“Ke mana duit 35 ribu jemaah First Travel menghilang?” tanya polisi penyidik.
“Nggak tahu, Pak. Kami lupa,” jawab pasangan suami istri pemilik First Travel.
Ini jawaban paling asyik, penuh keimanan, dan menandakan kepasrahan pada Tuhan YME. Mereka adalah orang yang begitu beriman hingga yang diingat hanya Tuhan. Sedangkan duit Rp550 miliar yang terlupakan menandakan begitu tidak terikatnya mereka dengan benda-benda. Tujuannya hanya meningkatkan kualitas ibadah semua jemaah First Travel.
Saat mereka piknik keliling dunia dengan tampilan yang glamor, sungguh itu bukan karena mereka ingin sombong. Itu semata karena kecintaan mereka untuk menelusuri keindahan bumi ciptaan Allah. Jika mereka berfoto di depan rumah atau kendaraan mewah miliknya lalu diunggah ke akun Instagram, bacalah itu sebagai tanda syukur yang tidak terkira.
Tidak tebersit sedikit pun kesombongan di wajah mereka. Sebab, kenikmatan itu bisa mereka dapatkan mungkin dari mengumpulkan setetes dua tetes keringat calon jemaah umrah FT.
Mungkin saja jemaah itu adalah ibu-ibu renta yang menabung sepanjang hidupnya untuk bertamu ke rumah Allah. Atau mungkin tukang siomay yang mencari rezeki keliling naik sepeda, lalu tabungannya diserahkan kepada FT agar bisa diberangkatkan berziarah ke makam Kanjeng Nabi.
Yang pantas sombong dan berbangga adalah 35 ribu calon jemaah FT yang sudah ikhlas membantu kedua pasangan suami istri mengenaskan itu keliling dunia dan menikmati rezeki berlimpah. Dari keringat jemaah yang ikhlaslah mereka berdua bisa menggapai kehidupan yang indah. Jangan melulu melihat yang tampak saja.
Nilailah juga orang-orang yang mengais rezeki seperak dua perak untuk ongkos bertamu ke rumah Allah. Lalu duitnya dipercayakan kepada First Travel. Lalu mereka gagal berangkat karena duitnya terselip entah di mana. Berkat keringat ribuan jemaah itulah mantan karyawan minimarket dan istrinya itu bisa hidup mewah layaknya anggota DPR.
Dengan cara begitu mereka bisa menunjukkan kepada jemaah First Travel, jika jemaah bersabar, Tuhan akan menambah lagi nikmatnya. Intinya adalah sabar, ikhlas, dan tidak mengeluh.
Jemaah sendiri harus bersabar agar kenikmatan itu datang kepada mereka. Lagi pula ibadah akan mendapatkan pahala lebih besar justru ketika banyak cobaan. Kalau kamu mau umrah, menyetor duit ke biro perjalanan profesional, lantas berangkat, tinggal di hotel mewah, beribadah dengan tenang, lalu di mana tambahan pahalanya?
Berbeda dengan jemaah FT. Ketika mereka menyetor duit tabungan untuk umrah, lalu sampai tahunan tidak ada kabar beritanya, dan mereka bersabar dan tawakal, bukankah sepanjang tahun penantian itu Allah melipatgandakan pahala kesabaran dan tawakalnya?
Semakin lama penantian itu akan semakin menggunung juga pahalanya. Bahkan jikapun tidak jadi berangkat karena duitnya terselip entah di mana, pahalanya akan terus mengalir seperti air bah. Indah bukan?
Saya rasa, selain manasik umrah, First Travel juga aktif menggelar manasik kesabaran kepada jemaahnya.
Sama seperti Andika Surachman yang bersabar menunggu sekian lama untuk menikmati semua rezeki yang diberikan secara ikhlas oleh calon jemaah umrah. Kuncinya adalah keikhlasan. Bukan malah memaki-maki kedua pasangan itu yang dengan susah payah mengumpulkan duit ribuan jemaah lalu dikembangkan sedemikian rupa.
Coba lihat butik Anniesa Hasibuan di Kemang yang segede gaban. Atau telusuri butik busana muslim kelas atas di New York, Malaysia, atau Istambul yang menjual desainnya miliknya. Pasangan ini bukan hanya rela menjadi pelayan jemaah umrah, tetapi juga mereka sedang mengharumkan nama agama sampai ke New York.
Jika masyarakat New York melihat busana muslimah yang mahal dan indah itu, lalu nama Islam semakin moncer, itu bukan semata hasil keringat Anniesa. Itu adalah jasa jemaah FT yang ikhlas.
Perlu diketahui, undangan berziarah ke baitullah sesungguhnya adalah panggilan Allah. Kalau Allah belum memanggil, meskipun kamu sudah setor duit ke First Travel, terus mau apa? Mau melawan takdir?
Ketahuilah, orang-orang yang berjasa mengembangkan agama ini bukan hanya kedua pasangan itu. Dulu ada investasi yang mendapat rekomendasi MUI dan akhirnya bodong juga. Di Surabaya dan Medan, Yusuf Mansur juga telah dilaporkan orang ke polisi karena investasi properti yang merugikan.
Jangan lihat soal duit yang dicopet. Coba lihat seberapa serius mereka menguji kesabaran umat Islam. Mereka adalah orang yang paling mengerti mengenai ayat Quran, “Jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu.”
Jadi, justru kelakuan mereka akan meningkatkan kualitas keimanan umat. Orang-orang seperti mereka inilah yang jasanya luar biasa dalam meningkatkan makna kesabaran dan ujian dalam beragama. Kalau Yusuf Mansur berfoto di depan Alphard-nya, kesabaran warga yang menginvestasikan duitnya juga sedang diuji. Jika mereka ikhlas dan lolos ujian, mereka adalah umat yang luar biasa.
Lalu bagaimana jika ada orang yang ingin mengajarkan makna kesederhanaan kepada umat Islam seperti yang ditampilkan Buya Syafii Maarif?
Ah, Buya, ajaranmu tidak berlaku untuk para ustadz seleb dan pengusaha penjaja agama yang hidup penuh kemewahan.
Sumber: Status Eko Kunthadi