Citra aparat yang lebih populer sebagai penindas, alih-alih sebagai pengayom masyarakat agaknya memang bakal terus relevan. Setidaknya, itulah yang tergambar pada data yang dipaparkan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Data KontraS menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir, terjadi setidaknya 130 kasus penyiksaan dengan pelaku yang didominasi oleh aparat penegak hukum.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Koordinator KontraS Yati Andriyani.
Kepolisian masih menjadi yang terdepan dalam kasus kekerasan yang terjadi dalam setahun terakhir. Data KontraS menunjukkan Kepolisian setidaknya menjadi pelaku kekerasan terhadap 80 kasus penyiksaan, kemudian diikuti oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan 28 kasus, dan sisanya berasal dari petugas Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas.
Banyaknya pihak kepolisian dan tentara yang tercatat sebagai pelaku kekerasan tak bisa disangkal salah satunya dipengaruhi oleh tempat dan motif penyiksaan itu sendiri. Tercatat, sel tahanan menjadi tempat penyiksaan terbanyak dengan 64 kasus. Sedangkan urusan motif, penyiksaan sebagai upaya mencari pengakuan tercatat ada 78 kasus, sedangkan penyiksaan sebagai hukuman ada 52 kasus.
Dari seluruh data kasus penyiksaan yang tercatat oleh KontraS selama setahun terakhir, korban yang ditimbulkan adalah 27 orang meninggal dunia dan 141 lainnya mengalami luka-luka.
Hal ini tentu saja menjadi perhatian tersendiri, maklum, di tengah usaha keras pihak Kepolisian dan TNI untuk mengkampanyekan kedekatan aparat dengan masyarakat, ternyata justru banyak personel polisi dan TNI yang menjadi pelaku kekerasan terhadap masyarakat.
Lantas, apakah fakta ini berarti polisi jahat? Tentara jahat? Ooo, kalau itu belum tentu.
Yang jahat itu bukan aparat, bukan polisi, bukan pula tentara, tapi oknum. Sekali lagi, oknum. O.K.N.U.M.
Kalau ada kisah yang baik-baik seperti aparat membangun pesantren, aparat menjadi guru ngaji, dsb, itu baru polisi, itu baru tentara.
Gitu lho. Masak kayak gini aja nggak mudeng. Hehe~
(A/M)