Kita ini bangsa modis. Sungguh. Di negeri selaksa mal ini, betapa mudahnya menemukan gerai bebajuan. Negeri ini pun juga diproklamasikan oleh seorang modis pula, Sukarno. Dia adalah presiden yang tak gentar untuk menjadi cover boy, ke mana-mana disertai fotografer. Ia presiden necis pujaan ibu-ibu muda di zamannya.
Kita pun lekas tanggap mode ketika terjadi bom Sarinah, maka secuil informasi visual pun sudah cukup untuk menengarai sentuhan fashion di tengah huru-hara. Mas-mas polisi membungkam para teroris dengan mengenakan tas Coach, sepatu Gucci, dan Adidas. Paguyuban pengguna sosial media ramai membahas. Mas-mas ganteng polisi pun ketiban berkah. Mereka seakan menjadi penjelmaan aktor Korea di dunia nyata, di depan mata.
Sementara itu, para terorisnya cukup memakai topi dan sepatu Nike. Walaupun tidak mendapat pujian berlebihan, kita tetap harus adil untuk melihat preferensi mode mas-mas teroris yang konon berafiliasi dengan ISIS itu. Mereka tampil kasual dengan kaos dan sneaker.
Tapi ‘kok mereka tidak memakai baju terusan al-Arabiyya? Atau setidaknya pakai kaos ISIS yang sudah disablon di Kendal.
Maklumlah, sedang taqiyyah. Setidaknya dia memakai satu merek yang senada: Nike. Itu sudah merupakan fashion statement bahwa dia seorang loyalis dan kaffah dalam berbusana. Masalah itu produk asli atau bajakan, lain soal. Setidaknya preferensi mereknya mirip dengan Imam Samudera. Ketika ditangkap, Imam Samudera memakai baju Converse. Nike dan Converse adalah merek asal Amerika Serikat. Sama dengan Starbucks.
Kita ini bangsa modis dan pluralis. Saya sangat menikmati kalau sholat Jumat. Ada banyak preferensi mode. Para tradisionalis suka memakai turban dengan menyampirkan selendang kuffiya. Biasanya bermotif kotak-kotak. Untuk memudahkannya, ingatlah tutup kepala Yaseer Arafat. Ada yang memadupadankan dengan agal. Ini tali yang melingkar untuk menahan agar kuffiya tidak terlontar angin. Kalau percaya diri kuat, sekalian pakai bisht, jubah terusan yang biasa dipakai kepala suku di jazirah Arab.
Lho, mana pluralisnya? Tunggu dulu. Kita belum melihat sederetan baju koko. Namanya juga “koko”, asalnya dari “engkoh-engkoh” alias mas-mas Tionghoa. Ini adalah turunan dari baju tui-khim. Silakan lihat lebih cermat dan Anda akan menemukan fakta bahwa selama ini kita sering ke masjid menggunakan baju kungfu. Memang tidak mirip baju kungfu kalau kita memadupadankan dengan peci. Songkok hitam yang bisa Anda temukan dengan mudah di pasar tradisional itu merupakan turunan dari fez, topi ala Turki. Songkok lebih ringkas daripada fez yang meninggi.
Baju engkoh-engkoh tersebut sempat tenar ketika Ustadz Jeffry Al Buchori (UJ) memopulerkannya. Silakan datang ke gerai baju syar’i langganan, minta saja “baju UJ.” Itu adalah kejeniusan almarhum UJ yang sangat perhatian soal penampilan. Tampil keren itu sunnah. Inovasi UJ ini pantas mendapat apresiasi senyuman. Dia membuat baju koko demikian kasual. Bentuknya kaos. Sangat cocok untuk iklim tropik enerjik, pas buat kita-kita.
Modifikasi baju cara Indonesia sejatinya juga pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Konon, dia tidak berminat menggunakan turban. Ia merancang sendiri baju sebagai signature style. Baju surjan jawa dimodifikasi menjadi baju takwa. Baju takwa dan baju koko memang mirip, perbedaannya ada di kancing baju. Sunan Kalijaga pun tampak berbeda dan mudah dikenal orang. Ia tampil dengan cosplay (costum play) yang berbeda dibandingkan para wali lain.
Berdasarkan beberapa pilihan mode tadi, kita coba melakukan penelusuran: dari beberapa tokoh kiwari mode untuk bisa jadi panutan saat sholat Jumat.
Bahrun Naim yang Labil
Blogger satu ini sedang naik daun walau belum bisa disandingkan dengan Agus Mulyadi. Apalagi blog-nya tidak bisa diakses dari Indonesia. Mentok dengan Internet Sehat, menjadikannya setara dengan situs penyedia JAV. Konon ia adalah pemimpin ISIS Indonesia dan sedang meminta promosi untuk menguasai Asia Tenggara. Itu klaim polisi yang beredar. Jadi, sudah selayaknya kalau preferensi berbusananya perlu ditengok. Ingat, kita negara berazaskan fashion.
Dari berbagai foto yang beredar, ia tampak tidak fanatik. Kadang berbaju koko, kadang pakai jubah ala Arabiyya, kadang malah berjaket seperti anggota pecinta alam. Mungkin ia masih mencari jati diri, belum pas dengan cosplay yang tersedia di pasaran saat ini. Apabila benar ia ingin menjadi pemimpin katibah Nusantara, seharusnya ia segera menentukan cosplay yang tepat. Itupun jika benar ia berniat menjadi penguasa wilayah seperti yang diumumkan polisi. Ia perlu belajar dari para senior yang sama-sama ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia.
Kekinian Felix Siauw
Dari pendekatan budaya, semestinya ia memakai baju koko. Namun, ia lebih sering berfoto (ingat, bukan selfie) dengan batik. Pilihan tepat karena ketika foto bareng dengan ustadz-ustadz lain, tampangnya jadi kelihatan menonjol. Yang lain pakai putih, dia pakai batik warna-warni. Kekinian sekali. Sesekali pakai kaos, tampak kasual dan dekat dengan kondisi zaman. Tapi itu dulu. Kini, sepertinya, ia sudah menemukan preferensi mode yang pas.
Ia tampak mengganti profile picture bergaya koko. Eh, bukan koko. Itu sesuatu yang baru. Hore! Gayanya lebih mirip dengan tunik tradisional Tiongkok. Atau mirip beskap? Eh… baju IP-man?
Entahlah, tapi dia sedang promosi kaos. Bersama Abu Adam Teuku Wisnu (Anda bisa mengabaikan dua kata pertama dari nama ini), ia menjalani bisnis baru: @1GodClothing. Ini T-shirt dakwah, katanya. Bisnis ini seiring dengan @HijabAlila, lini bisnis lainnya. Desain kaosnya masih konvensional, belum serevolusioner UJ, tapi ini langkah baik mendapatkan berkah. Mungkin suatu ketika nanti dia bisa terus berkarya dalam mode. Siapa tahu, dalam perkembangannya dia bisa menggamit Hussein Chalayan.
Cosplay Rizieq
Saya tidak pernah melihat foto Habib Rizieq memakai batik. Ia memang fanatik dalam hal kostum. Baju gamis putih dan sorban putih atau hijau. Seakan-akan, ia tidurpun pakai baju seperti itu. Gamis berasal dari khamis. Ini adalah baju khas dari jazirah Arab yang biasa disebut thawb. Khamis adalah istilah untuk jubah ini di daerah Somalia. Somalia? Entahlah, sepertinya ada ‘sesuatu’ yang tidak terjelaskan kenapa orang Indonesia justru mengambil istilah dari Somalia.
Surban yang ia pakai sesuai dengan pilihan bajunya. Ia pakai amamah, songkok dikelilingi oleh surban. Saya bayangkan ia merasa “absolute chic and eternal cute” saat memakainya. Seakan, surga di genggaman dan mamah-mamah jamaah menatapnya mesrah. Duh.
Seluruh uraian di atas tentu jauh dari sempurna untuk dijadikan acuan berbusana. Saya berharap ada masukan untuk perkembangan mode yang akan datang. Masih banyak dunia bebajuan yang belum terjamah oleh para jamaah.