, dan nggak terlalu ada efek sampingnya, kenapa enggak?”
Ketika saya konfirmasi perihal rasa pusing dan lemas setelah pemakaian viagra, Galang menjawab, “Sudah biasa itu. Dulu pas pertama make emang kaget, tapi karena tubuh belum siap saja. Kalau sudah biasa ya nggak terlalu bikin pusing, kok.”
Dokter spesialis urologi, dr. Eko Indra Pradono, SpU, saat saya hubungi melalui aplikasi Alodokter, menjelaskan bahwa fenomena ketergantungan obat kuat sebenarnya bukan efek adiktif dari obat itu sendiri. “Ketergantungan di sini berbeda dengan narkoba yang memang jelas adiktif,” jelas beliau.
Menurut dr. Eko, banyak permasalahan ereksi yang disebabkan karena masalah psikologi. “Jadi, bisa saja kebiasaan penggunaan obat kuat justru menyebabkan si pemakai secara psikologi bergantung dengan keberadaan obat untuk berhubungan intim,” jelasnya.
Beliau juga melanjutkan, menggunakan obat kuat memang bisa ‘menguatkan’ setelah memakai, tetapi justru ‘melemahkan’ jika terlalu sering menkonsumsi. “Jika tidak mengkonsumsi, ereksi menjadi kurang maksimal, ejakulasi dini, dan lain-lain. Padahal sebelum mengkonsumsi bisa saja justru lebih ‘kuat’.”
Ketika saya singgung mengenai cara lepas dari ketergantungan obat penguat, dr. Eko menjelaskan tergantung dari masalah yang dirasakan jika tidak mengkonsumsi obat. “Jika ranahnya psikologis, maka penyelesaiannya juga harus secara psikologis.” Beliau melanjutkan, lebih rileks dalam berhubungan dan membiasakan foreplay maksimal dengan pasangan dapat memperbaiki kualitas berhubungan.
BACA JUGA Jamu Ginggang Pakualaman, 5 Generasi Menjaga Tradisi dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
*Nama narasumber disamarkan untuk menjaga privasi