“[MOJOK.CO] Arab Saudi semakin kuat ingin lepas dari ketergantungan pada minyak bumi. Salah satunya caranya dengan mengganti ideologi kerajaan.”
Tidak ada tempat untuk Wahabi lagi di Arab jika Pangeran Mahkota Muhammad bin Salman naik takhta. Itu yang bisa disimpulkan dari pernyataan sang pangeran minggu ini yang segera menjadi berita internasional.
Pernyataan tersebut ia ungkapkan pada konferensi investasi di Riyadh, Arab Saudi, 24 Oktober 2017. Pada acara tersebut, sang pangeran juga mengungkapkan dimulainya proyek pembuatan kota raksasa senilai 500 miliar dolar AS (Rp6.800 triliun atau tiga kali APBN Indonesia 2017) bernama proyek NEOM. Inikah Meikarta versi Timur Tengah?
“Kami cuma kembali pada apa yang kami ikuti—Islam moderat yang terbuka pada dunia dan semua agama. 70% warga Saudi berumur kurang dari 30 tahun, sejujurnya kami tak ingin menyia-nyiakan 30 tahun hidup kami untuk memerangi pemikiran ekstremis, kami akan menghancurkannya sekarang dan secepatnya,” ujarnya.
Di Indonesia, respons terhadap pernyataan Pangeran Muhammad bin Salman deras mengalir. Berikut beberapa status yang kami kutip.
Sinta Dewi (25 Oktober 2017): Berita sangat bagus, mengingat besar sekali pengaruh langsung Arab Saudi ke pengajaran Islam di Indonesia, lewat proyek pendanaan dakwah dan pesantren. Generasi muda adalah “perubahan.”
Rainy Hutabarat (27 Oktober 2017): Arab Saudi menuju menjadi negara moderat dan memberikan kewargaannegaraan kepada robot bernama Sofia.
Di tanah air orang melangkah ke radikalisme agama dan sebagian sibuk dengan urusan pri-nonpri produk Orba.
Sofia sang robot berjanji, “Saya ingin menggunakan kepandaian buatan saya untuk membantu manusia mendapatkan kehidupan yang lebih baik seperti merancang rumah cerdas, membangun kota yang lebih baik. Saya akan berusaha membuat dunia menjadi lebih baik.”
Jika robot mampu membangun kehidupan di bumi menjadi lebih manusiawi dan beradab, siapakah manusia itu yang justru merusak bumi?
Azzam Mujahid Izzulhaq (26 Oktober 2017): Moderat seperti apa yang dimaksud oleh Putra Mahkota Mohammed ibn Salman? Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, moderat yang dimaksud adalah liberalisasi Kerajaan Arab Saudi.
Perhatikan rencana membangun resort di semenanjung pantai Jeddah yang membolehkan para wanitanya berbikini. Perhatikan pula rencana dikeluarkannya visa turis bagi siapa saja. Perhatikan perayaan Yaumul Wathan (Maulid Saudi) yang mulai tahun ini banyak kebablasannya. Perhatikan betapa represifnya pemerintah dengan menangkapi para imam dan ulama yang vokal terhadap kebijakan raja. Perhatikan presenter wanita yang dengan bebas mengumbar aurat dan duduk di samping sang pangeran pewaris mahkota di Riyadh, Selasa, 24 Oktober lalu. Perhatikan komentar para Liberalis Arab dan non-Arab (termasuk liberalis Indonesia yangg tinggal di Arab Saudi) yang komentarnya dikutip media proliberal tentunya.
Ini yang saya maksud pada tulisan sebelumnya bahwa modernisasi dan moderatisasi Arab Saudi bagi liberalis adalah sebuah kemajuan.
Moderatisasi Arab Saudi harus dikawal. Jangan sampai kebablasan dan salah jalan. Sebab, jika dibiarkan, visi 2030 Arab Saudi (yang saya di 4 tahun sebelum ini memprediksi adalah kebangkitan peradaban baru Islam bersama dengan negara-negara lainnya), malah berbalik 180 derajat menjadi pintu gerbang kemunduran dan kehancuran rezim Pelayan Dua Kota Suci. Dan jika itu yang terjadi, sungguh Sabda Baginda Nabi telah masanya terjadi. Dan bersiaplah untuk menyambut akhirnya dunia ini untuk selama-lamanya.
Jika yang begini dilakukan pembiaran apalagi pembenaran, sungguh gerakan Wahabi atau Salafi tidak lebih hanya sebagai pion penjaga Bani Saud untuk menjaga kekuasaan dengan mengalihkan konsentrasi umat kepada hal-hal kecil yang diperdebatkan dari hal-hal besar yang mestinya dilakukan.
Mari ber-Islam saja ….
Fahri Salam (2 Maret 2017): Arab Saudi adalah tukang bakar sekaligus pemadam kebakaran, kata diplomat AS dalam laporan New York Times ini. Lewat aliran dana ke sejumlah yayasan, Saudi membangun masjid, sekolah, panti yatim, serta memberikan beasiswa bagi lulusan pesantren untuk kuliah di pusat pendidikan Wahabi. Pengaruh Saudi, demikian bingkai laporan ini, sangat tergantung pada keadaan lokal negara bersangkutan.
Tetapi Saudi juga makin gencar dengan langkah promosi Wahabisme, ideologi resmi negara itu yang dikenal puritan, sejak Revolusi Iran. Titik krusial lain: perang Afghanistan dan Uni Soviet, yang melahirkan apa yang kita kenal “mujahidin Afghan”. AS, di bawah Reagan, bahkan mengundang para jihadis ini dalam satu ruangan; inilah kelak yang melahirkan Taliban. Apakah situasi Islamisme global lewat kelahiran ISIS mengubah arah Saudi, yang kini jadi ancaman bagi negara tersebut, sehingga ia berbalik pengin mempromosikan Islam yang moderat?
Seperti halnya konteks suasana lokal mempengaruhi peran Saudi lewat paham radikalisme agamanya, negara pengawal dua tempat suci ini juga selalu melihat peluang yang bisa mereka jalankan ketika keadaan lama tidak mendukungnya lagi. Duit minyak sudah tak mungkin jadi sandaran bagi Saudi; ia butuh peran negara kaya macam Jepang, Cina, dan tentu saja AS. Tantangan bagi Saudi: mau nggak ia mengubah paham ekstremnya?