Sejak “keluar” dari koalisi keummatan, praktis Partai Bulan Bintang (PBB) sekarang berstatus sebagai partai netral. Ia belum menentukan pilihan untuk mendukung salah satu kubu koalisi pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 mendatang.
Banyak yang menyangka bahwa PBB akan benar-benar netral dan hanya akan fokus pada Pileg 2019. Namun belakangan, Yusril Ihza Mahendra, ketua Umum PBB menegaskan bahwa partainya akan menentukan sikap dan tidak akan netral.
“Nanti PBB akan bersikap,” kata Yusril pada pertengahan Agustus lalu.
Nah, arah dukungan PBB semakin hari semakin terlihat jelas. PBB memberikan tanda-tanda yang begitu gamblang bahwa mereka akan memberikan dukungannya pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Hal ini ditandai dengan pernyataan Yusril yang membela Jokowi soal pelemik cuti presiden.
Sekjen PBB, Afriansyah Noor, menyatakan bahwa walaupun pernyataan Yusril memang murni dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum tata negara, namun pernyataan Yusril tersebut semakin memberikan isyarat arah dukungan PBB.
“Pernyataan Ketua Umum PBB soal calon presiden petahana tak perlu berhenti atau cuti punya pesan politik yang tegas, makin jelas kemana arah dukungan PBB,” ujar Afriansyah.
Arah dukungan ini semakin jelas karena banyak elit PBB, termasuk Afriansyah dan juga Yusril, yang secara blak-blakan menyebut PBB akan mendukung pasangan capres-cawapres yang ada ulamanya.
“Yang jelas, PBB akan berada dalam satu barisan dengan pasangan calon yang ada ulamanya,” kata Afriansyah.
Senada dengan Afriansyah, Yusril juga mengungkapkan hal yang sama.
“Pada prinsipnya, PBB akan mendukung ulama yang maju di Pilpres sesuai hasil Ijtima Ulama kemarin. Kader-kader PBB lebih sreg dengan pasangan yang ada ulamanya,” kata Yusril.
Pernyataan dua elit PBB tersebut merupakan kode yang sangat-sangat jelas. Saking jelasnya sampai tak layak disebut sebagai sebuah kode.
Dari dua pasangan capres-cawapres, kita semua tahu, pasangan mana yang ada ulamanya. Sudah pasti Jokowi-Ma’ruf Amin, tidak mungkin Prabowo Sandiaga, sebab baik Prabowo maupun Sandiaga sama-sama bukan ulama. Mentok paling ya santri, itu pun “santri post islamisme”. (A/M)