MOJOK – Pertemuan Prabowo Subianto dan Amien Rais menemui Habib Rizieq Shihab dianggap belum memiliki efek penting untuk agenda Pilihan Presiden 2019. Tapi untuk Prabowo, bisa jadi ini adalah pertemuan yang sangat menentukan. Termasuk keputusannya untuk tidak membawa pulang Sang Imam.
Pertemuan antara Amien Rais, Prabowo Subianto, dan Habib Rizieq Shihab di Mekah (2/6) sekalian berangkat umroh mendapat respons macam-macam. Salah satu yang merespons cukup keras dari pertemuan ketiga tokoh itu adalah dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Melalui Sekjen PSI, Raja Juli Antoni memaparkan bahwa pertemuan ketiga tokoh tersebut tidak punya dampak signifikan secara politik. Apalagi pertemuan itu juga tidak menghasilkan apa-apa meski Habib Rizieq sudah ketok palu direkomendasikan oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 sebagai calon presiden (capres) yang lebih dijagokan daripada Prabowo Subianto sendiri.
Menurut PSI, pertemuan tersebut baru akan punya pengaruh besar jika Amien Rais dan Prabowo mampu membawa pulang Habib Rizieq ke Indonesia. Sebab, salah satu yang dipertaruhkan dalam pertemuan itu adalah sekuat apa kemampuan PAN dan Gerindra (dalam hal ini diwakili oleh pembesarnya) untuk membawa Sang Imam dan menjaminnya pulang ke Tanah Air dengan selamat.
Kemampuan ini juga termasuk kemampuan bantuan perlindungan hukum dari Prabowo dan Amien Rais kepada Habib Rizieq dalam menghadapi perkara hukum yang masih menunggunya di Tanah Air.
Perlindungan hukum ini jelas akan penting, karena dengan begitu jamaah Habib Rizieq (yang diklaim berjuta-juta) akan semakin yakin bahwa hanya Prabowo dan Amien Rais yang bisa melawan rezim pemerintahan Jokowi saat ini. Tentu saja perlindungan hukum ini bukan berarti dengan adu kengototan atau demo berjilid-jilid, melainkan dengan menyediakan pengacara-pengacara terbaik untuk membuktikan di pengadilan bahwa Sang Imam memang tidak bersalah.
Sayangnya, setelah pertemuan tersebut, Habib Rizieq ternyata juga tidak “berhasil” dibawa pulang untuk menemui umatnya yang kangen menunggu berbulan-bulan. Menurut penerawangan Mojok Institute, ada dua alasan kemungkinan kenapa Sang Imam tidak pulang.
Alasan pertama, memang Habib Rizieq sendiri yang ogah pulang karena merasa Amien Rais dan Prabowo tidak bisa membantunya soal urusan hukum sama sekali di tanah air. Dan hal ini bisa dibilang jadi kerugian besar bagi Prabowo.
Lha ya jelas, ini artinya secara politik Habib Rizieq tidak sepenuhnya percaya kepada Prabowo. Atau kalaupun percaya dengan Prabowo, Habib Rizieq tidak yakin bahwa Prabowo adalah lawan yang seimbang untuk Jokowi.
Sebab, kalau Habib Rizieq yakin bahwa Prabowo begitu kuat untuk jadi lawan Jokowi, sudah barang tentu kepulangannya ke Indonesia akan dilakukan atau diagendakan sesegera mungkin karena yakin bersamanya ada tokoh-tokoh besar yang “mengawal”.
Konsekuensi dari citra gagalnya “melindungi” Habib Rizieq agar bisa pulang ke Indonesia jelas jadi preseden buruk bagi citra Prabowo sebagai capres yang punya dukungan suara dari jamaahnya Habib Rizieq.
Bagaimana mungkin seorang calon presiden pilihan para jamaah Habib Rizieq tidak bisa menyelamatkan Sang Imam dari cengkeraman rezim Jokowi? Kalau melawan Jokowi untuk menolong Sang Imam saja tidak mampu, bagaimana besok waktu Pilpres? Ini kan bakalan jadi citra yang kurang yahud di mata jamaah.
Kedua, Prabowo dan Amien Rais sendiri memang tidak ingin Sang Imam 212 pulang, karena takut dengan kepopulerannya.
Lha iya dong, hasil rekomendasi PA 212 memang tidak mengejutkan jika sampai keluar nama Habib Rizieq Shihab di urutan pertama. Hanya saja melengserkan nama Prabowo jelas mengindikasikan satu hal yang cukup jelas.
Jamaah Habib Rizieq ternyata masih lebih percaya Sang Imam bisa turun langsung mengurusi permasalahan bangsa daripada diserahkan pada orang lain. “Orang lain” yang dalam hal ini adalah Prabowo Subianto. Dan “orang lain” di sini pun sifatnya opsional saja. Jadi kalau Habib Rizieq enggak bisa, baru deh “orang lain” itu didukung.
Di sisi lain kalau Habib Rizieq pulang, Prabowo tentu juga perlu berhitung kembali karena pernah punya pengalaman tidak mengenakkan menghadapi situasi seperti ini. Bisa jadi Prabowo merasa de javu dengan situasi Pilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 silam, sehingga perlu berhati-hati terhadap segala kemungkinan.
Ingat kan? Ketika itu Prabowo mati-matian ikut berkampanye untuk Jokowi pada Pilihan Gubernur Jakarta pada 2012 silam. Pada era itu, sama sekali tidak ada orang yang akan membayangkan bahwa Calon Gubernur dengan muka ndeso itu akan ikut bursa pemilihan presiden setahun setelahnya.
Siapa coba yang mengira? Dianggap sebatas sebagai petugas partai, eh malah merusak tatanan itung-itungan koalisi partai. Merengsek masuk jadi lawan secara tiba-tiba. Dan sudah begitu, eh kok ya ndilalah menang pula jadi Presiden beneran.
Mencoba memahami perasaan Prabowo, apa ya enggak ndongkol rasanya?
Dan potensi itu di mata Prabowo bisa jadi muncul juga dari sosok yang beliau temui bersama Amien Rais. Sehingga yang dibutuhkan untuk saat ini adalah jamaahnya saja. Orangnya? Sudah deh, biar di tanah suci saja sampai seterusnya juga enggak apa-apa.