Apabila ada ustadz terkenal poligami (lebih tepatnya poligini), sudah tentu akan menjadi sumber kegemparan tersendiri. Ini bukan sekali dua terjadi. Sebagai selebritas, kehidupan pribadi pun langsung diekspose besar-besaran. Terlebih jika istri yang baru masih muda dan cantik. Dan akan makin panas jika istri yang lama menunjukkan sikap-sikap ketidaksetujuannya, entah lewat curhatan di media sosial maupun gugatan cerai kemudian. Bisa dipastikan, netizen perempuan akan keras kali mengomentarinya.
Sebenarnya, bagaimana sih hukum poligami? Dan adakah poligami yang ideal? Bukan bermaksud menjawab pertanyaan itu, melainkan membagi kisah dan perspektif tentang poligini, berikut empat status Facebook yang bercerita mengenai topik tersebut.
Oleh Solihin: Ke mana dan di mana. Ini adalah dua pertanyaan yang jadi trending topic sejak saya memiliki “dua dapur” lebih dari setahun lalu.
Pertanyaan ini selalu dilontarkan krucil: Muhammad Mujahid Fii Sabilillah Leboe, Thariq Muhammad Al Fatih, dan Maryam Zahratul Jannah Leboe.
“Abi ke mana dulu?” Thariq biasanya nanya sepulang dari musala atau masjid.
“Bapak nanti malam nginep di mana?” Muhammad dan Maryam sering bertanya ini.
Kadang-kadang Ulfah Mumtazah (2 tahun lebih dikit usianya) sudah tahu jika abinya nginep di uminya, berarti ada laptop di meja dan langsung minta diputar film favoritnya: Baby’s Day Out.
Mengatur waktu dan jatah bermalam awalnya ribet, tapi saya jalani saja. Kedua jodohku juga sudah sepakat. Pengaturannya dalam satu pekan adalah per hari bergiliran karena jarak antar-“dapur” hanya dipisah halaman yang membentang cukup luas di kompleks pesantren. Tetapi, ada satu hari “bebas” yang bisa digunakan sebagai jatah bermalam di salah satu jodohku dengan giliran 2 pekan sekali. Misalnya, saat ini jodoh pertama di hari Ahad, Rabu, Jumat. Jodoh kedua di hari Sabtu, Senin, dan Kamis. Hari Selasa itu waktu “bebas” yang bisa digunakan salah seorang jodohku secara bergiliran. Misalnya pekan pertama, jodoh pertamaku mendapat jatah 2 malam: Selasa dan Rabu. Pekan kedua, jodoh keduaku mendapat jatah 2 malam: Senin dan Selasa. Begitu seterusnya.
Sekadar ingin menulis. Momennya juga mungkin dipas-paskan saja dengan kondisi sekarang yang sedang viral di medsos seputar poligami (lengkap dengan pro-kontranya).
Alhamdulillah, kami menjalaninya tidak berat. Perlu kerja sama suami dan istri-istrinya. Ada gesekan dan konflik adalah hal biasa. Pada pernikahan monogami juga biasa terjadi kok. Tergantung bagaimana upaya kita menyelesaikannya dengan dasar iman dan ilmu. Insyaallah selalu ada solusi terbaik.
Agus Mulyadi: Namanya Pak Oleh Solihin, belio salah satu orang yang ngajari saya nulis waktu saya ikut kursus desain layout di Depok lima tahun yang lalu.
Belio poligami. Ia menikahi janda almarhum sahabat karibnya yang bernama Umar Abdullah, seseorang yang saya kenal baik karena dulu pernah lama tinggal satu RT dengan saya.
Melalui istrinya yang pertama, ia punya lima orang anak, dan setelah poligami, ia sekarang punya sepuluh anak, sebab istri keduanya juga membawa lima orang anak.
Bagi saya, mungkin terlalu jauh untuk berbicara poligami, sebab untuk monogami saja saya belum kesampaian. Tapi yang jelas, jika saya harus menunjukkan salah satu contoh poligami yang ideal, saya tak ragu menyebutkan Pak Oleh Solihin ini.
Bukan mereka-mereka yang poligami menikahi wanita yang jauh lebih cantik dan lebih muda, apalagi dilakukan diam-diam agar tidak diketahui istri pertama ….
Khairy Fuady: Jangan-jangan poligami itu bukan sunah Nabi. Ini cuma kecurigaan saya sih. Kata pepatah, ilmu itu lahir dari rasa curiga atau rasa ingin tahu.
Sepanjang saya berproses membaca dan mendalami hadis, rasa-rasanya belum pernah saya temukan satu kalimat pun yang mana secara verbal Nabi memerintahkan umatnya untuk berpoligami. Sekali lagi, rasa-rasanya begitu. Jika teman-teman punya bacaan lain atau ada yang menemukan hadisnya, mari sama-sama berbagi.
Saya memahami bahwa hadits memang punya tiga dimensi: qauliyyah (sabda/perkataan), fi’liyyah (perbuatan), dan taqririyyah (respons/keputusan). Dalam konteks poligami, boleh jadi memang kategori hadisnya termasuk sunah fi’liyyah karena Nabi melakukannya, meskipun tidak menyabdakannya.
Hanya saja, ada perbedaan yang demikian mencolok antara yang diamalkan Nabi dan yang diamalkan ustadz-ustadz hari ini yang mengkampanyekan poligami. Karena dalam sejarah, hanya Bunda Aisyahlah yang dinikahi Nabi dalam keadaan masih gadis. Sisanya adalah para janda dan relatif sudah tua. Sedangkan para ustadz yang gencar mengampanyekan poligami, baik isteri pertama, kedua, maupun ketiga kelihatannya muda-muda semua.
Pertanyaannya kemudian, apakah semua yang dilakukan Nabi mesti masuk kategori sunah fi’liyyah? Sejauh ini saya masih sangsi/ragu.
Setahu saya, ketika Nabi berkhotbah, Nabi berdiri di mimbar pada tangga ketiga. Ketika posisi Nabi digantikan Abu Bakar, Abu Bakar berdiri pada tangga kedua karena merasa tak pantas berdiri setingkat Nabi. Lalu ketika digantikan Umar, Umar hanya berani berdiri di tangga pertama karena merasa tak pantas sejajar dengan Nabi dan Abu Bakar. Begitu pun Utsman yang merasa tak pantas sejajar Nabi, Abu Bakar, dan Umar, justru memilih tidak berdiri di tangga dan berkhotbah sejajar dengan jemaah.
Namun, ketika kepemimpinan berada di pundak Ali, Ali justru naik dan tegak berdiri di tangga ketiga dengan alasan menjalankan apa yang dilakukan oleh Nabi. Bayangkan, empat orang sahabat terbaik yang hidup satu zaman dengan Nabi saja berbeda-beda pendapat soal sunah. Ini baru pendapat soal sunah khotbah yang relatif tidak kontroversial, apalagi poligami.
Cuma memang, kita tak bisa mungkiri bahwa ini perintah Allah karena ada di Al-Quran. Maka tak perlu diragukan, sandaran hukum pertama dalam tradisi ahlussunnah adalah Al-Quran dulu baru hadis.
Hanya saja, maksud saya, nggak usah gitu-gitu amatlah kampanye poligami kalau para ustadz belum bisa secara total nurutin poligaminya Nabi. Sunah yang enaknya diikutin, yang berat-beratnya nggak. Sunnah kok pilih-pilih. Hehehe.
Amin Mudzakkir: Masalah pokok poligami adalah dilema antara minta izin dulu atau minta maaf kemudian.